Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis artikel Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik di berbagai media. Sudah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Singkat Kerajaan Palembang, Cikal Bakal Kesultanan Palembang Darussalam

18 Desember 2023   14:34 Diperbarui: 18 Desember 2023   15:19 1477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampak Depan Makam Candi Larar/Simpang Charitas // Sumber : Sutanadil Institute

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN PALEMBANG, CIKAL BAKAL BERDIRINYA KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Oleh : HG Sutan Adil

Menurut catatan naskah kuno sejarah, cerita tentang asal-usul Kerajaan Palembang muncul melalui proses yang panjang dan berkaitan erat dengan kerajaan Demang Lebar Daun dan Kerajaan-kerajaan kecil Malayu di sepanjang sungai Batanghari Sembilan atau Sungai Musi serta kerajaan lainnya yang ada di pulau Jawa, khususnya Kerajaan Demak. Juga di ketahui ada hubungan juga dengan bangsa Cina (Mongol), Kesultanan Ottoman (Turki) dan Arab. 

Bahkan berdasarkan catatan lama As-Sayyid Bahruddin Azmatkhan & As-Sayyid Shohibul Faroji diketahui bahwa leluhur Aryo Dillah yang diketahui sebagai pemimpin pertama di Palembang  adalah seorang Azmatkhan, yang artinya Aryo Dillah adalah seorang Sayyid atau Ahlul Bait Rasululllah SAW. Juga diperkaya lagi dengan catatan yang bersumber dari laporan seorang residen Belanda, Residen Poortman, yang mengambilnya dari kelenteng Sam Po Khong di Semarang serta beberapa cerita dari Babat Tanah Jawi.

Berdasarkan catatan dari naskah-naskah kuno diatas, disimpulakanlah cerita tentang Kerajaan Palembang dimulai dengan adanya Nama Aryo Dillah alias Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, yang Nama aslinya adalah Abdullah, sedangkan Arya Damar adalah gelar kebangsawananya. Jadi Aryo Dilllah atau Sultan Abdullah Azmatkhan adalah Nama lainnya dari beliau.

Kompleks Makam Ariodillah di Jl. Ariodillah III Palembang // Sumber: Sutanadil Institute
Kompleks Makam Ariodillah di Jl. Ariodillah III Palembang // Sumber: Sutanadil Institute

Dalam hal pernikahan Arya Dillah dengan Syarifah Zaenab atau Nyai Ratna Subanci, yang sebelumnya merupakan Istri/Selir dari raja Majapahit yang saat dikirim ke Palembang saat itu sedang dalam keadaan hamil dan melahirkan di daerah Kepulauan Seribu di Palembang yang selanjutnya dikenal dan diberi nama Raden Fatah, adalah pernikahan secara normal, suci dan sesuai dengan syariah Islam serta sesuai dengan cara kafa’ah karena dinikahi setelah melahirkan. Pernikahan ini juga melahirkan Raden Husein atau Adipati Pecat Tanda Terung yang menjadi adik tiri Raden Fatah.

Kenyataannya sekarang ini, banyak sekali versi tentang asal-usul keberadaan Kerajaan Palembang ini, tetapi untuk mecari kebenaran versi manapun, hal ini menjadi tantangan bagi sejarawan sekarang untuk meneliti ulang sejarah asal usul keberadaan Kerajaan di Palembang ini dengan disertai sumber primer dan sekunder yang valid, sehingga bukan hanya sekedar dari tafsiran yang tidak jelas. 

Sumber : pandeglangnews.co.id
Sumber : pandeglangnews.co.id

Selanjutnya tercatat dalam kronik sejarah bahwa, setelah merantau ke Jawa, Raden Fatah mendirikan kerajaan di Demak setelah menikahi putri Sunan Ampel. Pada saat itu Raden Patah menjadikan Demak sebagai Kerajaan Demak yang bercorak Islam dan sekaligus beliau menjadi Raja Demak pertama, yang berkuasa dari tahun 1478 M sampai dengan 1518 M. selanjutnya beliau berhasil memperbesar kekuasaannya sehingga dapat menjadikan Kerajaan Demak sebagai kerajaan besar dan tercatat sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa.

Akan tetapi, selanjutnya kerajaan Demak tidak dapat bertahan lama karena terjadinya kemelut dan  perpecahan setelah pemerintahan anakya, Pangeran Trenggono, Sultan Demak III berakhir. Setelah anak Raden Fatah itu wafat, maka terjadilah kekacauan dan perebutan kekuasaan diantara saudaranya dan anak2nya. Kekacauan inilah yang mengakibatkan sejumlah bangsawan Demak melarikan diri dan balek kampung ke tanah asal leluhurnya di Palembang.

Masjid Agung Demak // Sumber : tirto.ID
Masjid Agung Demak // Sumber : tirto.ID

Rombongan dari bangsawan Demak yang berjumlah puluhan Kepala Keluarga ini pimpin oleh Pangeran Sedo Ing Lautan dan menetap di Palembang Lama (1 ilir), yang saat itu Palembang sudah dibawah pimpinan Dipati Karang Widara, keturunan Demang Lebar Daun. 

Dari catatan naskah kuno yang sudah dialih-bahasakan oleh Wildan Aulia dengan judul Suntingan Teks Asal Usul Raja-raja Palembang (halm. 195), yang diterbitkan oleh Perpusnas Press Jakarta tahun 2020, tercatat asal mula kedatangan mereka sbb :

"Pangeran Surabaya, dan Pangeran Mandi Pendawan beranakan Panembahan Juro (Jano) yang wafat di laut, dan Pangeran Seriai beranakkan Pangeran Siding lautan beranakkan Kiai Hang Sura beranakkan Kiai gedeng sura dan Kiai Gedeng Ilir, maka baginda dua bersaudara itulah yang berpindah ke negeri Palembang dengan segala rakyatnya, dan waktu sudah wafat kiai gegeng sura, maka diganti oleh Kiai Gedeng Ilir berjuluk pula kiai gedeng sura muda menjadi raja negeri Palembang, maka Baginda itu beranak delapan orang yang tua perempuan bernama (N)yai Geding Pembanjun, bersuami Temenggung Mancanegara, misam (misan)… sendiri, dan kedua Ratu… yang di negeri J… yang ketiga Ki Emas… Depati yang ko… Pangeran Madi… Sogoh, dan yang kelima Pangeran Medialit, yang keenam Pangeran Siding Puro, dan yang ketujuh Ni Emas Kembar…, yang kedelapan Ni Emas Kembar juga namanya sebab ia… kembar.”

Dengan berjalannya waktu, Pangeran Sedo Ing Lautan sebagai pemimpin pelarian dan atas kesepakatan bersama dengan penguasa lainnya di Palembang yang saat itu masih memimpin kerajaan-kerajaan kecil setelah ditinggal oleh Bajak Laut Cina, membentuk sistem pemerintahan secara formal untuk mengawasi dan mengelola perdagangan lada dan perdagangan lainnya di Palembang. Untuk itu disepakati dan didirikanlah Kerajaan Palembang yang bercorak Islam dan selanjutnya membuat Pemukiman baru dan Keraton Kuto Gawang sebagai pusat pemerintahan serta Masjid Agung sebagai pusat pembinaan agama di masyarakat.

Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro di 3 Ilir Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro di 3 Ilir Palembang // Sumber : Sutanadil Institute

Dalam kesepakatan itu diangkatlah Ki Gede Ing Suro Tuo, anak dari Pangeran Sido Ing Lautan, sebagai pemimpin dan Raja Kerajaan Palembang pertama dan tercatat berkuasa selama 22 tahun (1552 - 1573).  Selanjutnya oleh karena beliau tidak berputera, maka ia mengangkat keponakannya menjadi penggantinya dengan bergelar pula Ki Gede Ing Suro Mudo (1573 - 1590). Setelah wafatnya ia di ganti oleh Kemas Adipati selama 12 tahun. Kemudian digantikan oleh anaknya Den Arya lamanya 1 tahun.

Pangeran pengganti selanjutnya adalah Pangeran Ratu Madi Ing Angsoko Jamaluddin Mangkurat I (1596 - 1629). Disaat kepemimpinan beliaulah terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kesultanan Banten yang dipimpin langsung oleh Sultan Banten, Sultan Maulana Muhammad, pada tahun 1596 yang berakibat kekalahan di pihak Kesultanan Banten dan dibarengi dengan meninggalnya Sultan Banten tersebut.

Pengganti selanjutnya ialah adiknya, yaitu Pangeran Madi Alit Jamaluddin Mangkurat II (1629 - 1630). Setelah wafat diteruskan pula oleh adiknya yang bernama Pangeran Sedo Ing Puro Jamaluddin Mangkurat III (1630 - 1639), wafat di Indra laya. Lalu digantikan oleh kemenakannya yang bernama Pangeran Sedo Ing Kenayan Jamaluddin Mangkurat IV (1639 - 1650) bersama dengan isterinya Ratu Sinuhun. Ratu Senuhun inilah yang  dikenal sebagai penyusun "Undang-undang Simbur Cahaya" yang mengatur adat pergaulan bujang gadis, adat perkawinan, piagam dan lain sebagainya di Kerajaan Palembang. 

Ratu Sinuhun, Penyusun
Ratu Sinuhun, Penyusun "Undang2 Simbur Cahaya" // Sumber : Sutanadil Institute

Sebagai ganti Pangeran Sido Ing Kenayan ialah Pangeran Sedo Ing Pesarean Jamaluddin Mangkurat V (1651 - 1652) bin Tumenggung Manca Negara. Tongkat estafet selanjutnya dipegang oleh puteranya yang bernama pangeran Sedo Ing Rejek Jamaluddin Mangkurat VI (1652 - 1659) sebagai raja Palembang. Beliau raja yang alim dan wara'.

Pangeran Sido Ing Rajek inilah yang merupakan Pemimpin terakhir dari Kerajaan Palembang yang di tahun 1659 M diserang oleh oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dipimpin oleh Laksamana Joan Van der Laen yang berakibat terbakarnya Keraton Kuto Gawang sampai habis.

Keraton Kuto Gawang, sebagaimana yang sekarang dapat divisualisasikan dari catatan dan lukisan Joan Nieuhaf dalam buku nya “Voyages and Travels to East Indies tahun 1653 – 1670 “ terlihat layaknya sebuah Ibukota Kerajaan Palembang yang dihuni oleh rakyat Palembang saat itu. Keraton ini berbentuk empat persegi panjang yang dibentengi dan dikelilingi oleh dinding dinding kayu tebal dari kayu Unglen dan Kayu Besi serta juga dihilirnya dilindungi oleh Benteng Pertahanan Manguntama di Pulau Kemaro serta Benteng Tambak Bayo dan Benteng  Martopuro di Plaju dan Sungai Gerong, sebagaimana tergambar jelas di lukisan La Ville de Palimbang dans I'lle de Sumatera dibawah ini.

Lukisan Keraton Kuto Gawang dan Situasi Perang Benteng Pertama // Sumber: Peta La Ville de Palimbang dans I'lle de Sumatera
Lukisan Keraton Kuto Gawang dan Situasi Perang Benteng Pertama // Sumber: Peta La Ville de Palimbang dans I'lle de Sumatera

Dikarenakan Keraton Kuto Gawang habis terbakar itu maka Pangeran Sido Ing Rajek dan Rakyat Palembang berangsur mengundurkan diri ke daerah Uluan atau pedalaman. Pangeran Sido Ing Rejek berikut rakyatnya kemudian mendirikan Keraton dan Benteng Pertahan baru di pedalaman yang diberi Nama “Indralaya” yang dijadikan tempat kedudukan Pangeran dan keluarganya. Sebagian lagi, rakyat Pelembang dibawa mengungsi ke saka tiga, pedamaran, tanjung batu dan pondok, tetapi kemudian sebagian besar dari mereka tinggal menetap ditempat-tempat tersebut hingga sekarang telah berkeluarga, turun temurun menjadi penduduk ditempat-tempat tersebut.

Selanjutnya Pangeran Sido Ing Rajek menunjuk adiknya, Pangeran Ario Kusumo atau Kiyai Mas Hindi, untuk kembali berjuang dan untuk mengusir VOC dari Palembang. Sejak terbakar habisnya Keraton Kuto Gawang, maka Kyai Mas Hindi dengan upaya dan kharismanya yang tinggi, menegakkan kembali harkat dan martabat Palembang. Beliau berhasil mengusir VOC dan membentuk serta membangun kembali peradaban Palembang pasca Perang Benteng pertama tahun 1659 M.

Pangeran Ario Kusumo Abdurrohim atau Kyai Mas Hindi //Sumber: keratonpalembang.com
Pangeran Ario Kusumo Abdurrohim atau Kyai Mas Hindi //Sumber: keratonpalembang.com

Kemudian pada tahun 1666 M, Pangeran Ario Kusumo atau Kyai Mas Hindi ini memproklamirkan Kerajaan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam dan beliau dilantik sebagai sultan pertamanya oleh semacam Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam.

Kerajaan Palembang ini juga banyak meninggalkan bukti primer sejarah dan arkeologi berupa Kompleks Pemakaman yang banyak tersebar di Kota Palembang, karena hampir semua Pemimpin atau  Rajanya membuat kompleks pemakaman mereka masing-masing, seperti :

  • Kompleks Makan Gede Ing Suro, terdapat makam Kiai Gede ing Suro Tuo bin Pangeran Siding Lautan (1552-1573) dan Keluarga besarnya, yang terletak diujung Jalan Haji Umar, Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang. Kompleks makam ini dikelilingi oleh parit, di sebelah selatannya terdapat Sungai Musi.
    Kompleks Makam Kid Gede Ing Suro // Sumber : Sutanadil Institute
    Kompleks Makam Kid Gede Ing Suro // Sumber : Sutanadil Institute
  • Makam Nyi Geding Pembayu, Yaitu makam Nyi Geding Pembayu, yang merupakan anak Kimas Anom, yang bersuamikan Pangeran Tumenggung Mancanegara. Beliau merupakan ibu dari Pangeran Siding Pesarean Ratu Mangkurat yang nantinya menurunkan Sultan-sultan Palembang Darussalam selanjutnya. Lokasinya terletak di Jalan Segaran, 15 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Palembang.
    Makam Nyi Gede Ing Pembayun // Sumber : Pojok Sejarah Palembang
    Makam Nyi Gede Ing Pembayun // Sumber : Pojok Sejarah Palembang
  • Makam Candi Angsoko, merupakan tempat makam Pangeran Madi Angsoko bin Kimas Anom Adipati Ing Suro Kiai Geding Suro Mudo,  yang memerintah Kesultanan Palembang pada tahun 1596–1629 M. Lokasinya terletak di Jalan Candi Angsoko 20 Palembang
    Kompleks Makan Candi Angsoko // Sumber : Kms. Andi Syarifuddin
    Kompleks Makan Candi Angsoko // Sumber : Kms. Andi Syarifuddin
  • Komplek Makam Candi Laras, yang terdapat makam Pangeran Madi Alit (Ketib Abang) bin Kimas Anom Adipati ing Suro Kiai Geding Suro Mudo. Ia memerintah Kerajaan Palembang pada tahun 1038–1039 H atau 1629–1630 M. Lokasinya terletak di sebelah Rumah Sakit Kristen Charitas, Jalan Sudirman Palembang
    Tampak Depan Makam Candi Larar/Simpang Charitas // Sumber : Sutanadil Institute
    Tampak Depan Makam Candi Larar/Simpang Charitas // Sumber : Sutanadil Institute
  • Komplek Makam Sabo Kingking, adalah makam Pangeran Siding Ing Kenayan bin Kimas Adipati yang letaknya tidak jauh dari kompleks pemakaman Ki Gede ing Suro di 3 Ilir Palembang, tepatnya di Sabo Kingking 1 Ilir Kecamatan Ilir Timur II Palembang. Komplek Pemakaman ini terletak di tengah danau kecil. Pangeran Siding ing Kenayan memperistri cucu Ki Gede Ing Suro bernama Ratu Sinuhun, yang pada masa pemerintahannya telah  membuat Undang-undang “Simbur Cahaya” yang berlaku di wilayah Sumatra Bagian Selatan saat itu. Dikompleks ini juga terdapat makam Panglima Bodrowongso yang merupakan seorang Panglima penyelamat kelangsungan Kesultanan Palembang Darussalam saat terjadi kekacauan di Keraton Kuto Gawang.
    Makam Sabokingking 3 Ilir Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
    Makam Sabokingking 3 Ilir Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
  • Komplek Makam Sako Tigo (Ogan Ilir), yaitu tempat makam Pangeran Siding Rejek bin Pangeran Siding Pesarean dan Keluarga, yang mengungsi ke Sako Tigo karena keratonnya (Kuto Gawang) dibakar habis pada tahun 1659 oleh Pasukan VOC Belanda. Kompleks pemakaman ini berlokasi di Inderalaya, Kabupaten Ogan Ilir.
    Komplek Makam Sakatiga Inderalaya // Sumber : Sutanadil Institute
    Komplek Makam Sakatiga Inderalaya // Sumber : Sutanadil Institute

Namun sangat disayangkan, jika dibandingkan dengan Kompleks Makam lainnya, Status tanah lokasi Kompleks Pemakaman Candi Laras (Nomor 4) sampai saat ini masih tidak jelas kepemilikannya dan posisi makam Pangeran Madi Alit inipun sampai sekarang tidak boleh dikunjungi dan dilihat, karena sudah di pagari dan ditutup dengan dengan pelat seng, serta apakah Makamnya masih ada atau tidak , hal ini belum bisa dipasktikan karna saat penulis berkunjung kesana, tidak bisa dan tidak diperbolehkan masuk ke lokasi makam tersebut. 

Kompleks Makam Cinde Laras yang tertututp Seng // Sumber : Sutanadil Institute
Kompleks Makam Cinde Laras yang tertututp Seng // Sumber : Sutanadil Institute
Sangat disayangkan sekali.., Padahal di Kompleks Makam ini juga terdapat sebuah Goa dan Bangunan bawah tanah yang diperkirakan mempunyai lorong bawah tanah yang menurut cerita beberapa zuriah, lorong bawah tanah ini  bisa terhubung dengan berbagai tempat di Palembang, termasuk ke Keraton Kuto Besak atau BKB. Untuk itulah hal ini juga butuh penelitian lebih lanjut.  

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peniliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 23 Desember 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun