Mohon tunggu...
Iwan Darmawan
Iwan Darmawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

RockAnthemYourBrain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bunga Kaca Terakhir untuk Mama

4 Desember 2013   18:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Mom, aku pulang.”

Cuaca sangat terik saat aku mengakhiri jam sekolahku di kamis siang yang sangat menyengat. Langsung saja aku berlari menuju lemari es untuk mengambil minuman dingin yang telah kusiapkan kemarin. Aku tahu karena pasti kemarau panjang ini, akan banyak membuatku merana karena kehausan.

Jangan langsung minum air es, dong, Safira.” Mama yang sedang membaca di koridor dapur menghampiriku. “Abis panas banget, Mom. Bisa-bisa aku pingsan karena kepanasan. Hehe,” jawabku sambil menyeruput minuman dinginku hingga kepalaku terasa pusing. Aku hampir tidak bisa menjaga keseimbanganku, tanganku sontak menyentuh sesuatu yang tak terduga, hiasan bunga kaca yang disimpan di atas meja itu …. Praaaaaannnk ….

Yaa ampuun FIRA!!!” Mata Mama melototiku dengan tajam, ooh …. Tidak! Aku memecahkan hiasan bunga kesayangan Mama. “Mom, maafin aku ….” Aku memeluk Mama di kasurnya. Mama menangis. Ia menatapku kemudian. Sorot matanya memancarkan maaf yang tulus. Sejak saat itu aku tahu, hiasan bunga kaca itu adalah yang terakhir almarhum Papa berikan pada Mama. Oleh-oleh dari perjalanannya ke Prancis 12 tahun yang lalu.

Minggu pagi, aku dan Mama menempelkan pecahan-pecahan hiasan bunga kaca yang masih bisa utuh, meskipun beberapa berserakan menjadi kaca yang sulit untuk disusun kembali.

---

Lima tahun setelah kejadian itu, aku resmi masuk Universitas. Mama yang mengandalkan uang dari berjualan bunga di toko bunga yang Mama dan Papa rangkai berpuluh tahun lalu, terlihat sangat kewalahan dengan biayaku sekolah. Mulai saat itu, aku memutuskan untuk tidak menyusahkan Mama lagi. Aku kerja paruh waktu di salah satu restoran Pizza terbaik di Bandung. Hasilnya lumayan, setidaknya, aku bisa membantu Mama untuk membayar setengah dari uang semesteran kuliahku dan tidak membebaninya dengan meminta uang jajan.

Mama selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu berlebihan dalam bekerja, kadang di malam hari, aku sering melihat Mama menangis di kamar sambil memegang foto Papa dan berkata-kata dalam senyap. Sedikit kutahu apa yang Mama ucapkan: “Maafkan aku, Raja. Jika kau disini, aku mungkin tak akan pernah membuatmu sekecewa ini”.

Saat itu pula aku tak bisa menahan tangisan perih di dadaku.

---

Aku lulus dari Universitas dengan pencapaian terbaik Universitas di tahun ini. Di acara wisudaku, Mama menggunakan gaun cantik yang dibelikan Papa. Mama menggunakan beberapa bunga yang mekar di bajunya, hiasannya cantik meronakan warna muda hingga Mama terlihat tak terlalu tua.

Mama bangga padamu, Safira. Mama sayang kamu.” Mama menatapku dengan senyumnya merekah, semerekah bunga yang indah di bajunya. “Aku juga sayang Mama, kok. Makanya aku ga mau buat Mama kecewa.” Kemudian air mata menetes dari pelupuk matanya, aku pun tak bisa menahan air mata yang jatuh dari sendi mataku yang memerah.

Kami menjadi tontonan penuh haru. Aku, Mama, mungkin Papa juga ikut berpelukan.

---

Pencapaian terbaikku di Universitas ternyata tidak sia-sia, tawaran melanjutkan studiku ke luar negeri, tak bisa tertahankan. Aku tak bisa menolaknya. Namun, mungkinkah aku meninggalkan Mama sendiri di Bandung?

Tujuannya adalah kota Terakhir yang Papa kunjungi, Marseille. “Jangan kau pikirkan Mama. Mama akan sangat bangga jika kamu ambil tawaran itu.” Derai air mata kembali memuncak di sore penuh lembayung itu. “Tapi Mama sendiri … aku gak bisa, Mom.” Aku membalas pelukan Mama yang hangat. “Mama akan sangat kecewa jika kamu gak berangkat ke Marseille” teguh Mama dengan yakin.

---

“Aku ga bakal bikin Mama kecewa!” Aku yakin bahwa aku pasti bisa buat Mama bangga. “Mama yakin! Mama bakal jadi wanita paling hebat di dunia ini, melihat anaknya sukses menjadi seniman terhebat abad ini” senyum Mama terlingkar di rona merahnya, meskipun kata-katanya sedikit agak berlebihan.

Aku pun mengakhiri bincang siang itu dengan mencium pipi Mama yang terasa basah karena harus terus dialiri air kesedihan merona bangga. Tangisan itu yang membuat beratnya kepergianku kala itu.

Good bye, Mom. I’ll be back. Membawa berjuta bunga untukmu.

---

Tak sulit untukku berbagi kabar dengan Mama. Aku mengirim uang kepada Jono, adik sepupuku untuk membelikan Tablet Smartphone untuk Mama. Setiap minggu Skype selalu membantuku untuk melihat wajah Mama dan bercerita tentang kesedihan dan kebahagiaanku di sini. Marseille, kota yang penuh canda tawa.

Indah. Aku selalu mengatakan itu pada Mama. Aku berjanji, ketika aku pulang nanti aku akan membawa karya pertamaku yang akan mengejutkan Mama. Aku sudah menyiapkannya.

---

Hari kelulusanku, tidak begitu spesial, tanpa kehadiran Mama. Mama menolak untuk terbang ke Marseille menemaniku. Aku sempat kesal, tapi aku tak bisa memaksa Mama. Rona pucat dan kering aku lihat terakhir saat aku berhubungan lewat Skype. Mungkin Mama memang sedang sakit, tapi Mama tak pernah mengatakannya padaku.

“Mom … aku luluuuus!! Horeee!!” Rona bahagia kuperlihatkan pada Mama lewat Skype. Mama tersenyum ceria dan terlihat meneteskan air mata. “Sudah Mama bilang, kan. Kamu pasti buat Mama bangga. Cepat pulang! Mama sudah gak sabar pengen peluk kamu.

Tiket pesawat menuju Indonesia sudah kupesan dari 2 minggu lalu lewat agen travel yang juga membawaku ke sini. Akhirnya, setelah 2 tahun lebih aku meninggalkan Mama, aku bisa bertemu dengan Mama lagi. Rinduku setumpuk tanah liat yang menggunung. Mom, aku bawa sesuatu untukmu.

---

Perjalanan yang sangat membosankan, terlalu lama di pesawat memang membuat mual. Mama berjanji padaku akan datang menjemputku di Bandara. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu Mama.

Sesampainya disana aku menuju tempat tunggu di sekitaran lobi Bandara. Mama mungkin belum sampai. Aku coba menelpon Om Surya untuk mengetahui posisinya sekarang. Ternyata Om Surya sudah ada di bandara.

Aku menemukan Om Surya di depan pintu masuk bandara. Tapi, kemana Mama? “Om, Mama di mobil, yah?” tanyaku penasaran. “Mama gak bisa ikut, Fira.” jawabnya singkat. “Looh, memangnya kenapa, Om? Mama sakit?” tanyaku terlebih penasaran. “Iya, sudah beberapa hari ini Mamamu ga enak badan. Om kasihan jika harus memaksanya ikut.” Jawabnya pasti. “Oooh ….” Aku bingung, apakah aku harus kecewa atau seperti apa. Tapi yang pasti aku merasa sedih, Mama gak tepati janjinya. Mama tak menjemput kepulanganku.

“Katanya, kamu bawa sesuatu untuk Mamamu? Apa? Boleh Om tahu?”

“Kok, Om tahu?”

“Mamamu cerita, katanya, kamu mau bawa kejutan.”

Berarti, Mama sangat menunggu kehadiranku. Whaaa …. Mama pasti senang jika aku tunjukkan ini.

“Ini Om, aku membuat Hiasan Bunga Kaca yang persis yang dulu Papa bawa dari Prancis”

Om Surya tidak sama sekali menjawab. Tampak terkejut dan sekaligus terhentak ketika aku mengatakan kejutan untuk Mama. “Mamamu pasti sangat menunggu itu, indah sekali. Papamu juga pasti bangga Fira.”

---

Mobil berhenti di depan rumah yang jelas bukan rumahku. Perjalanan tiga jam yang melelahkan kuhabiskan dengan tidur di mobil. Tapi ini bukan rumahku, ini rumah Om Surya.

“Sekarang kamu tidur saja dulu disini, yah? Om, terlalu ngantuk kalo harus meneruskan perjalanan ke rumahmu, kan satu jam lagi.”

Sesungguhnya aku ingin cepat-cepat bertemu Mama, tapi memang benar, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah saatnya untuk beristirahat. Aku hendak menelepon Mama, tapi kuurungkan niat itu, karena Mama pasti sudah tidur. Tapi kenapa Mama tidak meneleponku?

---

Akhirnya aku bertemu Mama. Seseorang yang kurindukan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Mama sehat-sehat saja.

“Om bilang Mama sakit?”

“Sedikit kejutan boleh, dong,” tawa jail Om Surya membuat Mama tersenyum.

“Mom, ini oleh-oleh dari tempatku mencari ilmu,” sembari memberikan bunga kaca pertama yang kubuat di Marseille.

“Terima kasih, sayang. Indah sekali, Mama seperti melihat wajah Papa di bunga-bunga ini.”

“Itu karya pertamaku, Mom. Sengaja kubuat agar bisa gantikan hiasan yang dulu pernah kupecahkan. Aku terinspirasi hiasan bunga yang Papa kasih untuk Mama.”

Mama kembali terberai air mata. “Mama cengeng … aku jadi pengen nangis juga.”

Mama kemudian membisikkan sebuah kata, “Terima kasih, sayang. Mama sayang kamu, Fira ….”

Dan setelah itu, cahaya putih menyilaukan menghapus Mama dari pelukanku …. Mama pergi, samar-samar kulihat tajam punggungnya yang semakin menjauh … menjauh … hingga hanya satu titik saja yang kulihat … Mama …. Kemudian seberkas cahaya mendekat dengan bringas, membuat aku seperti terbang ke langit Tuhan ....

---

Fira, anakku sayang. Kembali harus kususun pecahan bunga kaca ini. Dulu, kau membuatku marah, karena bunga kaca itu kau pecahkan. Tapi aku sungguh memaafkanmu. Memaafkan dengan segala tulus hati. Dengan keikhlasan.

Fira, pujaan hatiku, kini kususun bunga kaca ini sendiri, dengan penuh pedih, sedih, dan rasa sakit yang sangat menyiksaku. Pecahan yang bahkan lebih berantakkan dari apa yang kau perbuat dulu. Tapi lebih pecah lagi hatiku ini karena kau tak bisa membantuku menyusun pecahan demi pecahan.

Fira, periang hatiku, andai aku bisa meronta, akan kulakukan. Andai bisa aku teriak, akan kulakukan. Tapi Tuhan tak izinkan aku tuk memiliki itu, Tuhan tak izinkan aku tuk bertanya pada seseorang, memiliki kata penuh arti untuk setidaknya melepaskanmu dengan kata-kata terbaik.

Fira, si Penyemangat hidupku, mengapa kau tega tinggalkan aku disini. Sendiri. Tanpa suara, dan tanpa bunga kaca yang utuh.

---

Cerpen untuk sahabat-sahabat yang mencintai bundanya melebihi apapun tanpa kebencian dan untuk seseorang yang seperti berangsur-angsur pergi bagai air yang mengalir dan tak dapat kugenggam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun