Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peran "Uluan" Saat Terjadi Konflik di Kesultanan Palembang Darussalam

29 Juli 2024   07:00 Diperbarui: 29 Juli 2024   08:24 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh Halaman Syair Perang Palembang // Sumber : Sutanadil Institute

Dilain pihak, setelah mendengar Sultan Ulu mendirikan Benteng di Muara Rawas, maka SAN II yg selanjutnya dikenal juga sebagai Sultan Ilir, mendirikan Benteng pertahanan pula di hilir Muara Rawa untuk mencegah Sultan Ulu dan Pendukungnya melakukan penyerang ke Ibu Kota.

Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diahuddin // Sumber : keratonpalembang.com
Sultan Ahmad Najamuddin II Husin Diahuddin // Sumber : keratonpalembang.com

Setelah beberapa lama tinggal di Uluan, SMB II melakukan gerakan diplomasi dengan Kerajaan Inggris agar bisa kembali ke Ibu Kota Palembang, yaitu dengan bantuan Kemas Muhammad Hanafiyah yg nantinya di jodohkan dengan salah satu anaknya dan selanjutnya nanti berganti nama menjadi Pangeran Kramadiradja, untuk bertemu dengan Pejabat Inggris di Bangka, Mayor Robison, dengan melakukan diplomasi damai agar SMB II bisa menjadi Sultan yg berkuasa kembali di Kesultanan Palembang Darussalam.

Gerakan diplomasi ini membuahkan hasil dan berakhir dengan kembalinya Sultan Ulu ini menjadi Sultan yg berkuasa kembali di Kesultanan dan Sultan Ilir untuk sementara waktu bisa di makzulkan juga dari kedudukannya. Namun kebijakan Mayor Robison ini tidak disatujui oleh Rafles, sebagai pimpinan inggris di Nusantara saat itu yang berkedudukan di Batavia (Jakarta sekarang). 

Akhirnya sekitar satu bulan kemudian, SMB II kembali dimakzulkan dan SAN II kembali menduduki Sultan di pemerintahan Kesultanan Palembang Darussalam sampai masa pendudukan Kerajaan Inggris berakhir di Palembang tahun 1816.

Kedudukan SAN II atau Sultan Ilir ini berakhir setelah Belanda kembali berkuasa di Palembang setelah adanya Perjanjian London, antara Belanda dan Inggris, di London tahun 1814 (direalisasikan tahun 1816) dan juga adanya campur tangan Inggris yg masih mau membantu SAN II di tahun 1818, sehingga Sultan Ilir ini di makzultan oleh HW Mungtinghe (Pejabat Belanda di Palembang) dan SMB II diangkat kembali sebagai Penguasa di Kesultanan Palembang Darussalam. Sejak proses pengantian kekuasaan inilah selanjunya dikenal adanya Sultan Tuo yang merujuk kepada SMB II dan Sultan Mudo yg ditujukanke pada SAN II.

Akibat dari dualisme ini dan juga banyaknya gangguan keamanan di Uluan yg berbatasan dengan kekuasaan Inggris di Bengkulu, maka di Bulan Agustus 1818, Muntinghe melakukan ekspedisi ke Uluan. Hal ini dilakukan untuk pengecekan dan penyelidikan ke wilayah Uluan yang diperkirakan masih adanya kegiatan pasukan Inggris di sekitar wilayah Uluan tersebut yang merupakan sisa dari pasukan Inggris yang membantu Sutan Mudo melakukan kekacauan di ibukota Palembang. 

Sesampainya di Muara Beliti, pasukan Muntinghe sudah tidak menemukan Pasukan Inggris disana, karena memang pasukan Inggris dibawah pimpinan Letnan Haslam yang sebelumnya masih bercokol disana sudah mundur ke daerah Kosambi, sebuah Dusun di Pulo Genta di lereng bukit barisan yang merupakan daerah perbatasan Bengkulu dan Palembang dan termasuk wilyah Rejang.

Sebelum menyelesaikan misinya dan kembali ke ibukota Palembang, Muntinghe sudah membuat kesepakatan damai dengan masyarakat di Uluan seperti; Para Depati (Pemimpin Marga) di Rejang, Muara Kelingi dan Muara Rawas, serta pimpinan Melayu untuk bersama2 membangun wilayah Uluan dan menjaga wilayah dari gangguan keamanan dari pihak Inggris.

Diluar perhitungan Muntinghe, Orang-orang Melayu yaitu penyebutan warga lokal untuk pendatang dari Minangkabau dan Kerinci yang umumnya tinggal disepanjang Sungai Musi, Batanghari Leko dan Kawasan lainnya di Uluan, melakukan pemberontakan yang didukung oleh Pasukan Inggris dari Rejang dan Pulo Geta. Atas kondisi ini, diawal tahun 1819 M, Muntinghe dan pasukannya kembali ke wilayah uluan untuk mengatasi pemberontakan ini.

Sesampai di daerah Ujan Panas, terjadi pertempuran antara Panglima Prang Melayu di Sungai Pisang dan wilayah Tabak Jemeke yang juga dibantu oleh pasukan Inggris, dengan Pasukan Muntinghe yang mengakibatkan kedua belah pihak banyak mengalami kerugian besar. Akhirnya, Muntinghe memohon  bantuan  dari depati Muara Kelingi, Muara Beliti yaitu pasirah Muara Bliti, Lobo Mumpa, Benu Agung, dan Ujan Panas untuk mengirim lebih kurang 250 laskarnya untuk membantu pertempuran tersebut. Akibat pertempuran yang sudah tidak seimbang ini, Panglima Prang Melayu dan pasukannya mundur melalui Sungai Lakitan.

Menyadari kondisi yg tidak kondusif dalam ekspedisi uluan kedua ini dan seperti kebiasaan sifat licik Kolonialis Belanda, Muntinghe memohon untuk diadakan perundingan dengan Panglima Prang Orang Melayu melalui depati Lobo Mumpa dan Pangeran Muara Kanti. Namun sayangnya, dalam perundingan ini, Pangeran Semangus yang merupakan Depati dari Dusun Semangus, memfitnah SMB II, bahwa Kericuhan di Uluan ini ada peran berliau dan juga adanya bantuan dari distrik Blida yang merupakan pendukung setia SMB II.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun