Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salesmanship

10 Maret 2016   21:09 Diperbarui: 10 Maret 2016   21:31 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Teman saya marah-marah di telpon, di tengah rapat.  Kami tak tahu kepada siapa dia bicara.  “Jangan menggangu saya.  Saya sedang rapat penting”.  Begitu kira-kira sang teman setengah berteriak.  Kami menduga apa yang sedang terjadi, dan tersenyum kecut melihatnya.

Kejengkelan yang sama juga sering saya alami.  Juga dirasakan oleh banyak teman lain.  Waktu dan privacy terganggu oleh deringan atau getaran gadget yang tak diharapkan.  Lebih-lebih kalau sedang terikat acara lain yang penting dan mendesak.  Sumpah serapah dan teriakan atau paling tidak gerutuan dalam hati, otomatis keluar dalam keadaan terdesak seperti itu.  Saya maklum, kalau itu membuat rasa tak nyaman dan terganggu.

Telpon tak dikenal dan tak diharap semakin sering diterima orang, akhir-akhir ini.  Bermacam kata diucapkannya.  Mereka menjual sesuatu.  Telpon tak dikenal berasal dari mereka yang sedang berjualan.  Jualan apa saja.  Mereka disebut sebagai penjual atau salesman.

Yang paling sering terdengar adalah jualan produk perbankan.  Kartu kredit,  tawaran menjadi nasabah, tabungan atau pinjam uang.  Tapi banyak juga yang menawarkan  property, mobil, hotel,  pakaian bahkan ada yang menjual makanan dan minuman.  Saya pernah menerima telpon dari “suara halus” di ujung sana.  Dia menawarkan fruit salad, yang katanya paling enak dan paling murah se dunia.  Puji Tuhan, saya bersyukur bisa merasakan salad buah yang enak luarbiasa.

Semula saya jengkel melayani telpon atau text seperti itu.  Lama-lama, saya mulai belajar memahami mereka.  Itu adalah profesi. Pekerjaan yang harus dijalankan untuk memenuhi tugas, menjual sesuatu.  Saya mulai menempatkan diri bagaimana kalau menjadi mereka.  Mereka harus melakukan courtesy call dengan jumlah tertentu, setiap hari, agar KPI nya tercapai.  Jangan dikira semua penjual dengan senang hati menjalankan “tugas” itu. 

Saya mencoba alas-kaki mereka dan memasukkan di kaki saya.  Tidak pas, tetapi saya terus coba untuk merasakan dengan hati yang lapang.  Sempit, tapi saya berusaha untuk merasakan seperti memakai sepatu yang lapang.  Saya menduga bahwa mereka juga tak nyaman, “mengganggu” seseorang yang belum dikenalnya, dengan celotehan di ujung telpon yang kurang sreg dengan kebiasaan mereka.  Sekali lagi, tugas memanggil,  kewajiban menunggu, angka-angka memacu, untuk “maju terus pantang mundur”.  Apa boleh buat.

Itu yang disebut sebagai salesmanship,  kemampuan seseorang untuk menjual sesuatu.  Beberapa ungkapan mengatakan bahwa salesmanship adalah perpaduan antara kemampuan, kompetensi, pengalaman, usaha dan seni (art).

Manifestasi seni bagi seseorang, lebih separuhnya didasarkan pada bakat.  Teori lain mengatakan bahwa bakat adalah sesuatu yang embedded  di dalam dirinya.  Pendapat lainnya mengatakan itu suatu “pemberian”, yang susah ditelisik asal-usulnya.  Mungkin ini hanya salah satu cara untuk menyederhanakan dan memperpendek bagaimana “bakat” bisa diterangkan secara ilmiah.  Terima saja, telan saja, jangan banyak tanya.  Dia mempunyai sesuatu “kelebihan” yang tak dimiliki orang lain.  Itu saja. 

Pendapat lain tentang perpaduan beberapa variabel yang kemudian melahirkan pencapaian dari seseorang, saya dengar bulan lalu.  Teguh Ostenrik, seorang pematung dan pelukis kondang asal Semarang, yang berkelas dunia, mengatakan bahwa faktor bakat makin kecil perannya.  Kerja keras (yang dimaksud adalah “usaha”) dan pengalaman, lebih dominan mewarnai hasil karya seseorang.

Baiklah,  saya tarik kesimpulan sementara.  Di era moderen ini, bakat mempengaruhi prestasi seseorang, dengan porsi yang semakin mengecil.  Usaha dan pengalaman, menyita porsi lebih banyak.

Salesmanship pun idem dito.  Salesman (lebih tepat, salesperson) harus dilengkapi dengan pemahaman yang komplet mengenai seluk-beluk “menjual”.  Lebih-lebih bila faktor pengalaman dan bakat besarnya hampir sama dengan nol. 

Anak baru lulus sekolah, apalagi mereka tanpa bakat, harus terjun ke dunia penjualan, dan hanya dibekali SOP saja, akan bergelut setengah mati dengan masalah yang menyulitkannya.  Alhasil, target pelanggan yang dibidik, bukan tertarik, malah kesel dan marah-marah.  Bukan simpati yang didapat, melainkan antipati.  Bukan pembeli yang diperoleh, malah pembenci.

“Menjual” tidak harus untuk suatu komoditas.  Bukan selalu barang atau jasa.  “Menjual” bisa saja untuk ide atau pendapat,  yang belum tentu mempunyai buntut komersial, melainkan “kepuasan”. 

Kalau orang lain menerima pendapat saya, “kepuasan” akan didapat, bukan uang.  “Kepuasan”, meski tidak bisa diukur besarannya, mempunyai makna yang lebih dalam dibanding uang.  Pemahaman mengenai produk dan keunggulannya - sampai si penjual totally buy in - menjadi kunci utama untuk sukses.

“Menjual” tak lepas dari budaya.  Apakah  budaya si penjual, mau pun (calon) pembeli.   Sejatinya, malahan tidak hanya budaya, melainkan juga perilaku.   “Menjual” sesuatu yang cocok dengan budaya dan perilaku penjual dan pembeli, jauh lebih mudah, dibanding bila mereka berlawanan.  Pemahaman tentang budaya (calon) pembeli oleh penjual, menjadi kunci sukses terjadinya transaksi jual-beli.

Dulu, masyarakat Jawa menganggap saudagar adalah pekerjaan saru.  Calon mertua lebih suka mendapatkan menantu dokter, insinyur atau Sarjana Hukum, ketimbang pedagang. Untung, pandangan itu sudah semakin pudar, seiring dengan kebiasaan jual-beli, yang mustahil dielakkan.  Ini salah satu handicap, mengapa profesi salesman bukan sesuatu yang menjadi idaman anak Indonesia.

Sang teman, yang diawal artikel ini, dikisahkan marah-marah di telpon, mungkin masih akan sering menggerutu diganggu banyak salesman.  Saya dan banyak teman lain, juga masih ikut terganggu dengan ulah salesman  yang dianggap tak tahu unggah ungguh.  Padahal, “menjual” adalah seluruh peri kehidupan manusia.  Sesuatu yang tak ada batasnya.  Saya, anda, mereka dan kita, semua adalah para “penjual” yang bertransaksi dalam jual-beli, sepanjang hayat dikandung badan.    

 

“Salesmanship is limitless. Our very living is selling. We are all salespeople”.

 (James Cash Penney – pengusaha sukses dari Amerika)

      

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun