Kartiko Cahyono adalah tetenger nama yang diberikan oleh orang tuaku. Dari namanya tentu semua bisa menebak dengan tepat bahwa aku adalah orang Jawa. Kisah yang pernah aku dengar dari orang tuaku, Beliau memberi nama padaku karena aku terlahir pada malam hari saat bintang-bintang menampakkan diri menghiasi ratri. Kartiko yang berarti bintang, cahyo itu cahaya, sedangkan ciri khas nama jawa berakhiran huruf 'o' bagi laki-laki, maka namaku diakhiri dengan 'no' yang artinya ono (ada).
Sejak kecil aku dalam asuhan orang tuaku yang tinggal di sebuah desa pinggiran di lereng gunung, sepi, masih segar dan alami. Kondisi ekonomi keluarga yang belum stabil, kala itu Bapakku memutuskan untuk menjemput rejeki ke pusat provinsi Jawa Timur. Keahlian Bapak hanya menjadi pendamping tukang alias kuli, sehingga bisa dibayangkan berapa penghasilan seorang kuli. Keadaan yang menempaku sejak kecil, membimbingku tumbuh kembang menjadi anak yang sederhana, hidup dari apa yang ada.
"Ayo No, segera mandi dan sarapan. Sudah jamnya sekolah loo..." Inilah kalimat komando dari Ibuku yang sampai kini masih sangat jelas terngiang di telingaku. Walaupun Ibuku hanya tamatan SR (SD pada masa lalu), namun cara pandang Ibuku benar-benar jauh ke masa depan yang gemilang. Baliau selalu memotivasi padaku untuk rajin ke sekolah, rutin belajar dengan tetap memberikan kesempatan luas padaku untuk bermain ala-ala anak tahun 70an.
Kenangan indah dimasa kecil ternyata begitu indah untuk dikenang dimasa kini. Rumah kami yang sederhana tapi bagiku sangat nyaman, karena di dalamnya dihiasi dengan kasih sayang. Kami tinggal berbeda rumah dengan Nenek, tapi dua rumah itu tersambung, maklumlah Nenek tingal sendirian, sehingga untuk memudahkan akses rumahku disambungkan dengan rumah Nenek. Karena dalam dua rumah itu hanya dihuni oleh tiga orang saja aku, Ibu, dan Nenek, Bapakku pulang sepekan sekali dari Surabaya. Sehingga setiap malam kami tidur bertiga di lantai beralaskan tikar.
"Wis adzan Maghrib, ayo Le gek ndang budal nek Langgar" (Sudah adzan Maghrib, ayo Le segera berangkat ke Musholla), kalimat indah dalam bahasa Jawa yang selalu diucapkan Nenekku agar aku segera berangkat ke Langgar (tempat ibadah, surau) untuk jamaah dan dilanjutkan dengan mengaji kalau, dulu orang menyebut dengan sekolah madrasah.Â
Bersyukur luar biasa sejak kecil aku mendapatkan kasih sayang penuh dari orang tua, dari Ibu dan Nenek, serta dari Bapak walaupun hanya bisa ketemu setiap akhir pekan.Â
Sepulang dari Langgar, aku dibiasakan untuk belajar entah berapa lamanya yang penting kebiasaan belajar itu aku lakukan. Terkadang Nenek duduk dibelakangku sambil membaca Al Qur'an, atau terkadang mendendangkan tembang-tembang Jawa (macapat) dengan suara lirih namun masih bisa kudengar. Ketika aku tertidur setelah belajar, setiap pagi aku dapati tubuhku diselimuti dengan kain batik yang sama. Aku belum paham mengapa Nenek selalu melakukan itu.
Suatu ketika, entah awalnya pembicaraan dimulai dari mana, sampailah Nenek memberikan penjelasan, "No, si Mbah ora pintar dungo, lewat Jarik Sidomukti iki si Mbah dungakake sliramu. Mugo-mugo sak dawane uripmu diparingi apik akhlakmu, mulyo lan mukti nganti tekan pati". (No, Nenek tak pintar berdoa, melalui Jarik Sidomukti ini Nenek memberikan doa untukmu. Semoga sepanjang hidupmu diberi baik akhlakmu, mulia dan mukti hingga mati).
Baru aku memahami ternyata apa yang dilakukan oleh Nenek setiap malam menyelimutiku dengan Jarik Sidomukti adalah berisi spiritual doa untuk kehidupanku. Aku sangat bersyukur, dan yakin bahwa keadaanku saat ini adalah buah dari doa-doa Nenek, Ibu dan Bapakku.Â
Jarik Sidomukti menjadi warisan sejarah kehidupanku yang tak terlupakan, dan perjuanganmu aku lanjutkan. Terima kasih, semoga si Mbah bahagia di alam keabadian.
Keterangan: Nama dan kejadian hanyalah fiksi belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H