Mohon tunggu...
PAK Shoes
PAK Shoes Mohon Tunggu... Lainnya - Ringan, Relevan, dan Refresh

Turut berperan aktif dalam berbagai kegiatan penyuluhan antikorupsi, menulis artikel ringan, berita-berita relevan, dan merefresh berbagai keadaan untuk memunculkan lebih banyak lagi valuenya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dulu Tak Percaya, Tapi Dihadapkan Realita

26 Januari 2025   14:12 Diperbarui: 26 Januari 2025   15:49 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamis malam Jum'at (23 Januari 2025), kami diberi kesempatan untuk bersilaturrahim ke Musholla At-Thoyyibah di Dusun Tiyang RT 02 RW 01 Desa Tanjungsari Kecamatan Karangrejo Tulungagung. Musholla mungil yang dibangun pada tahun 1957 ini masih terawat dengan baik, bersih, dan nyaman untuk ibadah. 

Mengapa safari kami kali ini ke musholla tersebut di atas? Musholla ini adalah merupakan musholla yang legendaris (menurut kami), dari musholla ini cikal-bakal hingga ajaran shalat itu sampai pada kami. Suatu ketika ibu kami mengkisahkan masa remajanya, bahwa dahulu belajar sholat di musholla ini. Beliau tuturkan yang mengajari sholat mulai dari niat hingga salam adalah Bapak Slamet Sarmad (almarhum) semoga Allah terima semua amal Beliau. Bapak Sarmad adalah Kepala Desa yang pernah berkuasa kira-kira sejak tahun 1960- 1980. Nah, bagi kami kisah ini menjadikan alasan kami untuk silaturrahmi ke sana.

Istimewa, seorang Kepala Desa yang begitu disegani dan dihormati, Beliau tak cuma menjadi pengendali perjalanan roda pemerintahan, namun juga getol membimbing masyarakat dari sisi spiritual. Perjalanan kami adalah bagian napak tilas, untuk mengambil pelajaran berharga dari kisah masa lalu yang tak boleh dibiarkan berlalu. Sebagai generasi penerus, maka keteladanan Beliau perlu dicontoh, dipertahankan, dan diteruskan menyesuaikan dengan konsep juang kekinian.

Setelah jamaah shalat Maghrib usai, kami bersama beberapa jamaah duduk di serambi musholla. Kami memperhatikan keadaan musholla kuno yang baru setahunan direhap tersebut, kesan kuno masih dipertahankan dengan baik. Tampak dari pintu, jendela, tembok yang tebal, hingga pilar penyangga atap teras, tampilan kuno itu masih utuh. Rehap dilakukan hanya untuk meninggikan bagian terasnya, dan mengganti atap genteng dengan galvalum, sehingga tampil makin bersih dan rapi.

Sesaat setelah menikmati indahnya bangunan musholla tua ini, mulailah obrolan tanpa tema khusus mengalir. Kala itu Pengurus musholla, sekaligus pemilik (pewaris) lokasi tanah dimana berdiri musholla tersebut mengatakan bahwa saat ini sudah berusia 60 tahun, tak terasa sudah sekian lama. Kata Beliau, pada usia ini seolah kenagan masa lalu mulai dari Sekolah Dasar, hingga sekolah tinggi semua dengan jelas bisa diingat. 

Bagaimana Beliau akhir-akhir ini bisa nyambung dengan teman-teman sekolah (SMP dan SMA) tak terlewat Beliau kisahkan. Hampir semua setara usia mereka rata-rata sudah 60 tahunan, ketika ketemu tak lagi seperti dulu, makan apapun oke, minum kopi dulu kebiasaan, tapi kini makanpun pilih-pilih, minum juga air putih. Semua rupanya telah membawa keluhan bawaan usia, ada asam urat, kolesterol, diabetes, darah tinggi, dan lain-lain. 

Kamipun turut menyambungkan kisah, ia betul ya, ternyata kami juga telah lama diberi kesempatan hidup di dunia, sudah 53 tahun kami terlampaui. Rasanya kehidupan jika belum kita lalui, atau masih dalam anggan, itu terasa masa seolah masa depan itu panjang banget. Tapi setelah perjalanan itu kita lalui, rasanya begitu cepat, pendek sekali. 

Dulu kami gak percaya ketika mendengarkan penuturan para sesepuh bahwa 'Urip iki mung koyo mampi ngombe' (Hidup ini seperti mampir minum). Ketika menyusun suatu rencana untuk satu tahun kedepan, kita mengatakan 'Ah.. masih lama', itu dulu. Setelah mengalami, sungguh kami tak bisa mengelak, dan menolak realita bahwa ungkapan itu menjadi kenyataan. Perjalanan waktu 50, ataupun 60 tahun ternyata nyata bahwa itu terasa begitu singkat, tak terasa telah lewat berbagai peristiwa terjadi, dan sekejap saja dikisahkan. Baru menyadari setelah melalui, ternyata perjalanan hidup kita benar-benar sangat singkat. 

'Keren! Luar biasa!' mungkin itu apresiasi yang tepat untuk leluhur kita yang telah mampu membuat kesimpulan dengan kalimat sederhana namun sangat dalam maknanya. Kedalaman makna itu karena kalimat tersebut sangat relevan dengan kaidah spiritual (firman Allah) "..Sesungguhnya sehari di sisi Rabbmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu". (QS. 22:47). Jika dikalkulasi, maka 1 jam dalam pandangan Allah setara dengan 41, 67 tahun dalam perhitungan kita. Nah, jika saat ini kita telah berumur 60 tahun itu sebanding dengan 1,44 jam saja dalam perhitungan Allah yang maha kuasa.

Subhanallah baru ngeh, setelah usia lansia, sungguh luar biasa para leluhur, atau sesepuh kita dalam meningatkan singkatnya kehidupan, kalimat itu bukan dari buah pemikiran sendiri, tapi merupakan buah dari mendalaman dan pemahaman akan firman Tuhan. Realistis, hidup ini benar-benar singkat, seperti mampir minum saja. Pertanyaan untuk diri kita masing-masing, sepanjang perjalanan kehidupan ini sudah kita pergunakan untuk apa saja? Jika dihitung-hitung lebih banyak kebaikan atau keburukannya? Kemudian, sisa hidup kita ini mau kita gunakan untuk apa? Tentunya pasti lebih singkat lagi dari pada yang telah kita lalui. 

Semoga bermanfaat.

*) Anggota SPK Tulungagung, Paksi Jatimpak.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun