Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kampung Halaman

1 Juli 2016   11:15 Diperbarui: 2 Juli 2016   03:57 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap Lebaran menjelang tiba, kosa-kata itu muncul kembali. Pasangan kata yang manis namun sangat gamblang menjelaskan maksudnya. Meski mungkin dulu tak tinggal di suatu kampung, dengan rumah tak berhalaman, orang tetap menyebutnya “kampung-halaman”. Entah desa, kampung, atau kota tempat seseorang dilahirkan dan atau dibesarkan.

Kampung-halaman tidak hanya desa atau kota secara fisik, tapi melibatkan juga peristiwa dan budaya yang nemplok di sana. Kampung-halaman bisa menjadi nostalgia yang menentramkan hati.

Jalanan, toko, pasar, sekolah, bangunan, dan yang paling menonjol adalah kenangan akan kuliner khas sana. Tak kalah penting, manusia yang hidup di sana menjadi ciri khas kampung-halaman.

Entah mengapa saya cinta Semarang, kampung-halaman saya. Kota di mana saya lahir dan dibesarkan. Di sana ada Simpang Lima, Tugu Muda, Candi atau Gombel. Tak indah-indah amat, tapi jelas tertutup dengan Lumpia Mataram, makanan yang tak tergantikan, meski di Jakarta banyak dijual “Lumpia Semarang”.

Wingko asal Semarang yang katanya berasal dari kota kecil di Jawa Timur, Babat, mengalahkan wingko asli dari sana. Sementara Bandeng Presto dari kota Juana, diambil alih Semarang karena rasanya jauh lebih enak. Tapi, bolang-baling tetap impian, karena gurih dan manis plus harganya terjangkau.

Masih banyak lagi makanan, seolah lambaian tangan, mengundang para alumnus penduduk kota untuk kembali ke sana. Itu yang menyebabkan orang menjadi homesick, kangen pulang kampung.

Kampung halaman bukan hanya Semarang. Bandung dirindukan karena punya kawasan Dago, Cihampelas dan jalan Aceh. Surabaya terkenal dengan Tunjungan dan Jembatan Merah, Yogyakarta bangga dengan Malioboro, Solo hidup 24 jam karena Sriwedari dan Taman Balekambang, sementara kalau ke Makasar jangan lupa mampir ke Pantai Losari dan ke Medan berkunjung ke Istana Maimun.

Kampung-halaman adalah subyektif. Ia dipengaruhi oleh banyak hal yang konotasinya masa lalu. Itulah mengapa kampung-halaman selalu dikaitkan dengan aktivitas mengenang. Memikir ulang apa yang dulu pernah dialami, mengungkit kembali dan berusaha meniru agar yang kisah dulu terulang lagi.

Meski aktivitas itu selalu gagal, namun keinginan untuk mencoba selalu menimbulkan excitement yang menyenangkan. Teman lama dikumpulkan, makanan masa lalu dicoba dan tempat zaman dulu dikunjungi lagi. Meski sudah tahu bakal gagal untuk memutar film jadul, nostalgia kampung-halaman selalu diulang dan diulang. Lumayan, meski tidak persis sama, bisa mengobati kerinduan masa lalu yang sudah ditinggalkan bertahun-tahun lampau.

Tak heran kalau menjelang Lebaran orang berbondong-bondong mudik. Istilah mudik memang unik. Entah kosa kata dari mana, tetapi sekarang sudah menjadi bahasa Indonesia resmi yang dipakai di mana-mana. Keistimewaan kampung-halaman yang melahirkan mudik.

Orang berbondong-bondong pulang ke kampung-halaman, karena mengenang masa lalu adalah keasyikan tersendiri. Mengunjungi tempat lama membangkitkan emosi, mengunyah makanan masa kecil enaknya setengah mati, dan bercanda dengan teman lama menyenangkan hati. Dan mudik bukan hanya fenomena lokal, tetapi menjangkiti juga tempat-tempat di luar sana.

Kalau di sini ada kampung-halaman, orang sana menyebutnya hometown.Paduan kata yang kalau diterjemahkan harafiah lebih pas menunjukkan sebagai asal-usul di masa lalu. Pun di sana, hometown selalu ngangeni.

Di Amerika, orang dari kota besar menyemut pergi ke masing-masing hometown untuk merayakan hari Thanksgiving. Di Tiongkok, penduduk berbondong-bondong pulang kampung menyambut Imlek. Di Singapura, kota pulau yang biasanya gegap gempita, menjadi sepi-nyenyat kalau Sincia tiba. Orang mudik entah ke mana. Mirip, karena baik Lebaran mau pun Thanksgiving dan Imlek adalah saat yang tepat untuk pulang ke kampung-halaman memanjakan emosi dan subyektivitas, menjalin silaturahmi yang menyehatkan badan, melapangkan rezeki dan memanjangkan usia.

Tidak hanya mereka yang hanya mampu berdesak-desak di bis kota atau KA kelas ekonomi, tapi penumpang pesawat kelas bisnis pun ikut mudik bila Lebaran tiba. Pak Jokowi selalu Lebaran ke Solo, sowan ibundanya, dan bertemu handai taulan dan kerabatnya. Pak SBY ke Pacitan untuk sholat Ied dan nyekar kedua orang tuanya. Siapa pun dia yang pergi dan berada, pulang mudik ke kampung-halaman adalah cara untuk mencurahkan dan melepas rasa bahagia bertemu keluarga, sanak saudara, dan sahabat tercinta.

“Setinggi-tingginya melanting, jatuh juga ke tanah”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun