Mohon tunggu...
HG Sutan Adil
HG Sutan Adil Mohon Tunggu... Sejarawan - Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Pemerhati dan Penulis Sejarah, Ekonomi, Sosial, Politik. Telah menulis dua buku sejarah populer berjudul Kedatuan Srivijaya Bukan Kerajaan Sriwijaya dan PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang. (Kontak 08159376987)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sejarah Singkat Kesultanan Palembang Darussalam

15 Desember 2023   08:47 Diperbarui: 16 Desember 2023   17:55 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Benteng Kuto Besak (BKB) // Sumber : Sutanadil Institute

SEJARAH SINGKAT KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM

Oleh : HG Sutan Adil

Sejak terbakar habisnya Keraton Kuto Gawang, yaitu Ibu kota dari Kerajaan Palembang, oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) maka Kyai Mas Hindi dengan upaya dan kharismanya yang tinggi, menegakkan kembali harkat dan martabat Palembang. Dengan dibantu Bangsawan dan Panglima serta masyarakat yang sangat pemberani, Beliau berhasil mengusir VOC dan membentuk serta membangun kembali peradaban Palembang pasca Perang Benteng pertama tahun 1659 M. Kemudian pada tahun 1666 M, Pangeran Ario Kusumo atau Kyai Mas Hindi memproklamirkan Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam dan beliau dilantik sebagai sultan oleh Badan Musyawarah Kepala-kepala Negeri Palembang dengan gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam serta mendapat legalitas pula dari Kesultanan Turki Utsmani.

Kyai Mas Hindy, Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam // Sumber : keratonpalembang.com  
Kyai Mas Hindy, Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam // Sumber : keratonpalembang.com  

Sebelumnya, sebuah keraton baru di Beringin Janggut dibangunnya dalam tahun 1660 M, dan sebuah masjid negara ditahun 1663 M. Masjid ini kemudian dikenal dengan Masjid Lama (17 ilir sekarang) dan kini hanya tinggal namanya saja di daerah tersebut, juga Keraton Beringin Janggut tinggal namanya saja yang dipakai sebagai sebuah jalan disana.

Sultan Pertama Kesultanan Palembang Darussalam ini, pada tahun 1662, Setelah Keraton Kuto Gawang Bakar Habis oleh VOC atau Kompeni, pusat pemerintahan dipindahkan ke Beringin Janggut yang letaknya di sekitar kawasan Mesjid Lama (Jl. Segaran Sekarang). Keraton beringin janggut atau Keraton Kuto Lamo adalah salah satu Istana Kesultanan Palembang Darussalam dan merupakan tempat tinggal Sultan Palembang Darussalam di zaman Sri Paduka Susuhunan Abdurrahman. Sekarang lokasi Istana Beringin Janggut tersebut telah menjadi kawasan pertokoan. Lokasi asal dari Istana Beringin Janggut ini terletak di Jalan Beringin Janggut Palembang.

Kompleks Makam Pangeran Ario Kusumo atau Kyai Mas Hindi gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam // Sumber : keratonpalembang.com 
Kompleks Makam Pangeran Ario Kusumo atau Kyai Mas Hindi gelar Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidul Imam // Sumber : keratonpalembang.com 

Bapak pembangunan Kesultanan Palembang Darussalam ini setelah wafatnya disebut dengan Sunan Candi Walang, makamnya terdapat di Gubah Candi Walang 24 ilir Palembang, pemerintahannya selama 47 tahun. Dibawah kepemimpinan beliaulah Islam telah menjadi agama resmi Kesultanan Palembang Darussalam (Darussalam = negeri yang aman, damai dan sejahtera) dan pelaksanaan hukum syareat Islam berdasarkan ketentuan Al-Quran dan As-Sunah.

Beliaulah yang memantapkan menyusun, mengatur serta mengorganisir struktur pemerintahan modern secara luas dan menyeluruh, hukum dan pengadilan ditegakkan, pertahanan, pertanian, perhutanan dan hasil bumi lainnya ditata dengan serius. Struktur pemerintahan di tata sesuai menurut adat istiadat negeri yang lazim diatur leluhur kita di Palembang ini. Sultan mempunyai seorang penasehat Agama dan seorang sekretaris. Juga didampingi pelaksana pemerintahan sehari-hari sebagai pelaksana harian dan didampingi oleh Kepala Pemerintahan setempat sebagai Kepala Daerah. Tiga orang sebagai anggota Dewan Menteri terdiri dari pangeran Natadiraja, pangeran Wiradinata dan pangeran Penghulu Nata Agama yang mengatur tentang seluruh permasalahan Agama Islam.

Dimasa Kesultanan Palembang Darussalam inilah wilayah kekuasaannya sudah sangat luas dan jika dibandingkan wilayah daerah pemerintahan Keresidenan Palembang pada zaman Belanda itu adalah hampir sama, walaupun batas-batasnya tidak bisa dibilang sama juga. Ditinjau dari sudut geografinya, maka wilayah kekuasaan Kesultana Palembang Darussalam ini bisa meliputi daerah dari Jambi bagian selatan, Bengkulu Bagian timur pengunungan barisan, dan Lampung Bagian Utara yang dihubungkan oleh daerah rawa yang luas, dari Bengkulu oleh Bukit Barisan. Sungai-sungai didalamnya yang semuanya dapat dilayari dan semuanya bertemu pada suatu titik yaitu ibukota Palembang. Wilayah Kesultana Palembang Darussalam ini juga termasuk kepulauan Bangka dan Belitung, hal mana merupakan persyaratan untuk mendirikan suatu pusat kekuasaan yang kuat dan berdaulat.

Lambang Kesultanan Palembang Darussalam // Sumber: RHM Akib
Lambang Kesultanan Palembang Darussalam // Sumber: RHM Akib

Sebelum wafat pada tahun 1707 M, Kiai Mas Hindi ini menobatkan seorang puteranya anak dari Ratu Agung sebagai Sultan Palembang Darussalam yang kedua dengan gelar Sultan Muhammad (Ratu) Mansur Jayo Ing Lago, yang berkuasa mulai dari tahun 1706 M sampai dengan tahun 1714 M. Dalam tahun 1709 M, Sultan Muhammad Mansur telah menobatkan juga putera sulungnya Raden Abubakar menjadi Pangeran Ratu Purboyo. Pewaris mahkota ini tidak sempat menjadi raja karena wafat, sehingga sesuai wasiatnya, Sultan Muhammad (Ratu) Mansur digantikan oleh adiknya bemama Raden Uju yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Palembang Darussalam yang ketiga dengan gelar Sultan Agung Komaruddin Sri Truno dan berkuasa sejak tahun 1714 M sampai tahun 1724 M. Kemudian beliau digantikan oleh kemenakannya Pangeran Ratu Jayo Wikramo dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin  Jayo Wikramo atau Sultan Mahmud Badaruddin I (SMB I) yang merupakan  Sultan Palembang Darussalam yang keempat memerintah dari tahun 1724 M sampai dengan tahun 1758 M.

Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo // Sumber : keratonpalembang.com 
Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo // Sumber : keratonpalembang.com 

Sultan Palembang Darussalam yang kelima adalah Pangeran Adikesumo, Putra kedua dari Sultan Mahmud Badaruddin I, adik dari Raden Jailani Pangeran Ratu yang wafat terlebih dahulu, dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin I dan memerintah dari tahun 1758 M sampai dengan tahun 1776 M. Sultan Ahmad Najamuddin I digantikan oleh putera mahkota yang setelah dinobatkan menjadi Sultan Palembang Darussalam bergelar Sultan Muhammad Bahauddin. Sultan ini memerintah dari tahun 1776 M sampai dengan tahun 1803 M. Sultan yang keenam ini wafat pada tanggal 3 April 1803 M. Sultan Muhammad Bahauddin digantikan oleh putera sulungnya Raden Hasan Pangeran Ratu dengan gelar Sultan Mahmud Badaruddin II,  sebagai Sultan Palembang Darussalam yang ketujuh dan memerintah dari tahun 1803 M sampai dengan tahun 1821 M.

Belum sewindu memegang tampuk pemerintahan, datanglah Inggris ke Palembang pada tahun 1812, yang berniat mengambil alih kekuasaan Belanda dengan pasukan lengkap dan selanjutnya terjadilah Perang Benteng Kedua (2). Tetapi untuk menghindari pertumbahan darah yang lebih besar dan menjaga keamanan rakyatnya, Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) melakukan strategi mundur ke kepedalaman untuk meneruskan perang gerilya yang sebelumnya mewakilkan pemerintahan Kesultanan kepada adiknya, Pangeran Adipati, dengan gelar Sultan Mudo.

Perang Benteng Kedua dengan Inggris // Sumber : Sutanadil Institute
Perang Benteng Kedua dengan Inggris // Sumber : Sutanadil Institute

Dengan politik adu-domba ala kolonialis, oleh lnggeris Pangeran Adipati "diakui" sebagai Sultan Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II yang sempat memerintah dari tahun 1812 M sampai dengan tahun 1819 M yang dipotong bergantian dengan SMB II. Setelah kondisi kondusif, dalam tahun 1813 M, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang memegang tampuk pemerintahan Kesultanan mulai tahun 1813 sampai tahun 1819.

Dalam kondisi tidak kondusif akibat terhadinya masalah internal di Kesultanan pada saat itu, Sultan Mahmud Badaruddin II menobatkan putera sulungnya menjadi raja dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin Pangeran Ratu (1819 - 1821), dan selanjutnya Sultan Mahmud Badaruddin bergelar Susuhunan. Untuk lebih jelasnya mengenai Sejarah Kesultanan Palembang Darussalam dan Perang Benteng, dapat dibaca langsung di Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang” Karya HG Sutan Adil.

Buku Perang Benteng // Sumber : Sutanadil Institute
Buku Perang Benteng // Sumber : Sutanadil Institute

Setelah terjadi beberapa kali perang maritim besar dengan Belanda, yaitu Perang Benteng Ke-3, Ke-4 dan Ke-5, Akhirnya kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin II dan Pangeran Ratu digantikan oleh Keponakannya Pangeran Prabu Anom yang bergelar Sultan Ahmad Najamuddin (IV), yang merupakan putera sulung Sultan Ahmad Najamuddin II dari tahun 1821 sampai tanggal 7 Oktober 1823 yang merupakan Sultan Resmi dan Sultan penutup Kesultanan Palembang Darussalam. Setelah di kuasai Kolonialis Belanda, posisi sultan ditiadakan tetapi tetap menunjuk salah seorang Bangsawan Kesultanan Palembang untuk mengelola pemerintahaan secara terbatas di Kesultanan Palembang Darussalam.

Pahlawan Nasional asal Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
Pahlawan Nasional asal Palembang // Sumber : Sutanadil Institute

Atas jasa besar Sultan Mahmud Badaruddin Raden Hasan atau Sultan Mahmud Badaruddin II (SMB II) dalam berjuang melawan Kolonialis Inggris dan Belanda diatas, maka pada tanggal 29 Oktober 1984 beliau tetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Selain ada museum Sultan Mahmud Badaruddin II, nama beliau juga dikenal dan sematkan untuk Bandara Internasional di Palembang, yaitu Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.  

Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang // Sumber : Sutanadil Institute
Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang // Sumber : Sutanadil Institute

Dimasa Kesultanan Palembang Darussalam ini, banyak sekali ulama dari Jazirah Arab yang turut memperkuat dan membina umat Islam untuk masyarakat Palembang, terutama dari Hadramaut. Banyak ulama ini yang memberi perhatian dan ilmu agama di kalangan Istana, sehingga istana tidak hanya sebagai pusat pemerintahan namun juga menjadi pusat ilmu pengetahuan dan Agama. Sebagian ulama Palembang seperti Shihabuddin, Kemas Fakhruddin, Muhammad Mahyiddin, dan Kemas Muhammad dikenal memiliki karya karya yang mula mula disimpan di istana Kesultanan sebelum diambil oleh Belanda dan Inggris.

Diantara ulama yang menonjol tercatat adalah Abdus Shamad Al-Falimbani, yang sangat terkenal di Palembang dan Nusantara saat itu serta juga di negara2 Asia Tenggara. Beliau menjadi guru bagi para Pangeran Ratu dan kaum Priyayi di Kesultanan Palembang Darussalam. Kitab karya beliau yang banyak beredar di Nusantrara dan menjadi banyak rujukan dalam mempelajari agama Islam dan perjuangan untuk berjihad melawan kolonialis Eropa khususnya Belanda dan Inggris, antara lain:

•             Zahratul Murid fi Bayani Kalimatit Tauhid (1178 H/1764 M)

•             Risalah Pada Menyatakan Sebab Yang Diharamkan Bagi Nikah (1179 H/1765 M)

•             Hidayatus Salikin fi Suluki Maslakil Muttaqin (1192 H/1778 M)

•             Siyarus Salikin ila 'Ibadati Rabbil 'Alamin, (1194 H/1780 M-1203 H/1788 M)

•             Kitab Nasihat al-muslimin wa tazkirah al-mu’min fi fadail Jihad fi Sabillah, untuk memompa semangat perlawanan terhadap Kolonialis.

Abdus Shamad Al-Falembani // Sumber : Sutanadil Institute
Abdus Shamad Al-Falembani // Sumber : Sutanadil Institute

Ayahnya seorang Arab yang berasal dari San’a Yaman dan Ibunya seorang wanita asli Palembang. Beliau banyak berkelana dalam mencari ilmu seperti, Kedah, Patani, Makkah, Madinah, dan negeri islam lainnya, sehingga banyak berguru kepada Ulam terkenal dunia, seperti; Muhammad bin Abdul Karim As-Samani, Muhammad bin Sulayman Al-Kurdi, Abdul Mukmin Ad-Damanhuri, Ibrahim Al-Ra’is, Muhammad Murad, Muhammad Jauhari, Atha-Allah Al-Masri.

Ada pertentangan dari para sejarahwan Islam tentang kapan dan dimana beliau meninggal. Salah satunya yang pernah Penulis ziarahi adalah makam beliau di sebuah pasar tradisional di Kecamatan Kuok, Kota Bangkinang, Kab. Kampar, Riau. Namun makam ini perlu diteliti lebih lanjut, apakah makam asli atau hanya sebuah makom petilasan saja.

Peninggalan dan Bukti Arkeologi yang ditinggalkan oleh Kesultanan Palembang Darussalam ini cukup Banyak namun sayangnya masih belum dikenal secara umum sebagai Cagar Budaya yang sangat bernilai tinggi. Hampir semua Sultan Kesultanan Palembang meningalkan komplek pemakaman mereka dan atau bergabung dalam satu kompleks pemakaman.

Kompleks makam Kawah tengkurep 3 Ilir Palembang//Sumber: Sutanadil Institute 
Kompleks makam Kawah tengkurep 3 Ilir Palembang//Sumber: Sutanadil Institute 

Kompleks Pemakaman tersebut antara lain, seperti :  Komplek Pemakaman Candi Walang di dekat Pasar Cine Palembang sebagai Makan Pendiri Kesultanan Palembang Darussalam, Komplek Pemakaman Kebon Gede di 32 Ilir Palembang sebagai makam Sultan Mansyur Jayo Ing Lago, Kompleks Makam Sultan Agung di  Kelurahan 1 Ilir palembang sebagai Makam Sultan Agung Komaruddin Sri Teruno,  Komplek Makam kawah Tengkurep di Kelurahan 3 Ilir Palembang sebagai makam Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Beberapa Sultan Lainnya, dan Kompleks Makam Islam Ternate di Kelurahan makasar barat Ternate Tengah sebagai Makam Sultan Mahmud Badaruddin dan Keluarga lainnya yang diasingkan oleh Belanda.

Benteng Kuto Besak (BKB) // Sumber : Sutanadil Institute
Benteng Kuto Besak (BKB) // Sumber : Sutanadil Institute

Benteng Kuto Besak (BKB) // Sumber : Sutanadil Institute
Benteng Kuto Besak (BKB) // Sumber : Sutanadil Institute

Selain meninggalkan banyak kompleks  makam, juga ada sebuah Keraton Kuto Besak yang  dulunya adalah sebuah Keraton dan tempat kediaman para sultan Kesultanan Palembang Darussalam. Tetapi sayangnya, disaat Kolonialis Belanda  menguasainya, Keraton tersebut dialih-fungsikan sebagai Benteng oleh mereka dan selanjutnya juga Tentara Nasional Indonesia (TNI) memfungsikannya juga sebagai Benteng dan sebagai kantor Kesehatan Kodam II Sriwijaya dan Bekas Keraton Kesultanan Palembang Darussalam tersebut sekarang dikenal sebagai Benteng Kuto Besak (BKB). 

Museum Sultan Mahmud Badaruddin II // Sumber : Sutanadil Institute
Museum Sultan Mahmud Badaruddin II // Sumber : Sutanadil Institute

Disebelahnya BKB itu, dahulunya ada juga sebuah Keraton bernama Keraton Tengkuruk milik Kesultanan Palembang Darussalam yang sekarang tidak ada bekasnya lagi karena dibongkar oleh Belanda untuk dibangunkan sebuah Rumah Dinas Residen Belanda. Sekarang, rumah dinas Residen Belanda tersebut dijadikan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II dan Kantor Dinas Kebudayaan Kota Palembang.

Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo // Sumber : Sutanadil Institute
Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo // Sumber : Sutanadil Institute

Peninggalan yang cukup Fenomenal dan terus berfungsi sejak dibangun oleh Sultan ke-4 Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1797 adalah Masjid Agung Palembang yang sekarang bernama sesuai dengan nama beliau yakni Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo.

Namun sangat disanyangkan ada Peninggalan Kesultanan Palembang lainnya yang belum diangkat sejarahnya dan juga jarang sekali mendapat perhatian dari para Sejarawan dan Peneliti Sejarah di Palembang. Peninggalan tersebut antara lain adalah Benteng-benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam yang sangat berjasa bagi Kesultanan Palembang Darussalam dalam Perang Maritim terbesar di abad ke-17 dan abad ke-19. 

Sebaran Benteng-benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam disepanjang Sungai Musi // Sumber : Sutanadil Institute
Sebaran Benteng-benteng pertahanan Kesultanan Palembang Darussalam disepanjang Sungai Musi // Sumber : Sutanadil Institute
Benteng-benteng tersebut adalah adanya 11 lokasi Benteng Pertahanan di  sekitar Pulau kemaro (termasuk Plaju dan Sungai Gerong) dan juga yang berada disepanjang aliran Sungai Musi dan Sungai Komering yang memang menurut hasil Penelitin dari Sutanadil Institute bahwa Benteng Pertahanan tersebut terbuat dari bahan-bahan alamiah yang mudah rusak dan tidak tahan lama. Hilangnya bekas benteng pertahanan tersebut juga diakibatkan dari Pembakaran dan Pembumi-hangusan oleh Belanda saat setelah Kota Palembang dikuasai. Sayang sekali memang...

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 16 Desember 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun