Kasus 1. Sudah beberapa tahun ini koneksi internet wired dengan FO hadir di kampungku (bukan dari T*lk*m). Desa yang dulu sunyi sinyal wifi kini mendadak banyak rumah memancarkan SSID. Dengan koneksinya yang tanpa kuota dan harga yang cukup terjangkau membuat banyak warga desa terkesima untuk memasangnya termasuk saya sendiri.Â
Saya sendiri tidak mungkin bergantung pada koneksi seluler yang kurang ramah di kantong terus menerus. Dalam sebulan dengan kuota terbatas saya harus mengeluarkan uang paling tidak Rp 200 ribu untuk koneksi internet seluler tetapi dengan koneksi wired ini cukup Rp 90 ribu tanpa kuota. Apalagi selama pandemi ini kami lebih banyak berdiam di rumah daripada kelayapan tidak karuan.
Alkisah ada salah satu tetangga yang suka PANSOS memamerkan hape-nya. Suatu pagi dia pernah datang ke serambi depan rumah sambil menunjukkan sebuah hape, "Di desa sini enggak ada yang punya hape kayak gini..."
Saya cuma melihat sekilas seperti Iphone walaupun bukan model terbaru. Saya sih enggak begitu terkesan karena saya orang yang lebih mengutamakan fungsi daripada gengsi sebuah benda.Â
Saya hanya tersenyum saja tetapi rupa-rupanya istri saya di sebelah udah gatal mengomentari, "iya memang bagus tetapi kalau rusak mau diservis dimana? Dikirim ke Jakarta sana?"Â
Dengan muka setengah malu si tetangga cuma nyengir kuda, "iya ya?" Namanya juga di desa, mana ada service centre Iphone? Bahkan konter2 hape di kota terdekat juga tak ada yang menjual Iphone. Saya memaklumi si tetangga ini karena dia adalah ex-TKW jadi wajarlah kalau gaya hidupnya masih terbawa alam luar negeri sana yang penuh dengan gengsi.
Yang unik adalah si tetangga ini sering datang ke rumah meminta password wifi saya. Saya cuma pengen ketawa saja, masak sih beli Iphone bisa tetapi berlangganan wifi Rp 90 ribu/bulan saja tidak bisa?? Waktu saya tanya berapa uang dia sudah habiskan buat membeli kuota seluler per bulan, dia jawab Rp 70 ribu. Lah, kan sebenarnya dia bukannya tak mampu? Di rumahnya juga motornya ada beberapa biji dan baru semua.Â
Apa mungkin ini yang namanya pelit ya? Bukannya saya berkeberatan ditumpangi pakai wifi cuma kalau kesini dia selalu membawa anaknya yang masih kecil dan biasanya lantas mengacak-acak seisi rumah.Â
Repotnya seharusnya barang-barang yang sudah diacak-acak itu dirapikan atau dikembalikan ke tempat semula bukan cuma dibiarkan begitu saja berserakan. Inilah yang membuat istri saya kesal sekali karena dia dapat pekerjaan tambahan. Terus saya juga jadi tak punya privasi di rumah karena dia suka berlama-lama dan hampir saban hari.
Akhirnya masalah selesai ketika sekitar sepekan lalu dia datang ke sini usai maghrib. Seperti biasa dia membawa anaknya yang masih kecil. Begitu masuk ke dalam rumah dia langsung asyik dengan hapenya di dalam kamar sampai lupa dengan anaknya. Nah di dalam ruang tamu ada akuarium dan seperti biasanya juga anaknya suka bermain di situ. Yang dilakukannya biasanya menggebrak-gebrak akuarium. Mendengar kebisingan itu dia langsung masuk ke ruang tamu dan spontan mungkin karena panik tanpa pikir panjang dia langsung memasukkan adaptor lampu yang dipegang si kecil ke dalam air dalam akuarium. Mungkin dikiranya adaptor itu ada setrumnya. Â Sesudah itu dia tungguin si kecilnya. Nah tak lama kemudian si istri masuk ke ruang tamu mau menyalakan lampu akuarium. Dicari-carinya adaptor ternyata sudah masuk ke dalam akuarium. Kesal banget si istri dan dugaan kuat si tetangga itu adalah pelakunya karena di situ tidak ada lagi orang selain mereka berdua. Diberikannya adaptor itu kepada saya dan saya bongkar. Dalamnya penuh air. Mendengar kami berdua ribut memperbaiki adaptor, mungkin si tetangga takut ketahuan akan ulahnya itu, dia langsung ngibrit buru-buru pulang. Sejak itu dia sudah tak berani datang kemari lagi. Sepertinya sekarang dia sudah mendapatkan "mangsa" baru karena terlihat beberapa kali pakai wifi di serambi rumah tetangga di depannya. Kami memang rugi dengan rusaknya adaptor itu tetapi mungkin itulah yang harus kami bayar agar dia tidak datang lagi ke rumah kami daripada kami terang-terangan mengusirnya atau memblokir hapenya yang nanti dipikirnya kami pelit.Â
Kasus 2. Agak jauh (kira-kira 50m) tinggal sepupu saya, perempuan dengan satu anak yang masih SD. Beberapa kali dia mengeluh wifinya lemot. Waktu saya cek ternyata yang sedang menggunakan wifinya alias penumpang gelap memang banyak. Mereka adalah tetangga-tetangga di belakang dan kanan kirinya.Â
Akhirnya dia meminta bantuan saya mengamankan wifinya. Saya pun mengajarinya mengganti password. Akan tetapi ternyata ini tidak menyelesaikan masalah. Setiap kali password diganti si tetangga-tetangga ini langsung menodong password terang-terangan kepada si sepupu. Sama sepupu tidak dikasih tetapi rupa-rupanya si tetangga tak kurang akal. Saat anak sepupu main ke rumah mereka langsung ditanyain passwordnya dengan ancaman jika tidak diberikan password maka tidak akan dibolehkan main dengan anak-anak mereka. Mau tak mau si anak sepupu kasih password.Â