Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis artikel Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik di berbagai media. Sudah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anomali Syair Perang Palembang (Syair Perang Menteng)

16 Mei 2024   15:00 Diperbarui: 16 Mei 2024   15:11 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Naskah Kuno Kuno "Syair Perang Palembang" // Sumber : Sutanadil Institute

ANOMALI SYAIR PERANG PALEMBANG (SYAIR PERANG MENTENG)

Oleh : HG Sutan Adil

Salah satu hasil karya sastra besar dalam 5 kali Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang, sebagaimana dijelaskan dalam buku saya dengan judul yang sama adalah adanya "Syair Perang Palembang" yang merupakan hasil karya sastra dimasa  pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin (II) Pangeran Ratu atau pada saat Perang Benteng ke-3 dan ke-4, pada tahun 1819 M. Syair atau Puisi Satir ini dibuat dan dipakai oleh Kesultanan Palembang Darussalam untuk meningkatkan jiwa nasionalisme terhadap tanah airnya dan menyemangati Pasukan Palembang dan Rakyatnya dalam menghadapi ancaman serangan dari Kolonialis Belanda yang akan mencoba merebut Kesultanan Palembang Darussalam.

Buku
Buku "Perang Benteng, Peramng Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang" Karya HG Sutanadil // Sumber : Sutanadil Institute

Naskah Kuno yang aslinya tidak berjudul dan juga tidak ada nama pembuatnya ini, masih tersimpan dengan baik di Perpusnas Jakarta, dengan nomor panggil W 272 yang beraksara Arab dan berbahasa Melayu khas Palembang.

Cover Naskah Kuno Kuno
Cover Naskah Kuno Kuno "Syair Perang Palembang" // Sumber : Sutanadil Institute

Namun sangat disayangkan kebanyakan sejarawan dan budayawan lokal Palembang maupun Nasional saat ini menyebutkannya sebagai "Syair Perang Menteng", yang didasarkankan atas tafsiran Sejarawan Kolonial dan Sejarawan Nasional lainnya, dimana penyebutan kata "Menteng" ini didasarkan atas adanya nama perwakilan kolonialis Belanda di Palembang saat itu, H.W.Muntinghe, yang kalah perang dan kabur ke Betawi atau Batavia untuk meminta bantuan pada saat terjadinya Perang Benteng ke-3. Sehingga terjadi "Anomali" dalam penyebutan Perang Benteng ke-3 dan Syair Perang Palembang ini, sebagai Perang Menteng dan Syair Perang Menteng.

Halaman Pertaman & Kedua Naskah Kuno
Halaman Pertaman & Kedua Naskah Kuno "Syair Perang Palembang" // Sumber : Sutanadil Institute

Jarang sekali penyebutan suatu peritiwa heroik dan penuh perjuangan itu disematkan untuk nama orang yang "Kalah Perang" apalagi dari Kolonialis. Kebanyakan penyebutanannya adalah nama lokasi tempat terjadinya perang atau nama tokoh pejuang yang memenangi perang tersebut, misalnya; Perang Diponegoro, dimana perang ini juga dikenal sebagai Perang Jawa. Perang ini dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan yang juga orang Jawa melawan pasukan kolonialis Belanda yang dipimpin Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Jadi jelas disini nama perangnya adalah sesuai dengan nama tokoh pejuang atau nama daerah tempat terjadinya perang tersebut, bukan dinamalan "Perang De Kock", sebagaimana yang menjadi lawannya dan Kolonialis itu.

Atau juga Perang Bonjol di Sumatera Barat yang diambil dari nama daerah tempat terjadinya perang  dan juga nama pemuka agama yang memimpin perang tersebut, yaitu Imam Bonjol.

Berdasarkan contoh diatas, sangat tepat sekali, jika perang di Palembang ini  dinamakan sebagai Perang Palembang atau Perang Benteng Ketiga sesuai periodisasi Perang Benteng yang terjadi di Palembang itu, dan Syair atau Puisi-nya juga lebih tepat dinamakan "Syair Perang Palembang", karena saat itu pihak yang memenangkan peperangan tersebut adalah di pihak Palembang, yang dipimpin oleh Sultan Palembang.

Dalam Buku "Syair Perang Palembang" tulisan dari Drs. Atja, terbitan Museum Negeri Propinsi Sumsel "Balaputra Dewa" tahun 1994/1995, yang merupakan peneliti awal dari Syair ini sejak tahun 1961 dan mempublikasikannya pertama kali dalam bentuk stensilan di tahun 1967, juga menyebutkannya sebagai; Syair Perang Palembang.

Buku
Buku "Syair Perang Palembang? Karya Drs. Adja // Sumber : Sutanadil Institute

Berikut ini adalah cuplikan dari pernyataan Drs, Atja dalam buku Syair Perang Palembang tersebut :

"Seperti telah jelas diterangkan di atas, bahwa Menteng adalah ucapan orang-orang kita untuk menyebut Muntinghe, yaitu salah seorang anggota Raad Van med. Indie (Dewan Hindia) yang diserahi jabatan Komisaris Pemerintah Kolonial untuk wilayah Palembang dan Bangka. Ia diserahi jabatan itu mulai tanggal 27 Oktober 1817. Dalam usahanya untuk menanamkan kekuasaan kolonial di Palembang mengalami kegagalan. Ia kembali ke Betawi pada bulan Juni 1819 M. tidak secara terhormat, ia melarikan diri dengan maksud minta bantuan. Biasanya judul sesuatu karangan, apalagi jika mengenai pertempuran atau perkelahian, yang keluar sebagai pemenang adalah yang namanya menjadi terkenal dan patut dikemukakan. Karena untuk sementara yang unggul dalam peperangan adalah Palembang, maka sudah sepantasnya jika syair tersebut diganti menjadi syair perang Palembang"

Untuk itu, penulis mengajak kepada Sejarawan dan Budayawan Lokal Palembang termasuk Nasional, untuk mulai mengkaji kembali nomenklatur atau labeling nama syair ini untuk juga menjadi penyemangat generasi sekarang dan berikutnya, bahwa di Palembang ini juga banyak terdapat hasil karya satra besar di masa Kesultanan Palembang Darussalam dan mulailah meneliti serta menulis kembali sejarah besar Palembang. Kebesaran sejarah suatu bangsa itu tergantung kepada bangsa itu sendiri, bukan hanya mengandalkan hasil karya Sejarawan Asing, apalagi Sejarawan Kolonial.

Berikut pesan Drs. Atja yang diungkapkan dalam bukunya "Syair Perang Palembang", sebagai berikut :

"Pelajaran yang dapat kita ambil sesudah menelaah peristiwa jatuhnya Palembang ke tangan Kolonialis Belanda, adalah sebagai berikut: "Palembang ditaklukkan oleh kaum kolonialis, bukan karena rakyat Palembang tidak gigih dan tidak mampu menghadapi serangan-serangan musuh, melainkan kesalahan para pemimpinya yang tidak berwatak teguh. Mereka terlalu keburu oleh kedudukan dan kemuliaan lahir, meskipun dengan mengorbankan saudaranya sendiri sekalipun, apalagi rakyatnya, yang baginya hanyalah berupa alat belaka""

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 17 Mei 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun