Mohon tunggu...
susilo ahmadi
susilo ahmadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - sekedar menyalur hobi menulis

cuma orang biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Pengalaman Pribadi Tersesat di Gunung

7 Juli 2019   21:17 Diperbarui: 9 Juli 2019   15:44 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini terinspirasi dari berita meninggalnya Thorieq (15 tahun) di gunung Piramid di kabupaten Bondowoso beberapa hari ini. Kebetulan kabupaten ini tidak jauh dari kabupaten saya sendiri, Jember.

Sebenarnya saya sendiri tidak pernah hiking cuma memang di sekitar rumah banyak hutan-hutan lebat yang berada di atas gunung atau lebih tepatnya bukit karena ketinggiannya yang tidak sampai 200 m. Bukit-bukit itu memanjang di sisi selatan, timur, dan utara. Makanya sinyal dari stasiun pemancar TV di kota susah sekali ditangkap di sini sehingga masih banyak warga yang menggunakan antena parabola (walau sekarang sebagian sudah tergantikan oleh streaming).

Berangkat dari hobi joging setiap pagi maka untuk mencegah kebosanan, saya selalu mengganti rute setiap sesi. Setiap minimal 3 bulan sekali saya selalu berusaha agar bisa joging di perbukitan itu karena medannya yang naik turun bagus untuk latihan kardio. Udaranya juga masih sangat segar. Joging di tengah kota melulu tidak bagus karena udaranya sudah tidak segar walaupun masih pagi. Pukul 5 pagi kini jalan sudah mulai padat oleh kendaraan.

Volume kendaraan bermotor yang terus meningkat di atas jalan raya di tengah kota membuat kualitas udara semakin tahun semakin merosot. Masalahnya adalah meskipun joging atau lebih tepatnya trail running di hutan membutuhkan waktu hanya sekitar 30-40 menit saja tetapi tetap butuh perencanaan matang. Yang jelas saya tidak bisa melakukan trail running saat sudah masuk musim penghujan.

Alasannya sudah pasti jalan yang saya lalui akan becek berlumpur, banyak jalan terputus oleh aliran air, dan tanaman jati sangat lebat. Saat pukul 7:00 pagi pun hutan masih terlihat remang-remang. Mana di jalan kadang banyak akar-akar besar yang menyembul akibat terkikis air hujan yang kalau tidak hati-hati kaki bisa tersandung.

Nah kejadian inilah yang sempat saya alami beberapa bulan lalu. Saya kira waktu itu (Maret 2019) sudah masuk kemarau jadi saya pikir hutan sudah mulai gundul (hutan jati) jadi saya langsung berencana untuk lari di dalamnya. Sebelumnya sih sudah pernah melewati trayek itu saat kemarau tahun sebelumnya jadi semakin menambah rasa percaya diri saya.

Ternyata begitu mulai masuk ke dalam hutan terasa hutan masih lebat. Waktu itu mungkin hampir pukul 6 jadi suasana masih lumayan remang-remang. Dah kepalang tanggung mau balik lagi juga malah lebih jauh. Akhirnya benar baru beberapa menit berjalan saya kebingungan menentukan arah atau bolehlah dibilang tersesat "kecil" karena jalan setapak banyak terputus oleh bekas aliran air. Ampun deh tepaksa saya berhenti dan melihat GPS.

Sayangnya kalau berlari kan tidak mungkin melihat GPS terus menerus beda kalau sambil jalan kaki mungkin masih bisa. Ya sudahlah akhirnya saya cuma mengandalkan insting saya. Saya berusaha untuk menyusuri tepi hutan. Jika terasa saya sudah mulai agak masuk ke dalam bagian hutan yang lebih lebat maka saya akan mencari sisi terluar hutan.

Hasilnya saya jadi harus sebentar-sebentar berhenti dan berputar-putar. Rasa-rasanya waktu tempuh jadi semakin lama dari biasanya. Syukurlah akhirnya bisa juga keluar hutan.

dok. pribadi
dok. pribadi
Dari pengalaman ini saya jadi tersadar rasanya jadi orang tersesat di hutan. Mana hutan itu terkenal dengan nama Sukmo Ilang lagi atau jiwa yang hilang karena konon dulu (entah sekarang) jika ada orang yang masuk kesitu maka biasanya takkan bisa keluar lagi. Intinya saat di hutan kita akan mudah sekali tersesat karena bagian-bagian hutan kelihatan relatif sama apalagi jika hutannya homogen seperti jati atau pinus.

Tanpa kompas akan sangat susah menentukan arah mata angin. Memang ada patokan matahari tetapi kadang itu juga sulit kalau mendung apalagi jika ada kabut tebal terutama saat kemarau. Kadang juga seiring waktu jalan yang pernah dilalui dulu menghilang entah karena longsor, tergerus aliran air hujan, ditumbuhi tanaman atau semak dengan cepat karena sudah tidak ada/jarang yang melewati.

Kalau saya ingat-ingat lebih jauh lagi rasa-rasanya bukan cuma kali itu saja saya pernah tersesat. Tahun lalu (2018) juga pernah cuma bukan di bagian sisi ini (barat) tapi di sisi timur. Waktu itu seingat saya kasusnya hampir mirip. Walaupun sudah memasuki kemarau tetapi hujan masih turun terus sehingga jalan di dalam hutan jadi becek meskipun sebenarnya jalan di sisi luar hutan sudah mengering. Nah pas di tengah-tengah jalan rupa-rupanya ada bagian-bagian jalan yang longsor. Ini yang kemudian membuat saya kebingungan. Seharusnya saya belok kanan tetapi malah jalan terus. Untungnya masih belum terlalu jauh saya langsung tersadar jika sudah salah jalan. Cepat-cepat saya putar balik dan berjalan lebih pelan serta teliti. Benar ternyata belokan yang ke kanan tidak begitu terlihat karena sudah hancur oleh air hujan. 


Kali lain pernah juga saya terlalu pede mengandalkan GPS. Saya coba ikuti rute sesuai arahan GPS setelah beberapa saat masuk hutan. Kalau melihat GPS memang terlihat ada rute terpampang jelas di situ. Yang ganjil adalah setelah beberapa puluh meter masuk hutan jalan yang semula lebar terus mengecil dan akhirnya menghilang. Ampun dah lagi-lagi saya bingung. Saya menoleh kemana-mana sama sekali tidak terlihat jalan lain. Satu-satunya solusi cuma putar balik tetapi ya itulah karena sudah terlanjur jauh masuk ke dalam hutan jadi malas mau balik lagi (ini kebiasaan buruk banget deh kayaknya). Sepertinya jalan itu sudah jarang atau tidak pernah dilewati sehingga dedaunan kering menumpuk di atas jalan yang kemudian membuat jalan tertutup. Saya singkirkan GPS supaya saya bisa lebih fokus kepada situasi di hutan dan akhirnya saya nekad melewati dedaunan kering yang menumpuk tebal. Rasanya tidak menyenangkan sama sekali karena kadang kaki terperosok ke dalam lubang atau cekungan jadi saya mesti ekstra hati-hati dan lagi-lagi syukurlah saya bisa keluar dari hutan. 

Oleh sebab itu sebaiknya hiking atau trail running memang tidak dilakukan sendirian dan yang terpenting adalah memiliki peralatan navigasi yang memadai seperti kompas, GPS, dan peta, serta terampil menggunakannya serta tak ada salahnya (ini yang paling penting) ditemani guide atau orang yang sudah berpengalaman jika medan memang masih belum dikenal. Tapi jujur sejak kejadian itu saya jadi tidak berani lari sendirian di dalam hutan meskipun tak jauh dari rumah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun