Hari ini Jum'at terakhir (27 Desember 2024) tahun 2024, kurang beberapa hari lagi memasuki tahun 2025. Maknanya, kita sudah melewati hari yang panjang dengan bermacam kegiatan atau amal, baik yang sudah diplankan maupun dadakan, yang sesui syar'i atau meleset darinya, ada yang bermanfaat untuk umat pun juga malah memberi mudlarat, perjalanan yang membahagiakan maupun yang menyedihkan. Semua jadi satu selama perjalanan kehidupan kita setahun terakhir, dan tentu bertahun-tahun sebelumnya tak jauh beda.Â
Islam memerintahkan untuk bermuhasabah, introspeksi dan mengevaluasi diri dari segala perbuatan yang sudah dilakukan. Jika kita mampu melakukan hal itu, maka kita termasuk kelompok orang yang cerdas, sedangkan yang tidak mampu bermuhasabah atas perilaku yang telah diperbuatnya maka disebut orang yang lemah. Sesuai sabda Nabi Muhammad saw, "Orang yang cerdas adalah orang yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah." (HR. Ahmad).
Lalu bagaimana cara muhasabah yang sesuai ketentuan Islam? Mengutib keterangan dari Syekh Mula Al-Qari dalam kitab Mirqatul Mafatih menjelaskan, "Dia mengevaluasi perbuatan, kondisi, keadaan dan perkataannya di dunia. Jika baik maka dia memuji Allah, dan jika buruk maka mestinya dia bertobat, kemudian mengejar sesuatu yang yang telah luput darinya, sebelum dirinya dievaluasi di akhirat kelak."
Syekh Mula Al-Qori memberikan pengertian bahwa muhasabah itu dilakukan untuk mengevaluasi semua yang ada dalam diri kita, mulai dari perbuatan, kondisi, keadaan dan perkataan. Muhasabah tidak hanya sekadar mengetahui (dengan jujur dan detail) akan keburukan yang sudah kita lakukan. Tidak jua hanya mengakui dan mengkalkulasi kesalahan, dan dosa. Namun lebih dari itu, muhasabah harus diteruskan dengan penyesalan nyata agar setiap dosa-dosa mendapat ampunan dari-Nya.
Aplikasinya dengan bertobat nasuha; lisan beristighfar, hati berkomitmen hentikan maksiat, menyesali secara mendalam, dan ditutup dengan amal kebaikan pada hari selanjutnya. Demikian pula jika menyangkut dosa kepada sesama manusia, harus diselesaikan dengan baik dan benar sesuai tata aturan agama.
Kapan idealnya kita melakukan muhasabah?Â
Muhasabah itu bukan sekadar ceremonial di akhir tahun saja, tetapi merupakan langkah berkelanjutan untuk terus memperbaiki diri agar kita menjadi hamba yang lebih taat kepada Allah SWT. Dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi juga dipaparkan makna muhasabah dengan lebih detail, "Yakni mengevaluasi, menghinakan, menghambakan, dan menundukkan diri, sehingga menjadi orang yang taat dan tunduk kepada Allah."
Leluhur kita (Jawa) telah menyusun sebuah kalimat bijak terkait muhasabah tersebut, "Yen rino kadyo turonggo, yen ratri kadyo Pandito". Artinya; Jika siang hari seperti kuda (turonggo), seolah tak punya lelah berjuang menjemput rezeki, tak ada kata lelah kesana-kemari menebar kebaikan, membantu sesama, bersosialisasi, menjalankan tupoksi masing-masing. Sedangkan jika malam hari seperti seorang Pandito, si pemilik kebiasaan manengku pujo, menegakkan sholat malam, bersila, mohon ampunan, dengan mengevaluasi apakah yang sudah dilakukan dalam sehari tadi.Â
Menanyakan dalam diri (mawas diri, ngudoroso, ngulat sarira hangroso wani) dengan pertanyaan-pertanyaan penting yang kelak juga akan ditanyakan di akhirat seperti, Bagaimana sholat kita selama sehari tadi, apakah lebih banyak tepat (diawal) waktu, atau dipertengahan, atau diakhir? Dalam sehari tadi berapa kali shalat yang kita lakukan secara berjamaah? Dalam hal pekerjaan, profesi, atau menjemput rezeki, apakah sudah sesuai dengan tata aturan negara, agama, dan norma? Dalam kehidupan sosial, apakah sehari tadi lebih banyak menebar kebahagiaan ataukah kesedihan kepada orang lain?
Muhasabah sebagaimana dicontohkan leluhur kita di atas dilakukan setiap hari. Mengapa? Tak lain agar apa yang kita evaluasi adalah perbuatan yang fresh, sehari saja, sehingga lebih ringan dan memperkecil kemungkinan terlewatkan. Dengan cara demikian kita akan lebih mudah memenuhi unsur 3T; Teliti, Tobat, dan Taat. Wow, leluhur kita sudah begitu hebatnya, ini merupakan strategi evaluasi diri yang luar biasa.
Tertipu?
Dalam muhasabah mungkin kita menemukan hal sebagaimana diingatkan dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah: "Diantara orang-orang yang tertipu adalah dia yang menduga ketaatannya lebih banyak daripada kemaksiatannya." Waspalah jangan-jangan kita masuk trap tipuan nafsu dan setan!?
Tipuan tersebut begitu halus, dalam evaluasi diri tersaji dengan argumentasi bahwa kita sudah banyak membaca wirid, dzikir, mengagungkan nama Allah dan lain kebaikan yang kita rasakan. Pada slide lain memaparkan berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk membicarakan keburukan orang lain, menyakiti sesama bahkan orang tua, dan melakukan berbagai tindakan buruk lainnya. Dari sini awal tertipunya, jika kita menyimpulkan bahwa paparan kedua masih lebih sedikit dibanding pertama.Â
Karena itu, dalam bermuhasabah, kita harus benar-benar memperhatikan setiap detail yang kita lakukan, sekecil apapun secara jujur, proporsional, dan semata dipandang serta mengharap ridho Allah. Inilah sebagai pengkal dari tipuan.
Linier dengan perkataan Sayyidina Umar bin Khattab, "Hisablah kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia."
Apa yang diungkapkan oleh Khalifah Umar di atas dapat kita pahami bersama bahwa semakin sering kita melakukan muhasabah, maka akan terus beban beratnya hisab di akhirat. Jika kita kembali mengingat pesan bijak dari leluhur kita di atas, sepertinya sangat identik dengan sabda Nabi dan perkataan Sayyidina Umar tersebut.Â
Semoga bermanfaat, dan selamat menyongsong harapan baru yang lebih baik.
*) Anggota SPK Tulungagung, Paksi Jatimpak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H