Bagian 1
Pindah Kota
Sesekali bapak yang berusia merangkak senja itu menyesap lama rokok sigaretnya, tatap mata penuh kharisma menatap langit-langit kosong. Sang istri hanya melirik dengan sudut mata cantiknya yang dibingkai kerut wajah menua. Hidup bersamanya sudah cukup lama. Ketika Bapak sudah bersikap seperti itu pasti ada yang sedang direncanakan.
"Di usia pensiun kita nanti, tampaknya kita punya pekerjaan rumah yang luar biasa." Ungkap bapak dengan suara vibranya memecah kesunyian pagi itu.
Ibu menghampiri dengan langkah lembut nyaris tak memunculkan suara.
"Papah rupanya terbawa peristiwa dari kasus  yang Papah tangani kemarin ya?"
Ibu menenangkan. Rupanya peristiwa radupaksa gadis kecil di kampung sebelah membuat bapak terbawa suasana dan menjadi bibit kekhawatiran di benaknya.
"Pah!" Ibu menghampiri suaminya seraya mengelus lembut pundak suaminya.
"Pah, Setiap manusia akan hidup bersamaan dengan taqdirnya, seperti apa proses hidupnya sampai ajal kematiannya." Ibu menandaskan kekhawatiran bapak.
"Betul itu! Tapi tetap saja perlu campur tangan kita sebagai orangtua untuk memastikan apakah anaknya hidup dengan aman atau tidak. Setidaknya kita harus berusaha menciptakan lingkungan hidup yang nyaman untuk anak kita!"
Raut wajah bapak mulai gusar. Lagi-lagi ibu tersenyum lembut. Ditambahkannya  teh hangat ke cangkir bapak yang mulai kosong, namun kali ini ditambahnya sebongkah kecil gula batu dengan irisan lemon kesukaan suaminya.
"Minumlah dulu, pasti kali ini papah lebih rilex!"
"Jika mamah boleh tahu, apa rencana kita untuk anak semata wayang itu?" Ibu memandang putri kecilnya yang sedang asyik bermain BP.
"Esok saat SK pensiun Papah keluar langsung kita ke Cimahi mencari alamat Letnan Martoyo. Menurutnya ada sebidang tanah dan kebun yang akan dijual familinya di sana."
"Lalu Intan bagaimana, besok ada lomba mewarnai gambar loh. Kasihan jika dilewatkan."
"Ya, besok sepulang sekolah Intan saja, kita cari hotel terdekat di daerah kota tak jauh dari kediaman Letnan Martoyo."
Bumi berputar menuju barat, mentari yang tadinya hangat dengan lautan kapas  putih di atas langit biru, kini berganti merah jelaga keemasan. Burung-burung malam mengepakan sayapnya bergerombol menuju peraduan.
Bumi merunduk, Sang Dewa malam menguasai waktu. Lampu-lampu rumah di perumahan tentara itu mulai meredup. Alam mulai sunyi. Penduduk bumi menjeda asanya untuk dilanjutkan esok hari, dalam doa dan harap yang masih terukir di hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H