Tak disangka akhirnya kembali gunung Semeru memuntahkan abu dan lahar kemarin. Gunung semeru adalah salah satu gunung yang tidak begitu jauh jaraknya dari tempat tinggal saya.Â
Dengan kendaraan bermotor hanya butuh sekitar 2-3 jam saja sudah tiba di kecamatan Pronojiwo, Lumajang yang berada di lereng gunung Semeru.Â
Dari depan rumah jika cuaca cerah saya bisa melihat hampir semua gunung-gunung besar di Jatim seperti Raung, Argopuro, Bromo, hingga Semeru namun bagi saya Semeru-lah yang paling banyak memiliki kenangan. Penyebabnya karena sejak kecil saya sering melewati lereng bagian selatannya dengan bus  umum mengunjungi rumah salah satu sepupu di Malang atau kerabat di Blitar.Â
Dari rumah saya naik bus jurusan Surabaya lalu turun di terminal lama Lumajang. Nah dari situ perjalanan dilanjutkan dengan bus umum berukuran kecil lewat lereng selatan Semeru menuju Malang hingga ke terminal Gadang. Bus-bus besar tidak bisa melewati jalan di lereng itu karena sempit jalannya.Â
Saking sempitnya sepupu saya pernah bercerita bus yang ditumpangi terpaksa harus mencopot spion agar truk yang dari arah berlawanan bisa lewat.Â
Bus besar harus melewati Probolinggo-Pasuruhan yang otomatis akan menempuh jarak yang lebih jauh. Â Sekali saya pernah lewat jalur Probolinggo-Pasuruhan ini dan waktu yang dihabiskan memang jadi jauh lebih banyak plus macet parah lagi!
Melewati lereng selatan Semeru ini memang harus ekstra sabar karena banyak truk-truk bermuatan pasir yang berjalan lambat  (tetapi tidak sampai macet) plus jalan berkelok-kelok.Â
Kewaspadaan kita benar-benar harus berada pada titik tertinggi. Akan tetapi pemandangannya sangat indah dan hawanya sejuk. Kalau kabut turun maka suasana jalan akan tampak temaram. Jalan di sini juga relatif sepi walaupun siang hari.Â
Tentang keamanannya saya tidak tahu pasti hanya sebaiknya carilah teman sesama pengendara jika akan melewati jalur ini. Berkali-kali melewati jalur ini siang dan sore hari syukurlah masih aman-aman saja. Pernah sekali lewat pada malam hari sekitar pukul 21 mengendarai minibus (Elf) dari arah Malang pada tahun 2014 dulu. Kebetulan waktu itu cuaca cerah dan saya menyaksikan sendiri pemandangan sangat menakjubkan kelap kelip lampu rumah-rumah penduduk jauh di bawah sana. Â
Pertama kali saya melewati jalan ini ketika diajak orang tua berkunjung ke Blitar dengan bus umum saat saya masih SD. Waktu itu belum ada jembatan Perak Baru.Â
Yang ada masih jembatan Perak Lama yang sempit itu sehingga tidak bisa dua bus lewat berbarengan sekaligus dari arah berlawanan.Â
Salah satu harus mengalah menunggu yang dari arah berlawanan lewat dulu. Seingat saya sensasi melewatinya cukup menakutkan karena jembatan seperti bergoyang-goyang dan memantul mantul kesana kemari seolah-olah mau jatuh saja. Ibu saya tak henti-hentinya berdoa jika sudah berada di atas jembatan itu.Â
Kalau melihat ke bawah akan tampak jurang yang dalam. Hiii.... Ketika sudah SMP hampir setiap tahun saya melewatinya bersama pakdhe menuju Blitar dan Malang jadi lama-lama sudah tidak sebegitu menakutkan lagi. Satu momen lagi yang saya ingat adalah mengantar mempelai sepupu ke Malang (mungkin tahun 1990). Waktu itu bus kami berhenti sebentar di terminal Pronojiwo yang anginnya bertiup kencang sejuk sekali walau tengah hari. Bagi saya itu seperti sebuah keajaiban karena di rumah belum pernah ada tengah hari dengan hawa yang begitu sejuknya.Â
Sampai suatu ketika dibangunlah jembatan Perak Baru yang jauh lebih lebar dan kuat itu ketika saya sudah selesai kuliah dan bisa naik motor sendiri wira wiri Jember-Malang. Bahkan ketika bulan madu, tempat pertama yang saya datangi adalah jembatan ini bersama sang istri tahun 2011 dulu. Entah kenapa saya seperti memiliki ikatan batin dengan kedua jembatan ini.Â
Di sekitarnya ada warung-warung nasi dan penjual buah salak. Kami sempat berhenti makan bakso di sebuah warung lalu foto-foto di atas jembatan. Saya melihat di situ banyak orang berhenti entah sekedar melepas lelah atau hanya berfoto-foto saja. Nah inilah foto-foto 2011 itu (terakhir lewat disitu tahun 2015).Â
Saat itu tentu jembatan Perak Lama sudah tidak difungsikan. Saya tidak tahu waktu itu jika tempat itu ternyata sudah dijadikan obyek wisata walau menurut saya kesannya jadi agak angker karena mungkin logam-logamnya yang terlihat sudah karatan. Dari berita saya mendapatkan kabar kini jika kedua jembatan itu telah hancur.Â
Sedih sekali rasanya karena itu berarti saya sudah takkan bisa berfoto-foto lagi dengan jembatan Perak Lama. Walaupun nantinya akan dibangun jembatan yang baru, rasa-rasanya takkan pernah sama lagi.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H