Mohon tunggu...
susilo ahmadi
susilo ahmadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - sekedar menyalur hobi menulis

cuma orang biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Menjaga Hati Selama Ramadan dengan Beribadah

18 Mei 2019   08:48 Diperbarui: 18 Mei 2019   08:57 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam tubuh manusia ada segumpal darah yang kalau dia baik maka baik seluruh tubuh tetapi kalau dia jelek maka jelek seluruh tubuh, segumpal darah itu adalah hatinya manusia. Begitulah lirik sebuah lagu qasidah yang cukup terkenal yang selalu diputar di majelis-majelis taklim di kampungku. 

Hati merupakan organ tubuh yang sangat penting yang salah satu fungsinya adalah menawarkan racun mengingat tubuh manusia setiap saat selalu memproduksi racun dari berbagai aktivitas sel dan belum lagi tambahan racun dari luar yang harus dinetralkan. 

Jika fungsi hati terganggu maka tubuh manusia akan penuh dengan racun yang bisa sangat menghancurkan dan bahkan mematikan. Itulah mungkin pesan yang ingin disampaikan oleh lagu itu. 

Hati yang penuh racun adalah hati yang sudah tidak mampu melakukan tugas detoksifikasi sehingga racun menumpuk di hati tanpa mampu dinetralkannya. Racun yang menumpuk ini kemudian mengalir ke darah dan beredar ke seluruh tubuh.  

Secara spiritual, saya umpamakan hati seperti bola kristal indah yang memancarkan cahaya ilahi tetapi sayangnya hati tidak berada di ruang steril debu. Setiap saat akan selalu ada setitik debu dari atmosfer yang menempel di hati yang lama kelamaan akan menebal. 

Jika sudah tebal sekali maka hati takkan mampu memantulkan cahaya ilahi lagi. Oleh karena itu hati harus dibersihkan, sayangnya jika kerak debu sudah tebal bandel maka mungkin hati harus direndam dalam "air panas" atau bahkan digosok dengan "ampelas" keras-keras. 

Karena itulah hati harus terus dijaga dan dibersihkan dari debu sesering mungkin. Semakin sering dibersihkan maka akan semakin bagus hati. Shalat, zakat, puasa serta berbagai instrumen ibadah lainnya pada dasarnya adalah upaya untuk terus menjaga hati ini.

Esensi puasa sebenarnya adalah membersihkan dan menjaga hati ini walaupun dari segi kesehatan puasa juga bermanfaat untuk membersihkan tubuh dari racun atau detoksifikasi. Akan tetapi puasa yang bagaimanakah yang dapat membersihkan hati? Tentu puasa yang tidak cukup hanya dengan menahan makan dan minum saja. 

Akan tetapi puasa yang sudah sampai lebih jauh pada level mental spiritual dengan menjaga agar "debu-debu" tidak terlalu banyak yang menempel di hati. "Debu-debu" itu  masuk melewati panca indra manusia seperti lisan (gibah, berbohong, dll), penglihatan, pendengaran, ataupun penciuman. 

Lalu jika demikian apakah kita perlu menutup semua panca indra kita selama berpuasa? Tentu saja tidak karena selama kita masih hidup panca indra kita akan terus bekerja setiap saat. 

Solusinya bukanlah dengan menutup tetapi dengan mengalihkannya untuk kegiatan-kegiatan positif bernuansa ibadah. Jika panca indra sudah diberikan "makanan" positif maka secara otomatis hati juga akan mendapatkan "gizi" yang baik pula. 

Dengan bekal "gizi" positif ini dan bebas "debu" maka hati akan siap memancarkan nilai-nilai ilahi setiap waktu. Begitulah kira-kira logika mudahnya.

Karena itulah di bulan suci ini kita berhenti sejenak selama beberapa detik sebelum melakukan sesuatu. Cobalah berhenti sebentar dan renungkan misalnya ketika akan update status di medsos, apakah ini berguna atau hanya akan membuat orang marah? Ataukah ketika akan mengatakan atau merespon sesuatu coba pikirkan sekali lagi baik-baik. 

Sebagai contoh apa yang saya alami sendiri beberapa hari lalu ketika di suatu siang saya mendatangi rumah seorang kerabat. Tujuan utama saya hanyalah mengklarifikasi penggunaan uang yang sudah saya berikan kepadanya. Saya datang dan menanyakan baik-baik ke rumahnya tetapi yang terjadi malah dia mengira saya telah menuduhnya memakan uang itu. 

Saya pun dengan nada pelan (karena memang lagi lemas puasa) mencoba sekali lagi menjelaskan duduk perkaranya dengan sebenar-benarnya tetapi rupa-rupanya hingga mungkin 20 menit gayung tak bersambut. Dia malah sibuk nerocos mencari pembenaran atas semua yang sudah dilakukannya. 

Saya pun tidak terlalu banyak merespon karena saya tahu akhir cerita ini akan kemana. Saya tahu jika tetangga saya ini seorang pemarah memang. Dulu pernah saat berpuasa dia marah-marah besar di siang hari lalu langsung membatalkan puasanya. 

Selama ini berkembang sebuah aturan tak tertulis di kampung, jika seseorang yang sedang berpuasa lalu marah maka dia diperbolehkan untuk membatalkan puasanya (aneh dan lucu ya?). Padahal setahu saya bagaimana seorang yang sedang berpuasa bisa marah-marah? Energi dari mana untuk marah itu? Karena marah memerlukan energi yang cukup besar. 

Saya akhirnya memilih untuk langsung pulang meskipun sebenarnya pembicaraan belum selesai karena memang saya anggap selesai begitu saja. Tak mau hawa amarah yang dia tebarkan kemudian saya respon yang malah berpotensi bisa mengotori hati dan jiwa di bulan yang baik ini. Intinya menjaga hati adalah tentang belajar dan bulan Ramadhan ini adalah saat yang sangat ideal untuk belajar melakukannya.     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun