PERANG BENTENG KETIGA di Palembang, Perang Lawan Belanda yang Pertama
Oleh : HG Sutan AdilÂ
Sejak kembalinya Belanda ke Nusantara sebagai pelaksanaan dari perjanjian London, tanggal 13 Agustus 1814, seperti telah disebutkan menjelang akhir bagian terdahulu, Belanda menerima kembali dari lnggeris daerah-daerah yang pernah didudukinya sejak tahun 1803 M, termasuk beberapa daerah Kesultanan Palembang.Â
Serah terima itu dilakukan antara M.H. Court (Inggris) dengan Klaas Heynes (Belanda) di Mentok, Bangka, tahun 1816 M. Ketika seminggu kemudian Klaas Heynes ke Palembang, didapatinya terjadi dualisme kekuasaan, di satu pihak ialah kekuasaan Sultan Ahmad Najamuddin II (Sultan Mudo) di Kota Palembang dan Sultan Mahmud Badaruddin II di lain pihak. Menurut Belanda, Sultan Ahmad Najamuddin II resmi menjadi Sultan Tetapi beliau tidak mempunyai kekuasaan terhadap rakyat, karena di pedalaman rakyat berdiri di belakang Sultan Mahmud Badaruddin II.Â
Dari kacamata perjuangan, melawan kolonialis asing dalam keadaan yang demikian itu memanglah merupakan taktik dan strategi Sultan yang kakak beradik itu. Hal seperti ini tidak pernah diungkapkan dalam buku-buku sejarah Indonesia, sehingga telah menimbulkan tafsiran dan pendapat yang berbeda-beda bahkan yang bertentangan di kalangan masyarakat sampai sekarang ini.
Oleh karena Klaas Heynes tidak sanggup melaksanakan tugasnya menguasai keadaan di Palembang, dan di samping itu banyak pula kesalahan-kesalahan lain, maka dia digantikan sementara oleh R. Coppa Green, seorang anggota Komisi Pemeriksa Keuangan, sambil menunggu kedatangan Mr. H.W. Muntinghe.Â
Setelah H.W. Muntinghe tiba ditahun 1819 M, administrasi pemerintahan berangsur-angsur dipusatkan di Palembang, sedangkan pekerjaan di Mentok diserahkannya kepada M.A.P. Smissaert. Di awal tahun 1818, Muntinghe memulai aktivitasnya di Palembang, karena mengemban tugas khusus yaitu menurunkan Sultan Ahmad Najamuddin II dan setelah itu menghapuskan Kesultanan Palembang untuk selama-lamanya.Â
Untuk itu, H.W. Muntinghe mulai menjalankan politik adu-domba. Mula-mula diturunkannya Sultan Adhmad Najamuddin II (Sultan Mudo) dari takhta secara paksa dan selanjutnya diakui Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Raja yang berdaulat. Jelas dengan tindakannya itu Muntinghe menjalankan politik adu domba terhadap Sultan yang bersaudara kandung itu.Â
Sultan Ahmad Najamuddin II mengetahui benar kebencian Inggris terhadap Belanda, sebagai tindakan balasan terhadap sikap Belanda ke mereka, beliau mengabarkannya kepada Raffles di Bengkulu, perihal tindak tanduk Muntinghe di Palembang. Raffles yang dari awal tidak menyetujui pembatalan kesepatan Tuntang itu, segera mengirim sejumlah serdadunya ke Kraton Kuto Lamo dan setibanya di sana terus menaikkan bendera Kerajaan Inggris.Â