Beberapa bulan lalu ketika sedang berjoging ria pagi-pagi, saya berpapasan dengan dua orang perempuan separuh usia. Kalau melihat kostum mereka sepertinya mereka adalah para buruh tani yang sedang berangkat ke ladang. Mereka mengendarai sepeda mini tanggung pelan-pelan sambil asyik mengobrol.Â
Saya tidak begitu jelas mendengar apa yang sedang mereka obrolkan karena bagi saya hal seperti itu sudah merupakan pemandangan harian jadi saya sama sekali tidak mempedulikannya. Di belakang saya kira-kira jarak 200 m ada istri yang sedang mengendarai sepeda ikutan berolahraga pagi.
Sesampainya di rumah istri bertanya kepada saya apakah saya kenal atau telah mendengar obrolan dua perempuan ketika sedang joging di jalan tadi? Saya jawab mendengar tetapi tidak begitu jelas. Saya heran mengapa istri bertanya seperti itu. Apa maksudnya ya? Segera dia menjelaskan bahwa dua perempuan tadi rupa-rupanya sedang menggunjing diri saya.Â
Mereka berdua mengatakan bahwa saya adalah orang gagal dalam hidup ini. Yang membuat saya heran adalah pertama saya tidak mengenal kedua perempuan itu tetapi bagaimana bisa mereka bisa seolah-olah mengenal saya?Â
Rupa-rupanya kegagalan hidup saya sudah sedemikian masif sampai-sampai menjadi buah bibir banyak orang dimana-mana ya? Hehe... Yang kedua mengapa mereka sibuk mempersoalkan hidup saya padahal juga saya tidak pernah mengenal mereka sama sekali? Kalau mereka berdua masih kerabat atau sanak saudara atau tetangga, saya masih bisa memakluminya. Â
Jujur memang saya orang yang gagal dalam hidup ini. Cita-cita masa lalu yang terwujud dalam hidup ini hingga sekarang mungkin tidak sampai 5%. Sisanya cuma tumpukan puing puing kegagalan. Sebagian memang murni karena kesalahan saya sendiri di masa lalu tetapi sebagian besar lainnya sebenarnya bukan.Â
Saya memang bukan orang sukses saat ini. Saya hanyalah orang biasa-biasa saja. Orang kaya bukan, pejabat bukan, pegawai perusahaan bonafit juga bukan, orang dengan banyak prestasi apalagi jelas bukan sama sekali.Â
Saya jelas jauh sekali dari gambaran banyak buku-buku dan kutipan-kutipan sukses yang tiap hari membobardir halaman medsos dan web. Akan tetapi bagaimanapun keadaan saya saat ini saya tidak pernah terlalu mempersoalkannya apalagi sampai mem-blow up. Bagi saya label atau predikat dari orang lain itu tak penting. Saya tidak haus atau butuh label ini itu.Â
Dulu-dulu awalnya saya selalu berusaha keras melawan hidup saya sendiri tetapi akhirnya di sebuah titik saya tiba pada sebuah kesimpulan akhir bahwa tidak ada gunanya sama sekali untuk terus melakukannya atau saya bisa jadi gila betulan atau mengalami gangguan mental. Saudara sepupu di belakang rumah adalah sebuah contoh sempurna. Belasan tahun dia hidup dalam kesulitan ekonomi terus menerus.Â
Saya tahu seperti saya sendiri, awalnya dia berusaha melawan hidupnya sendiri tetapi sampai sayangnya hingga detik ini dia masih terus saja melawan tanpa henti. Walhasil akhirnya dia menderita gangguan mental sejak beberapa tahun lalu. Dia sering berbicara, tertawa, dan berteriak-teriak sendirian. Orang-orang yang baru mengenalnya pasti kaget dan menganggapnya gila tetapi saya yang sudah saban hari mendengar dan melihat perilakunya sadar benar bahwa itu hanyalah sebuah gangguan jiwa.Â
Pernah saya menyarankan kepada suami dan ibunya (bibi saya) agar dibawa ke RS jiwa tetapi mereka menolak dengan alasan kemungkinan lebih disebabkan karena gangguan jin atau mahluk halus sehingga kemudian malah datang ke dukun. Yang membuat saya prihatin adalah salah penanganan itu mengakibatkan gangguan kejiwaannya semakin lama justru semakin parah. Â
Berdamai dengan hidup dan masalah. Itulah yang menjadi obat ampuh saya selama ini hingga saya masih bisa bertahan sampai detik ini. Mengapa penderita kanker kebanyakan meninggal dengan cepat? Karena mereka terus menerus berusaha melawan si kanker dan bukan "berdamai" dengannya. Memusuhi kanker hanya akan membuat si kanker semakin mengganas dan berbahaya.Â
Saya tidak mengatakan bahwa sebaiknya penderita kanker tidak melakukan apapun dengan penyakitnya tetapi saya melihat sendiri banyak penderita berusaha semakin merasakan sakit saat mereka berusaha semakin melawan penyakitnya.Â
Saya berani menuliskan ini karena pernah melihat salah seorang survivor kanker  lewat tayangan di TV yang berhasil bertahan hidup dengan cara berdamai dengan kanker yang dideritanya. Padahal hingga detik ini teknologi kedokteran yang paling canggih sekalipun masih belum banyak memberi solusi terbaik terhadap penyakit ini.
Kembali kepada kisah dua perempuan di atas, saya memang sedang berusaha menjadi imun (atau boleh disebut masa bodoh) terhadap semua omongan orang belakangan ini.Â
Kalau saya selalu merespon semua omongan mereka wah bisa habis semua waktu hanya untuk meladeni mereka. Bagi saya sekarang meladeni omongan orang hanyalah buang-buang waktu. Tidur atau bermalasan masih jauh lebih baik dibandingkan mendengarkan omongan yang tak penting.Â
Dulu jika saya mendengar omongan orang yang negatif tentang diri saya, wah bisa sepekan saya masih kepikiran terus, sedih, cemas, dan marah-marah tak jelas.Â
Sekarang orang yang mau ngomongin kejelekan atau kekurangan saya tidak usah melakukannya di belakang. Ngomong saja langsung di depan muka saya dan kalau perlu pakai megafon dengan volume maksimal pun takkan saya respon sama sekali.
Memang tak mudah untuk bisa sampai pada titik imun ini karena kebanyakan orang saya lihat selalu reaktif jika ada orang lain yang membicarakan buruk tentang diri mereka.Â
Yang pertama yang selalu saya tekankan bahwa saya hanyalah manusia biasa yang banyak kekurangan dan kesalahan jadi sangat wajar jika orang selalu membicarakan kedua sisi itu. Malah kalau ada orang yang membicarakan positif, saya khawatir jangan-jangan dia mau ngutang atau mau minta sumbangan.Â
Yang kedua, mereka, para penggunjing itu bukan siapa-siapa bagi saya lalu lantas kenapa saya HARUSÂ mendengarkan semua omongan mereka? Seandainya yang ngomong itu istri, orang tua, atau bos saya sendiri, belum tentu saya mau mendengarkan atau mematuhinya. Yang ketiga, hidup adalah milik saya sendiri sepenuhnya dan bukan milik siapa-siapa.Â
Saya mau melakukan apapun yang saya sukai dalam hidup ini semua adalah hak saya sendiri tanpa ada yang bisa mengintervensi. Hidup memang bukan tentang diri sendiri tetapi hidup juga bukan harus selalu menyenangkan semua orang. Jika ada orang yang tak suka, get lost out of my way! Yang keempat, masih banyak kegiatan positif yang bisa dilakukan lantas kenapa saya harus sibuk membuang waktu dengan merespon omongan orang yang sering tak jelas? Akhirnya saya akan mencoba mengutip kisah seorang bapak, anak, dan unta yang saya kira semua orang sudah tahu.
 Alkisah ada bapak, anak, dan seekor unta tengah berangkat ke pasar. Mula-mula si anak naik unta lalu ayah menuntun unta tersebut. Mereka berjalan pelan sepanjang jalan.Â
Di pinggir jalan orang-orang pun spontan berbisik-bisik membicarakan mereka berdua, "tuh anak tak tahu diri, orang tuanya disuruh berjalan sementara dia sendiri enak-enakan naik unta". Mendengar itu, mereka pun bertukar tempat, si anak kemudian menuntun unta dan si bapak menaikinya dan respon para penggunjing pun langsung berubah, "duh bapaknya kok enggak kasihan sih sama anaknya disuruh berjalan?"Â
Akhirnya mereka pun berdua memilih menuntun unta bersama-sama dan lagi-lagi para gunjingers itu ganti tema, "ini mereka berdua tolol banget ya? Unta itu kan seharusnya dinaiki sementara mereka kok malah berjalan?" Bapak dan anak itupun bingung sehingga mereka pun langsung menaiki unta bersama-sama dan akhirnya gunjingers sudah tak tahan lagi, "kasihan sekali untanya dinaiki dua orang sekaligus!" Begitu tiba di pasar kedua bapak anak ini pun langsung menjual untanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H