Setiap hari, Panti mengeluarkan dana rata-rata lima ratus ribu rupiah, sementara tak ada pemasukan tetap yang diperolehnya. Itu yang disebut Tangan Tuhan. Ia mengatur semua ini.
Melihat Yono menyantuni dan melayani pasien-pasien sakit jiwa yang miskin tanpa biaya, banyak orang dituntun Tangan Tuhan untuk menyumbang sembako dan uang, begitu saja. Sisanya mereka dapat dari hasil menjual barang bekas.
Tangan Tuhan bekerja dalam karya kemanusian Yono yang begitu mulia. Yono tak pernah khawatir bakal kekurangan dana dalam menghidupkan Pantinya. Dia yakin Tangan Tuhan selalu bekerja mendukungnya. Keikhlasan dan kemauan melayani sesama, meski dengan susah payah, selalu diikuti oleh keterlibatan Tangan Tuhan.
Satu hal yang menguatkan Yono dalam menjalankan karya ini adalah pangilan dan ajakan Tangan Tuhan. Ini kata kunci yang membuat Yono selalu gembira dalam menjalankan misinya. Yono merasa bahagia jika pasiennya sembuh dan kembali kepada keluarganya.
Tangan Tuhan kedua menyentuh seorang bayi perempuan, 8 bulan, bernama Asyifa Nur Risma Aznii. Meski sulit, saya mencoba menemukan arti nama sang bayi. “Cahaya penglipur yang menumbuhkan tekad”.
Asyifa dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Bapaknya tukang bangunan, ibunya tenaga lepas dari sebuah apotik di kawasan Ciledug.
Suatu hari, Asyifa terkena demam tinggi, plus kejang-kejang. Didiagnosa menderita radang paru-paru, radang otak dan radang selaput otak (BronchopneumonidanMeningoencephalitis).
Asyifa harus dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), ICU yang khusus merawat bayi sampai usia 1 tahun. Bapaknya harus menyiapkan uang muka sebesar lima belas juta rupiah, sebelum Asyifa “boleh” masuk ke PICU. Dari manakah uang sebanyak itu?.
Ia tidak datang besar-besaran, atau dengan meriah dan gegap gempita. Tapi, Tangan Tuhan tiba saat dibutuhkan. Dengan diam-diam, sering tak diketahui dari mana asalnya. Tanpa diduga, uang muka PICU untuk Asyifa terlunaskan. Dan Asyifa mulai dirawat di sana. Demamnya mulai menurun, kejangnya berkurang, tapi Asyifa jauh dari sembuh.
Empatbelas hari kemudian, Asyifa boleh dipindah ke ruang perawatan biasa. Beberapa anggota tubuhnya belum bisa digerakkan. Sulit mengharap Asyifa pulih seperti sedia kala. Tapi, itu semua belum cukup. Tagihan tujuhpuluh juta rupiah menanti untuk dilunaskan.
Hampir tengah malam, saat kasir RS terkantuk-kantuk menjaga loketnya. Tangan Tuhan kembali datang diam-diam. Seolah Ia tahu kapan dibutuhkan, membereskan karut-marut perhitungan biaya perawatan Asyifa.