Ketiga, yang paling sempurna adalah berdasarkan Perpres 40/2014 dan Juknisnya, yaitu Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN nomor 06 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
Pasal 53 ayat (1) menyatakan bahwa “Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”.
Nah, ini baru sesuai dengan peraturan. Tunggu dulu! Permen ATR/Kepala BPN nomor 06 tahun 2015 baru diundangkan pada tanggal 28 April 2015. Apabila (sekarang) Pemprov DKI Jakarta berargumen menggunakan Juknis tersebut, kebohongannaya akan terlihat secara vulgar.
Pembelian tanah RSSW sudah tuntas, sedangkan Juknis 06/2015 belum terbit. Apabila demikian keadaannya, maka pilihan Pemprov DKI Jakarta adalah keadaan “Pertama” atau “kedua” di atas, yang dua-duanya melanggar hukum.
Andaikan tetap ngeyel (salah tidak apa-apa, yang penting ngeyel terus!) bahwa Juknis 06/2015 sah untuk digunakan sebagai dasar hukum. Baiklah, pasal 53 ayat (4) menyatakan bahwa “Instansi yang memerlukan tanah menggunakan hasil penilaian jasa penilai dalam menentukan nilai jual beli atau tukar-menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”. Apakah Pemprov DKI Jakarta dalam menentukan nilai jual-beli menggunakan hasil penilaian jasa penilai? Sama sekali tidak!
Masih tetap ngeyel, lho yang penting kan disepakati kedua belah pihak? Yang boleh disepakati kedua belah pihak itu cara transaksinya (apakah jual beli, apakah tukar menukar, apakah diganti saham,dll), bukan menyepakati nilai jual-belinya! Menyepakati nilai jual-beli tanah tanpa dasar hukum merupakan tindakan illegal.
Sesungguhnya, tidak ada celah sedikitpun bagi Pemprov DKI Jakarta untuk berkelit dari kasus Sumber Waras. Pelanggarannya gamblang, terang-benderang! Apabila kasus ini tidak disidik oleh aparat hukum, sungguh, kecerdasan rakyat Indonesia benar-benar dilecehkan.
Yakinlah, hanya masalah waktu saja kasus ini akan disidik oleh aparat hukum.
Yakinlah, “Tidak ada kejahatan yang sempurna”.
Baca juga artikel sebelumnya: