Narasi Bukit Seguntang yang ada sekarang ini hanyalah menceritakan adanya kedatangan tiga orang bangsawan yang diperikirakan dari wilayah Persia bernama Sangsa Purba, Sang Nila Pahlawan dan Sang Nila Pandita. Sangsa Purba menikahi anak pengguasa Bukit Seguntang saat itu, Demang Lebar Daun, bernama Wan Sundariah. Dari pernikahan tersebut lahirnya Sang Nila Utama yang sering di sebut juga sebagai Parameswara.
Seperti itu saja narasi tentang Bukit Seguntang selama ini yang diketahui selain adanya beberapa kuburan kuno yang juga selama ini belum banyak diteliti oleh para sejarawan dan arkeolog. Dan selanjutnya juga belum banyak hal Kongkrit yang dilakukan stakeholder terkait untuk membumikan narasi Bukit Seguntang dan Sang Nila Utama ini.
Hal diatas juga dialami sendiri oleh penulis dalam mensosialisasikan sejarah Kerajaan Palembang dan Kesultanan Palembang Darussalam, khususnya tentang Pulau Kemaro, tempat dimana terjadinya sebuah Perang Maritim terbesar yang terjadi di sepanjang Sungai Musi di Palembang dan adanya Keberadaan 3 buah Benteng Kesultanannya. Dimana saat itu berhadapan Kerajaan Palembang dengan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC dan juga dimasa Kesultanan Palembang Darussalam yang berhadapan dengan Ingnris dan Belanda.
Adanya tanggapan yang “Reaktif” yang dialami penulis saat itu, mulai dari tidak percaya adanya Perang Besar dan keberadaan 3 Benteng tersebut, sampai pemboikotan terhadap sosialisasi buku yang ditulis langsung oleh penulis dengan judul “PERANG BENTENG, Perang Maritim Terbesar abad 17 dan 19 di Palembang”, yang menceritakan tentang Perang dan Benteng2 tersebut.
Adalah merupakan sikap yang kurang bijak dalam menerima sesuatu hal baru tentang Sejarah Besar Palembang yang masih banyak tenggelam ini secara Reaktif itu. Hal baik adalah selanjutnya diharapkan kepada semua stakeholder terkait untuk meneliti kembali dan bersatu padu untuk bersama-sama melakukan sesuatu dengan cara “Dekonstruksi” Sejarah di Palembang ini.
Hal ini penting agar semua peninggalan cagar budaya, baik benda maupun non benda, kedepannya akan bisa di “Konkrit” atau “Dibumikan” kembali, selain sebagai sebuah Pendidikan Peninggalan Sejarah Budaya, juga situs-situs sejarah tersebut dapat menjadi suatu “Destinasi Wisata” yang menarik, atau sebagai tempat tujuan wisata yang menDunia yang bertaraf Internasional.
*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 28 Pebruari 2023