Mohon tunggu...
Danang Budi Susetyo
Danang Budi Susetyo Mohon Tunggu... Peneliti -

Peneliti di bidang Geodesi/Geospasial/Pemetaan. Penggemar Liverpool FC yang sangat suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seandainya “Bermain” Politik Sesederhana Bermain Bola

24 Januari 2016   13:01 Diperbarui: 24 Januari 2016   13:45 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber gambar: http://www.uefa.com/uefachampionsleague/ticketing/"][/caption]Ada arena, 22 pemain (+ 14 pemain di bench), dua pelatih di pinggir lapangan, satu orang wasit (+ dua orang hakim garis), dan puluhan ribu supporter. Hanya itu saja syarat-syarat yang harus ada dalam sebuah pertandingan sepakbola. Aturan mainnya jelas dan dipengang mutlak oleh wasit yang bertugas mengatur jalannya pertandingan. Semua pemain yang terlibat harus tunduk pada apapun keputusan wasit, bahkan meskipun dirasa kurang adil. Sportivitas lah yang menjaga itu semua, sebuah kesadaran yang tumbuh dalam profesionalisme seorang atlet.

Tujuan dua tim yang bertarung di lapangan sama: kemenangan. Caranya pun sama, dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya ke gawang lawan. Berjibaku sudah jadi hal yang lumrah, saling menjegal demi menghalangi lawan masuk ke kotak penalti bukanlah hal yang dilarang. Namun tetap ada batasan di dalamnya, ada pelanggaran-pelanggaran yang akan dihukum dengan layak seandainya pemain sudah kelewatan dalam melakukan blocking. Kartu kuning dan merah adalah kompensasi yang harus diterima seandainya pelanggaran itu sudah tak bisa ditolerir, dan sekali lagi, semua pemain tunduk ketika dua kartu itu dikeluarkan wasit dari sakunya.

Menang dan kalah adalah hal yang biasa. Seperti yang sering disebutkan presenter NET di Piala Jenderal Sudirman “berani menang, berani kalah”. Fokus tim yang menang adalah mempertahankan performa agar tetap konsisten sampai mereka menempati podium juara, sedangkan tim yang kalah mengevaluasi diri agar dapat membenahi penampilan mereka di pertandingan selanjutnya. Selalu ada jabat tangan di antara kedua pelatih dan pemain, semenyakitkan apapun hasil yang didapat oleh tim yang kalah. Pelukan antar pemain pasca pertandingan, bahkan saling bertukar kaus adalah hal yang biasa. Begitu menyenangkan bisa melihat pemandangan seperti itu setelah sebelumnya disajikan duel menarik yang mempertontonkan kekuatan dan ambisi kedua tim.

Di dalam lapangan, semua akan menjadi garang. Striker akan berusaha menerobos pertahanan lawan dengan gocekan, kecepatan, dan triknya. Di sisi lain, para pemain bertahan akan berusaha mati-matian menghalangi para penyerang dengan kekuatan dan tackle-tackle-nya. Bentrok yang akan menjadi tontonan seru, kecuali jika permainan kasar sudah diperagakan. Namun yang mengesankan, semua baku hantam itu hanya terjadi selama 90 menit (jika tidak ditambah extra time). Setelah itu, kedua kubu akan kembali menjadi “manusia biasa” yang berteman satu sama lain. Paling tidak, tak akan ada yang memperpanjang sekalipun selama pertandingan para pemain saling sikut dan jegal.

[caption caption="Sumber gambar: http://www.gettyimages.co.uk/detail/news-photo/luis-suarez-of-liverpool-is-tackled-by-vincent-kompany-of-news-photo/134154628"]

[/caption]

Sepakbola selalu mengedepankan kemampuan, tak peduli siapa yang memilikinya. Ketika Anda hebat, Anda akan kami rekrut, dan kami siap bersaing dengan tim manapun untuk mendapatkan Anda. Kami hanya cukup melihat dari track record dan prestasi Anda selama ini, sekalipun kami tak pernah mengenal Anda secara langsung. Pemain, pelatih, bahkan staf kepelatihan secara umum dinilai dari kemampuannya, bukan kedekatannya dengan orang-orang penting.

Indah dan menarik. Semua itu adalah tontonan berkelas yang menjunjung tinggi sportivitas dan fair play.

Lalu kemudian saya bertanya.

Bisakah politik seperti itu?

Tunduk pada aturan dan norma yang ada di negeri ini, dan atas kesadaran sendiri mematuhi itu semua?

Ketika ada kasus yang diakibatkan oleh kepentingan politis yang berbeda, dan ada hakim di dalamnya, semua tunduk sepenuhnya pada keputusan hakim dan tidak memperpanjang lagi selama itu adalah keputusan yang dianggap paling adil dan diterima semua pihak?

Ketika ada pihak yang (merasa) kalah dalam pertarungan politis, pihak itu menerima dengan lapang dada dan memberi selamat kepada pihak yang menang?

Ketika ada kepentingan politis yang berbeda, kemudian terjadi debat, semua itu hanya terjadi di ruang rapat atau sidang, dan setelah keluar semuanya kembali menjadi rekan seprofesi?

Selalu fokus memperbaiki diri untuk kepentingan bersama, jika sudah baik berusaha mempertahankan bahkan meningkatkan performa, sedangkan jika masih buruk berusaha mengevaluasi diri dan terus berbenah tanpa henti?

Membentuk kabinet, tim kerja, atau apapun namanya, hanya berdasarkan kemampuan seseorang, dengan mengesampingkan urusan pribadi yang memungkinkan seseorang tersingkir jika tak sepaham dengan atasan meski secara kemampuan orang tersebut sangat memenuhi syarat untuk diajak bergabung?

Bisakah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun