Beberapa hari ini di kampungku semua ibu rumah tangga ribut dengan isu kenaikan harga elpiji melon yang mencapai 2 kali lipat. Intinya tak ada seorang pun yang setuju dengan kenaikan harga ini. Yah, siapa sih orang yang suka dengan kenaikan harga? Kalau kenaikan gaji atau upah bolehlah, hehe...
Jujur saja selama ini memang distribusi gas melon di kampungku boleh dikatakan 100 persen tak tepat sasaran. Wuih, kok berani bilang 100 persen?
Sekarang saya akan mencoba menganalisis lebih jauh.
Gas melon ini dulu muncul sebagai pengganti minyak tanah. Gas elpiji yang beredar sebelumnya hanya tersedia 12 kg (biru) yang sudah jelas non-subsidi, dan itu pun cuma ada di kota-kota. Kalau di desa pilihannya cuma minyak tanah atau kayu bakar.
Waktu itu (mungkin 2006) di kota terdekat telah dilakukan konversi ini, dari minyak tanah menjadi gas elpiji. Semua GAKIN di situ mendapatkan satu buah kompor dan tabung melon gratis.
Akan tetapi, entah bagaimana banyak GAKIN justru menjual kompor dan tabung gasnya ini. Saya tidak tahu alasannya tetapi ada yang bilang mereka butuh uang.
Oleh salah seorang kenalan, saya ditawari tabung-tabung gas melon dan kompor-kompor ini. Wah kebetulan sekali karena di desa belum ada konversi, wak itu. Maka, saya pun membeli 4 tabung beserta 4 kompor. Harganya murah sekali cuma Rp 100 ribu per tabung plus kompor.
Tapi, berhubung kompornya kurang menarik maka saya berikan kepada kerabat dan tetangga.
Waktu itu pasokan gas melon belum sampai ke kampung. Bila ingin, saya harus naik motor membawa tabung-tabung itu ke kota. Hingga akhirnya, beberapa tahun kemudian, konversi datang ke kampung. Semua warga tanpa kecuali termasuk orangtua saya mendapatkan jatah tabung dan kompor.
Tapi sebenarnya ini makin tidak jelas, apakah gas melon ini untuk GAKIN atau semua warga tanpa kecuali?
Gas melon pun mulai mudah ditemui di mana-mana termasuk warung-warung di sebelah rumah, sehingga saya tak perlu repot membeli jauh-jauh sampai sekarang.