Kaki tangan ketiga tokoh adat itu bertebaran di seluruh wilayah Minangkabau. Memang kenyataannya banyak penghulu adat yang tidak setuju dengan kondisi itu juga dan tidak terlibat dalam urusan candu ini, bahkan banyak juga yang melawan, tapi tidak berhasil karena gerombolan pengedar candu sangat kuat. Pembakaran pasar Pandai Sikek oleh Haji Miskin yang dipicu oleh candu-judi-tuak melibatkan seorang penghulu terkenal dari Tanah Datar.
Gerakan TNR lebih tepat disebut sebagai "Gerakan Surau". Boleh jadi TNR terinspirasi oleh gerakan Wahhabi, tapi mereka bukan Wahabi yang terpublis saat ini, karena sejatinya kaum Naqsabandi tidak menyukai jalan kekerasan, dan tidak ada bukti bahwa beliau benar-benar Wahhabi. Istilah Wahhabi yang dilekatkan kepada Perang Padri juga berasal dari pendapat Prof. Veth ini.
Menurut versi lokal, tidak benar gerakan awalnya surau memerangi candu ini diinisiasi oleh Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin (nama lain dari Haji Pamansiangan). Sewaktu mereka pulang ke Minangkabau mereka sudah menemukan banyak kerusuhan yang disebabkan oleh gerakan surau-nya TNR. Kemudian mereka bergabung dengan TNR, membuat gerakan surau menjadi masif. Akibat terdesak oleh gerakan surau TNR, ketiga gembong candu memobilisasi kekuatan dan meminta pertolongan kepada Belanda. Belanda pun ikut campur urusan orang Minangkabau, melahirkan perang besar.
Perang inilah yang dikatakan secara keliru oleh Prof Veth sebagai perang Kaum Wahhabi melawan Kaum Adat. Tapi kita maklum, Kolonialis Belanda memang sering menulis dengan tujuan mereka dan tentu saja untuk mengadu domba dan membersihkan nama meraka saat ini. Campur tangan Belanda tidak menyurutkan semangat Kaum Surau. Perang makin sengit karena para penghulu adat yang anti candu bergabung dengan Kaum Surau.
Bergabungnya penghulu adat inilah yang kemudian melahirkan perang orang Minangkabau melawan Kolonialis Belanda. Tuanku Imam Bonjol adalah murid TNR yang paling terkenal, paling kuat, tapi juga yang mengakhiri perlawanan terhadap Belanda setelah beliau ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Ambon, lalu ke Lotar, Sulawesi.
Rekonstruksi atau juga peng-koreksian sejarah memang sangat diperlukan saat ini untuk meluruskan sejarah yang terbengkokkan dan terkaburkan, sebagaimana sebelumnya sering di ungkap oleh almarhum Babe Ridwan Saidi, seorang tokoh nasional dibidang Politik, Sejarah dan Budaya, diberbagai tulisan dan talkshow beliau di berbagai media.
Banyak sekali sejarah nasional ini yang masih terkaburkan dan tenggelam. Butuh peneliti sejarah dan budayawan serta pemangku jabatan pemerintahan yang berani untuk mengungkapkan dan mengkoreksi sejarah yang sudah terlanjur menjadi standar sejarah nasional saat ini.
*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute
Bogor, 11/1/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H