Ketika melewati Ibukota, VOC menerima perlawan sebagaimana yang dialami di benteng2 sebelumnya, akan tetapi tidak mengalami kerusakan terlalu banyak dan tak satupun kapalnya yang mengalami kerusakan berarti. Kota Palembang dibentengi oleh batang-batang pohon besar dirapatkan, dan banyak meriam besar ditempatkan di sekitarnya, juga adanya sungai kecil atau parit yang dalam dan berlumpur mengelilinginya.
VOC mendapatkan kesulitan mencari tempat mendarat, hingga akhirnya melihat ada anak sungai di balik titik terjauh benteng pertahanan tersebut. Anak sungai tersebut mengarah ke tempat yang sangat aman dari tembakan pasukan Palembang.Â
VOC akhirnya berhasil mendarat dengan seluruh pasukan dan melemparkan granat ke arah ibukota yang kemudian menyebabkan rumah-rumah berdempetan terbakar. Hal ini menyebabkan terjadi kekacauan dan ketakutan bagi penghuninya sehingga banyak yang meninggalkan tempat mereka.
Hal ini dimanfaatkan oleh Laksamana Vander Laen, Mr Truytsman dan Kapten Harman untuk menerobos pertahanan Kota lewat tiga jalur berbeda. Di sana, mereka mendapat perlawanan sengit dari penduduk lokal dan menyerang ketiganya dengan gagah berani.
Dalam pertempuran ini, penduduk Palembang berhasil membunuh perwira VOC, di antaranya adalah seorang Letnan, seorang Letnan Muda dan seorang sersan, tapi mereka sendiri tidak mengalami banyak kehilangan. Hujan deras malam itu memaksa VOC untuk membawa kembali pasukannya kekapal dan esok paginya mereka kembali mendarat dan memasuki Ibukota lewat titik yang sama.
Beberapa pertempuran terjadi  tanpa hasil bagi penduduk lokal dan laskar Palembang, sampai akhirnya mereka berhasil dipaksa meninggalkan Ibukota dan mundur ke kampung-kampung serta daerah Uluan.
Setelah VOC berhasil menjarah seluruh seluruh meriam dan harta2 istana raja, selanjutnya mereka membumi-hanguskan Keraton Kuto Gawang dan seisi Ibukota pada tanggal 16 November 1659, setelah sebelumnya membawa meriam dan hasil jarahan ke kapal kapal yang sudah menunggu. Palembang akhirnya dapat diduduki VOC (Kompeni) pada 23 November 1659.
Ibukota Palembang dan Keraton Kuto Gawang dan juga permukiman penduduk, dan tempat orang-orang Cina, Portugis, Arab, India dan bangsa-bangsa lain yang ada di seberang Ibukota tersebut juga dibakar habis selama 3 hari dan 3 malam.
Dikarenakan Keraton Kuto Gawang habis terbakar itu maka pasukan dan rakyat Palemban berangsur-angsur mengundurkan diri ke pedalaman. Pangeran Palembang, Sido Ing Rejek berikut rakyatnya kemudian mendirikan Kuto baru di pedalaman yang diberi Nama "Indralaya" yang dijadikan tempat kedudukan Pangeran.
Sebagian besar lagi, rakyat Pelembang dibawa mengungsi ke saka tiga, pedamaran, tanjung batu dan pondok, tetapi kemudian sebagian besar dari mereka tinggal menetap ditempat-tempat tersebut hingga sekarang telah berkeluarga, turun temurun menjadi penduduk ditempat-tempat tersebut. Di Lokasi tersebut juga masih banyak terdapat peniggalannya di tempat tersebut, seperti; Makam perkuburannya sendiri, masjid, balainya dan lain-lain.
Setelah Ibukota Palembang dan Keraton Kuto Gawang habis dibakar dan hampir dikosongkan dengan mengungsinya sebagian besar penduduknya ke pedalaman, maka dalam pada itu para Pangeran mengambil siasat melakukan sistem peperangan secara pengepungan (blokade) dan gerilya terhadap VOC dan disisi lain Pangeran sendiri pindah ke Saka Tiga.