Peran "Uluan" saat terjadi konflik di Kesultanan Palembang Darussalam
Oleh : Gustavo Muaraqel
Uluan adalah sebutan untuk daerah awal atau hulu dari aliran Sungai Batanghari Sembilan yang sungai utamanya terdiri dari; Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Kelingi, Sungai Bliti, Sungai Rawas, dan  Sungai Batanghari Leko, serta banyak lagi sungai kecil lainnya yang semuanya bermuara ke Sungai Musi di Kota Palembang.Â
Wilayah ini dalam sistem kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam disebut sebagai wilayah Sindang, yaitu wilayah daerah perbatasan dengan Bengkulu dan Jambi (Minangkabau) seperti; Kikim, Gumai Ulu, Gumay Talang, Gumay Lembak dan Mulak, Ampat Lawang, Rejang, Kisam, kelingi, Rawas dan lainnya yang bertugas menjaga perbatasaan tersebut, dikarenakan wilayah ini jauh dari ibukota Palembang. Â Penduduknya saat itu dibebaskan dari semua beban pajak atau setoran kepada Kesultanan Pelambang Darussalam dan hanya diwaktu tertentu diawajibkan untuk melapor ke Keraton Kuto Besak di Ibu Kota Palembang.
Saat terjadi Perang Benteng, yaitu terjadinya lima (5) kali perang maritim besar di abad 17 dan 19 di Palembang, penduduk Sindang ini juga sangat berperan besar dalam membantu perang tersebut dan  membuat benteng-benteng pertahanan di Pulau Borang, Pulau Kemaro, Plaju, Bagus Kuning, Kurungan Nyawo  dan tempat-tempat strategis lainnya, dengan mengirimkan tenaga dan material yang dibutuhkan untuk membuat dan merevitalisasi benteng-benteng tersebut.
Akibat terjadi dualisme kepemimpinan di Kesultanan Palembang Darussalam sekitar tahun 1812 M sampai dengan 1813 M dan adanya campur-tangan kolonialis Inggris sebagai efek dari Perang Benteng ke-2, Sultan Mahmud Badaruddin Pangeran Ratu (SMB II) dimakzulkan dari kekuasaannya dan terpaksa mengasingkan diri ke Uluan di Di Dusun Pulau Panggung di Kecamatan Muara Kelingi dan Dusun Muara Rawas yang sekarang berada di Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin.Â
SMB II berada disana sekitar satu setengah tahun untuk mengkonsolidasikan kekuatan dalam melawan adiknya, Sultan Ahmad Najamuddin (SAN II), yang dinobatkan sebagai sultan pengganti oleh Kerajaan Inggris dan mendapatkan kekuasaan di sebagian Pulau Bangka sebagai imbalannya.
ÂSetelah dari Pulau Panggung dan sebelum ke Muara Rawas, SMB II sempat bertahan dan membuat benteng pertahanan di Dusun Buaya Langu/Bailangu (bagian hilir Kota Sekayu sekarang). Namun Kerajaan Inggris dan armada kapalnya terus memburu SMB II dan menyerang benteng pertahanan Bailangu tersebut.Â
Terjadilah perang hebat disana yang mengakibatkan tertembaknya, Kapten R Meares, pimpinan armada perang Kerajaan Inggris saat itu, dan akibatnya armada tersebut kembali ke Ibukota Palembang. Untuk keamanan selanjutnya, SMB II dan rombongan melanjutkan perjalanan pengasingannya ke Dusun Muara Rawas.
Di Muara Rawas, SMB II atau selanjutnya dikenal sebagai Sultan Ulu, mendirikan Benteng Pertahanan dengan persenjataan lengkap saat itu dengan dibantu oleh Laskar Melayu, yaitu para  pejuang dan pendatang dari Minangkabau dan Kerinci, yg selama ini banyak membantu kesultanan dalam menjaga keamanan di perbatasan dan juga dalam bidang perdagangan.Â
Dilain pihak, setelah mendengar Sultan Ulu mendirikan Benteng di Muara Rawas, maka SAN II yg selanjutnya dikenal juga sebagai Sultan Ilir, mendirikan Benteng pertahanan pula di hilir Muara Rawa untuk mencegah Sultan Ulu dan Pendukungnya melakukan penyerang ke Ibu Kota.
Setelah beberapa lama tinggal di Uluan, SMB II melakukan gerakan diplomasi dengan Kerajaan Inggris agar bisa kembali ke Ibu Kota Palembang, yaitu dengan bantuan Kemas Muhammad Hanafiyah yg nantinya di jodohkan dengan salah satu anaknya dan selanjutnya nanti berganti nama menjadi Pangeran Kramadiradja, untuk bertemu dengan Pejabat Inggris di Bangka, Mayor Robison, dengan melakukan diplomasi damai agar SMB II bisa menjadi Sultan yg berkuasa kembali di Kesultanan Palembang Darussalam.
Gerakan diplomasi ini membuahkan hasil dan berakhir dengan kembalinya Sultan Ulu ini menjadi Sultan yg berkuasa kembali di Kesultanan dan Sultan Ilir untuk sementara waktu bisa di makzulkan juga dari kedudukannya. Namun kebijakan Mayor Robison ini tidak disatujui oleh Rafles, sebagai pimpinan inggris di Nusantara saat itu yang berkedudukan di Batavia (Jakarta sekarang).Â
Akhirnya sekitar satu bulan kemudian, SMB II kembali dimakzulkan dan SAN II kembali menduduki Sultan di pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam sampai masa pendudukan Kerajaan Inggris berakhir di Palembang tahun 1816.
Kedudukan SAN II atau Sultan Ilir ini berakhir setelah Belanda kembali berkuasa di Palembang setelah adanya Perjanjian London, antara Belanda dan Inggris, di London tahun 1814 (direalisasikan tahun 1816) dan juga adanya campur tangan Inggris yg masih mau membantu SAN II di tahun 1818, sehingga Sultan Ilir ini di makzultan oleh HW Mungtinghe (Pejabat Belanda di Palembang) dan SMB II diangkat kembali sebagai Penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak proses pengantian kekuasaan inilah selanjunya dikenal adanya Sultan Tuo yang merujuk kepada SMB II dan Sultan Mudo yg ditujukanke pada SAN II.
Akibat dari dualisme ini dan juga banyaknya gangguan keamanan di Uluan yg berbatasan dengan kekuasaan Inggris di Bengkulu, maka di Bulan Agustus 1818, Muntinghe melakukan ekspedisi ke Uluan. Hal ini dilakukan untuk pengecekan dan penyelidikan ke wilayah Uluan yang diperkirakan masih adanya kegiatan pasukan Inggris di sekitar wilayah Uluan tersebut yang merupakan sisa dari pasukan Inggris yang membantu Sutan Mudo melakukan kekacauan di ibukota Palembang.Â
Sesampainya di Muara Beliti, pasukan Muntinghe sudah tidak menemukan Pasukan Inggris disana, karena memang pasukan Inggris dibawah pimpinan Letnan Haslam yang sebelumnya masih bercokol disana sudah mundur ke daerah Kosambi, sebuah Dusun di Pulo Genta di lereng bukit barisan yang merupakan daerah perbatasan Bengkulu dan Palembang dan termasuk wilyah Rejang.
Sebelum menyelesaikan misinya dan kembali ke ibukota Palembang, Muntinghe sudah membuat kesepakatan damai dengan masyarakat di Uluan seperti; Para Depati (Pemimpin Marga) di Rejang, Muara Kelingi dan Muara Rawas, serta pimpinan Melayu untuk bersama2 membangun wilayah Uluan dan menjaga wilayah dari gangguan keamanan dari pihak Inggris.
Diluar perhitungan Muntinghe, Orang-orang Melayu yaitu penyebutan warga lokal untuk pendatang dari Minangkabau dan Kerinci yang umumnya tinggal disepanjang Sungai Musi, Batanghari Leko dan Kawasan lainnya di Uluan, melakukan pemberontakan yang didukung oleh Pasukan Inggris dari Rejang dan Pulo Geta. Atas kondisi ini, diawal tahun 1819 M, Muntinghe dan pasukannya kembali ke wilayah uluan untuk mengatasi pemberontakan ini.
Sesampai di daerah Ujan Panas, terjadi pertempuran antara Panglima Prang Melayu di Sungai Pisang dan wilayah Tabak Jemeke yang juga dibantu oleh pasukan Inggris, dengan Pasukan Muntinghe yang mengakibatkan kedua belah pihak banyak mengalami kerugian besar. Akhirnya, Muntinghe memohon  bantuan  dari depati Muara Kelingi, Muara Beliti yaitu pasirah Muara Bliti, Lobo Mumpa, Benu Agung, dan Ujan Panas untuk mengirim lebih kurang 250 laskarnya untuk membantu pertempuran tersebut. Akibat pertempuran yang sudah tidak seimbang ini, Panglima Prang Melayu dan pasukannya mundur melalui Sungai Lakitan.
Menyadari kondisi yg tidak kondusif dalam ekspedisi uluan kedua ini dan seperti kebiasaan sifat licik Kolonialis Belanda, Muntinghe memohon untuk diadakan perundingan dengan Panglima Prang Orang Melayu melalui depati Lobo Mumpa dan Pangeran Muara Kanti. Namun sayangnya, dalam perundingan ini, Pangeran Semangus yang merupakan Depati dari Dusun Semangus, memfitnah SMB II, bahwa Kericuhan di Uluan ini ada peran berliau dan juga adanya bantuan dari distrik Blida yang merupakan pendukung setia SMB II.
Sesampai kembali ke Ibu Kota Palembang, Muntinghe marah dan meminta SMB II menyerahkan Pangeran Ratu, yaitu anak dan Putra Mahkota SMB II untuk di jadikan sandera dan dikirim ke Batavia. Namun dengan tegas SMB II menolak permintaan Muntinghe ini dan hal inilah yang selanjutnya menjadi salah satu pemicu terjadinya Perang Benteng ke-3 yang cerita perangnya dapat dilihat dan dibaca di Buku Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang, tulisan HG Sutan Adil.Â
Cerita Perang Benteng Ketiga ini juga banyak di bahas di buku yang sudang dialih bahasakan dari naskah kuno Palembang yg berjudul "Hikayat Palembang" terbitan  Raffah Press Palembang dan ditulis oleh Lembaga Kajian Melayu Majelis Reboan.Â
Dalam Perang Benteng Ketiga di Palembang dipertengahan tahun 1819 M, Muntinghe mengalami kekalahan dan mundur kembali ke Batavia karena mengalami labih banyak lagi kerugian dan menyebabkan SMB II makin kuat kembali berkuasa di Palembang. Atas kemenangan ini, dikenal adanya karya sastra terbaik saat itu di Palembang yaitu adanya "Syair Perang Palembang" yang menceritakan betapa dahsyatnya Perang Benteng Ketiga ini dan bagaimana Muntinghe mundur dengan susuh payah sampai ke Pulau Bangka dan selanjutnya ke Batavia. Namun sangat disayangkan sekali bahwa Syair ini sekarang dikenal sebagai Syair Perang Menteng..!?
Untuk mengantisipasi kedatangan dan pembalasan dari Kolonialis Belanda, SMB II kembali meminta bantuan masyarakat Uluan untuk membantu mempertahan Ibukota dengan memberikan bantuan tenaga dan suplai bahan untuk membangun dan merevitalisasi kembali benteng-benteng pertahanan di Pulau Kemaro, Plaju, dan benteng lainnya di sepanjang Sungai Musi.
Dengan bantuan penuh dari Uluan ini, memang benar selanjutnya saat terjadi Perang Benteng Keempat diakhir tahun 1819 M dan sebagai balasan Kolonialis Belanda atas kekalahan saat Perang Benteng Ketiga sebelumnya, maka Kolonialis Belanda pun sekali lagi  mengalami kegagalan dan kekalahan , sehingga mereka kembali lagi ke Batavia dengan mengalami kerugian yag lebih besar.
Atas keberhasilan dalam Perang Benteng Keempat ini maka SMB II banyak memberikan hadiah dan penghargaan kepada penduduk Uluan dan SMB II. Setelah terjadi perang keempat ini dan untuk mengantisipasi balasan Kolonialis Belanda kembalai, SMB II juga melantik Pangeran Ratu yg merupakan anaknya menjadi Sultan pengganti beliu dengan upacara resmi di Keraton Kuto Besak dan memberikannya gelar menjadi Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu atau dikenal selanjutnya sebagai Sultan Ahmad Najamuddin III (SAN III). Sedangkan SMB II sendiri bergelar Suhunan atau Susuhunan yg berarti orang yg di hormati dan diletakkan sebagai yang paling tinggi.
Namun sayangnya, dengan dukungan gabungan armada darat dan laut yang lebih banyak lagi dan dukungan bantuan ribuan serdadu yg dikirim dari Jawa dan Maluku, ditahun 1821 M, Kolonialis Belanda berhasil menguasai Palembang kembali dalam Perang Benteng kelima dan menganti sultan yang berkuasa dari SAN III (walau saat itu yg berkuasa dianggap Kolonialias Belanda masih SMB II) kepada anak dari SAN II yaitu Prabu Anom, menjadi sultan yang baru dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom atau sekarang dikenal dengan sebutan Sultan Ahmad Najamuddin IV atau SAN IV. Dilain pihak SMB II dan Keluarganya diasingkan ke Batavia dan delapan bulan kemudian di lanjutkan ke Ternate.
Ternyata peranan Uluan kembali berperan besar dalam pemberontakan yang dilakukan Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom atau SAN IV di wilayah mereka. Sebagai akibat dari berbagai ketidak setujuan SAN IV terhadap Kolonialis Belanda yang sangat mendikte mereka, SAN IV melakukan perlawanan di Keraton Kuto Besak dan membuat berbagai kerusuhan sebagai tanda ketidak setujuannya.Â
Akhirnya SAN IV mundur ke wilayah Uluan dan mengkoordinir pemberontakan dari Uluan sebelum ditangkap kembali oleh Kolonialis Belanda yang didukung dengan beberapa bangsawan Palembang yang sudah berpihak kepada Kolonialis Belanda dan selanjutnya berdasarkan beberapa catatan sejarah yang ada beliau diasingkan ke Manado pada tahun 1825 M.
Untuk mengetahui cerita lengkap tentang peran Uluan ini juga bisa dibaca di Buku "Kesultanan Palembang Dalam Pusaran Konflik 1804-1825" tulisan Dr. Farida R. Wargadalem, yang didasari dari penelitian dan Disertasi beliau dengan judul yang sama.
Demikianlah gambaran secara singkat dan umum mengenai Peran Uluan yang sangat vital saat terjadi Konflik di Kesultanan Palembang Darussalam dan juga adanya pertikaian antara Kolonialis Inggris dan Belanda yang juga saling bermusuhan di wilayah tersebut. Sayangnya memang benteng-benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam di Uluan ini sudah banyak yang tidak berbekas lagi karena memang bahan untuk membuatnya dari material alamiah yang tidak tahan lama dan juga banyak yang terbakar saat terjadi perang-perang sebagaimana tersebut diatas.
*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Palembang, 29 Juli 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H