Mohon tunggu...
susilo ahmadi
susilo ahmadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - sekedar menyalur hobi menulis

cuma orang biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kami Butuh Edukasi Perawatan Lansia untuk Berbakti pada Orangtua

11 Juli 2019   11:50 Diperbarui: 11 Juli 2019   18:25 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi newoldage.blogs.nytimes.com Ed Kashi | Corbis 

Di suatu pagi:

Emak: Di, tolong nanti belikan pil kecethit di toko jamu langganan. Ini uangnya dan jangan lupa beli 2 (sembari menyodorkan uang Rp 10 ribu).
Aku: Pil kecethit apaan sih, Mak? (pura-pura berlagak bego padahal sebenarnya tahu apa maksud emak).
Emak: Itu pil buat mengobati kakiku yang sakit ini.
Aku: Mak, sampean jangan minum pil itu terus-terusan. Enggak bagus buat kesehatan tubuh. Mending periksa ke dokter segera.
Emak: Ogah, enggak punya duit! (ngeles, saya tahu benar sangat tidak mungkin emak tidak punya duit).
Aku: Kalau gak ada duit ya mending ke Puskesmas saja. Gratis! (aku masih mencoba menawar).
Emak: (bukannya menjawab malah keluar, menutup pintu lalu ngeloyor pergi entah ke mana).

Akhirnya sore itu saya pun berangkat ke toko jamu langganan emak membeli pil kecethit Rp 10 ribu. Dua bungkus kecil berisi masing-masing tiga tablet yang entah obat apa saja itu saya juga tidak tahu.

Sebenarnya percakapan di atas bukan cuma terjadi kali ini saja tetapi sudah puluhan kali dengan kalimat-kalimat yang nyaris mirip. Di satu sisi emak selalu menginginkan obat tetapi di sisi lain saya justru menghalangi emak untuk minum obat terus menerus.

Tiada hari tanpa pil! Ya begitulah kehidupan emak belasan tahun belakangan ini. Berbagai penyakit perlahan mulai menggerogotinya mulai dari maag, sakit kepala, nyeri ini itu, osteoporosis, vertigo, dan entah apalagi saya sudah tak begitu ingat karena saking banyaknya.

Dokter, rumah sakit, klinik, Puskesmas, perawat, bidan, dukun pijat, dukun ramal, ustadz, kyai, dan entah siapa lagi semua telah didatanginya untuk menyembuhkan penyakitnya. 

Akan tetapi bukannya semakin membaik malah terus memburuk hingga kini. Walaupun beliau masih bisa beraktivitas tetapi saya sadar jika itu karena sokongan obat di sisinya. Jika tidak ada obat itu entah bagaimana.

Ilustrasi: John Moore | Getty Images
Ilustrasi: John Moore | Getty Images

Penyakit yang paling awal mendera emak adalah maag. Saya tidak tahu persis sebenarnya apakah memang maag beneran atau yang lainnya. Hanya saja jika perut beliau mulai terasa tak beres maka dokter atau perawat akan memberinya obat-obatan seperti antacid, sucralfate, ranitidine, atau PPI. Jadilah antacid sudah seperti cemilan saja buat emak.

Tiap pekan sekali saya selalu disuruh pergi ke apotek untuk membeli berlembar-lembar antacid. Sudah saya ingatkan jauh-jauh hari jika antacid ini tidak boleh diminum terus terusan tetapi emak selalu ngeyel. Dan kalau sudah begitu saya hanya bisa menutup mulut menyerah daripada harus berdebat kusir. Benar dugaan saya belakangan emak mulai memperlihatkan gejala osteoporosis. Badannya mulai membungkuk. 

Saya yakin salah satu penyebabnya adalah konsumsi antacid berlebihan dalam jangka panjang itu. Kalau saya amati biang keladi maag yang tak sembuh-sembuh itu adalah pola makan emak yang salah. 

Emak memiliki kebiasaan jelek hingga kini yaitu makan malam lewat pukul 20 bahkan kadang menjelang tidur emak masih makan berat. Kalau saya ingatkan emak selalu beralasan jika beliau tidak bisa tidur nyenyak kalau perutnya tak kenyang. Sebuah keyakinan orang-orang zaman dahulu yang sudah tidak relevan di masa kini.

Penyakit lainnya adalah nyeri-nyeri di kaki yang saya yakini merupakan salah satu gejala osteoporosis. Untuk ini emak menghantamnya dengan pil kecethit.

Kalau kehabisan pil kecethit ini dan tak sempat menyuruh saya ke warung (misal tahu saya sedang sibuk atau tak ada di rumah) maka emak selalu mengonsumsi berbagai obat pereda nyeri mulai dari Ne*ralg*n, paracetamol, ibuprofen, diklofenac, asam mefenamat, metampirone, dll. Kulkas bukan penuh oleh bahan makanan tetapi oleh kresek berisi obat-obatan emak. 

Emak sudah seperti apotek berjalan saja. Untuk mengurangi osteoporosis saya pernah anjurkan emak untuk berolahraga sebentar di pagi hari dengan jalan kaki. 

Setiap usai berolahraga beliau merasa badannya lebih bugar dan nyerinya jarang kambuh tetapi eh bertahan hanya 2 pekan dan setelah itu beliau berhenti dengan alasan sibuk, malas, tidak sempat, dll. Saya tidak mungkin memaksanya terus untuk berolahraga jadi akhirnya saya biarkan saja sampai sekarang.

Bukan cuma itu saja emak juga sangat rajin berobat ke dukun pijat. Minimal sepekan sekali beliau pergi ke sana. Masalahnya bukan pijatannya itu tetapi oleh mbah dukun emak selalu diberikan jamu.

Nah saya hanya menduga jika jamu inilah yang menjadi biang kerok serangan maag emak tak pernah berkurang.

Saya ingat benar jika salah satu dokter langganan emak pernah mewanti-wanti agar emak tidak mengonsumsi jamu. Bukan berarti saya anti jamu tetapi saya hanya melihat bahwa banyak jamu yang beredar (terutama jamu racikan homemade) tidak dibuat dengan standar farmasi herbal yang benar. 

Walaupun jamu dari bahan alam seperti tumbuh-tumbuhan bukan berarti aman 100% karena tetap saja ada risiko tersembunyi jika konsumsinya tak benar apalagi jamu abal-abal yang sudah dicampur analgesik atau antibiotik. Dulu sewaktu saya masih SD, saya ingat sekali booming daun kompring. 

Daun ini konon bisa mengobati segala penyakit (panacea). Di mana-mana orang-orang pun berburu daun kompring ini. Akan tetapi beberapa tahun kemudian entah mengapa reputasi daun kompring ini memudar. Setelah masuk kuliah baru saya mendapatkan sebuah informasi jika daun ini bisa menyebabkan kerusakan hati. Nah lho bukan berarti herbal lantas aman sepenuhnya.

Pengalaman lain dialami oleh salah satu almarhum bibi tahun 2017 lalu. Saat itu beliau menderita kanker serviks stadium III. Oleh salah satu cucunya si bibi diberikan sebuah jamu herbal.

Kata si peraciknya, jamu itu bisa meluruhkan kanker lalu mengeluarkannya lewat kencing. Memang sih setelah diminum si bibi jadi sering kencing tetapi saya justru melihatnya itu sebagai sebuah masalah karena bisa jadi si jamu sudah dicampur bahan-bahan tertentu yang bersifat diuretik yang membuat beban kerja ginjal jadi semakin berat sementara ada dugaan ginjal beliau sudah mulai dirusak oleh kanker.

Dugaan saya tak meleset beberapa bulan berikutnya gagal ginjal pun dialami si bibi. Apes buat si bini, hemodialisa cuma dapat berjalan sekali, selanjutnya hemodialisa yang kedua gagal sehingga akhirnya bibi meninggal. Racun menumpuk di dalam tubuh tak bisa dikeluarkan oleh hemodialisa. 

Poin dari kisah ini bukanlah membahas tentang penyakit atau obat-obatan tetapi bahwa merawat orang tua yang sudah lanjut usia tidaklah mudah dan tak bisa dianggap remeh. 

Masih jauh lebih mudah merawat bayi atau anak-anak. Jika anak-anak nakal maka kita cukup menjewer atau mencubitnya tetapi orang tua? Apakah kita akan menjewernya? Saya ingat dengan sangat jelas jika nenek dulu sering berpindah-pindah tempat tinggal di antara rumah anak-anaknya (bibi-bibi saya sendiri). 

Pernah sekali waktu para bibi ini berkumpul dan saya sempat menguping sedikit obrolan mereka yang intinya menggambarkan betapa sulitnya mengasuh nenek (ibu mereka sendiri). Karena itulah sudah jamak jika kadang di antara sesama anak main lempar soal pengasuhan orang tuanya yang sudah lansia.

Jika merasa si orang tua sudah terlalu merepotkan atau tidak sanggup dengan ulahnya maka si anak akan melemparkannya ke anak yang lainnya. Jadi sudah umum jika menjumpai lansia bulan ini berada di rumah anak A, bulan depan anak B, bulan depannya lagi di rumah anak C, dst.

Sayangnya ilmu pengasuhan orang lansia ini masih minim disosialisasikan di kalangan masyarakat kita alias kalah pamor dengan ilmu pengasuhan anak atau bayi. Padahal kita semua nantinya juga akan menjadi lansia. Perawatan lansia yang salah akan membuat kesehatan fisik dan mental mereka memburuk.

Ilustrasi: Ulrichkarljoho | FLICKR
Ilustrasi: Ulrichkarljoho | FLICKR

Jujur saya sendiri pun sampai sekarang masih mencari-cari ke sana ke mari informasi atau ilmu yang berkaitan dengan perawatan lansia ini. Bagaimanapun lansia adalah individu yang sudah mengalami kemunduran baik fisik atau mental sehingga perlu mendapatkan perhatian terutama dari orang-orang terdekatnya.

Mereka jadi lebih rentan terkena infeksi, lebih cerewet, pemarah, keras kepala, dan mungkin juga pelupa. Jangan sampai seperti salah seorang tetangga yang rela menginjak ibunya sendiri hanya gara-gara si ibu sulit dimandikan. Bersikap buruk kepada orang tua sama saja secara tak sadar dengan mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak kita sendiri. Maukah anda diperlakukan buruk nanti oleh anak-anak sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun