Minggu lalu saya merayakan ulang tahun. Merayakan? Bentuknya apa?. Adakah sesuatu yang spesial mewarnai hari itu?.
Sudah puluhan kali saya lalui tanggal itu, namun tak membuat saya bosan untuk terus mengulanginya. Ritual bergulir seperti biasa. Sejak pukul 00.01 dini hari sampai tengah malam, ucapan selamat berdatangan tak henti-hentinya. Bahkan sampai tadi sore, “Happy belated birthday” masih datang satu-dua. Kebanyakan melalui media sosial yang begitu mudah menyebarkan berita (gembira) seperti itu.
Lantas apa yang membuat tanggal itu istimewa?. Sejatinya tidak ada. Lantas mengapa hari ulang tahun diperingati dan dirayakan oleh begitu banyak orang di seluruh dunia?.
Sejak tahun pertama saya melewatkan tanggal (istimewa) itu, sampai ulangannya yang terus terjadi setiap tahun, tak ada satu hal pun yang membuat berbeda, kecuali, tentu saja, dalam jumlah usia. Peringatan atau perayaan ulang tahun adalah waktu yang bergulir begitu saja. Sering tanpa kesan, tanpa makna, bahkan tanpa sesuatu yang membuat menjadi lebih baik, dibanding kemaren atau tahun lalu.
Semakin banyak usia, peringatan hari ulang tahun tidak lagi merupakan perayaan yang menggembirakan. Kerap kali hanya berupa catatan bahwa dia tak muda lagi.
Dan tua – paling tidak yang terjadi di masyarakat kita, kini – bukan suatu predikat yang menyenangkan. Tua, sekarang, digambarkan sebagai beban bagi yang muda, dan acap menjadi bahan olok-olok.
Tontonan komedi di TV, banyak menggambarkan orang tua sebagai sosok yang tak berguna, lucu (atau aneh?), mengganggu dan obyek ledekan. Konotasi umum, tua tak lagi lukisan nostalgia yang penuh kenangan indah, disertai catatan akan pencapaian-pencapaian yang pernah ditoreh.
Bagi mereka yang sudah berusia tua pun, seakan menyadari akan posisinya yang lemah dan tak berdaya. Menjadi tua adalah saat untuk mundur dari kehidupan dan ikhlas untuk dilucuti lakonnya dalam keluarga atau masyarakat. Peran orang tua seharusnya berubah, bukan musna.
Sampai 6 tahun lampau, seorang sahabat mengirim ucapan selamat ulang tahun plus nasehat yang menyentak pemahaman akan makna hari spesial dan memasuki hari tua.
Pesan bahwa Ada yang selalu menyertai kita. Tentu karena saya istimewa di hadapanNya, meski saya sadar telah menjadi lebih tua dan bukan siapa-siapa.
“Sampai masa tuamu, Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu, Aku menggendong kamu. Aku telah melakukannya dan mau menanggung kamu terus; Aku mau memikul kamu dan menyelamatkan kamu”. (Yesaya 46:4).
Kalau demikian, haruskah menjadi tua identik dengan “laskar tak berguna?”. Pesan di atas mengatakan "tidak". Tua (biasa ditandai dengan tumbuhnya rambut putih) tak membuat manusia, tidak atau kurang berarti bagi Sang Pencipta.
Seorang sahabat muda, yang sering saya panggil "mas ustad", minggu lalu menghibur saya dengan mengirim pesan lain. “Tetap semangat dan gembira untuk menjadi semakin tua pak”.
Pesannya membuat saya menjadi lebih tenang. Tak ada alasan bagi saya untuk risau dalam memperingati hari ulang tahun lagi. Satu catatan tetap harus dipegang, agar meski telah beranjak tua, tetap mendapat penghormatan. Ada satu syarat, bagaimana seseorang yang dikarunia panjang umur tidak akan berkurang maknanya dihadapan sesama dan Dia. Syarat itu adalah “amal sholeh”.
Dari Abdurrachman bin Abu Bakrah, dari bapaknya, bahwa seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang terbaik?”. Beliau menjawab, "Orang yang panjang umurnya dan baik amalnya”. Dia bertanya lagi, “Lalu siapakah orang yang terburuk?”. Beliau menjawab, “Orang yang berumur panjang dan buruk amalnya”. (HR Ahmad; Tirmidzi; dan al-Hakim. Disahihkan oleh Albani Rahimahullah dalam Shahih at-Targhib wat Tarhib).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H