Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Salesmanship

10 Maret 2016   21:09 Diperbarui: 10 Maret 2016   21:31 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak baru lulus sekolah, apalagi mereka tanpa bakat, harus terjun ke dunia penjualan, dan hanya dibekali SOP saja, akan bergelut setengah mati dengan masalah yang menyulitkannya.  Alhasil, target pelanggan yang dibidik, bukan tertarik, malah kesel dan marah-marah.  Bukan simpati yang didapat, melainkan antipati.  Bukan pembeli yang diperoleh, malah pembenci.

“Menjual” tidak harus untuk suatu komoditas.  Bukan selalu barang atau jasa.  “Menjual” bisa saja untuk ide atau pendapat,  yang belum tentu mempunyai buntut komersial, melainkan “kepuasan”. 

Kalau orang lain menerima pendapat saya, “kepuasan” akan didapat, bukan uang.  “Kepuasan”, meski tidak bisa diukur besarannya, mempunyai makna yang lebih dalam dibanding uang.  Pemahaman mengenai produk dan keunggulannya - sampai si penjual totally buy in - menjadi kunci utama untuk sukses.

“Menjual” tak lepas dari budaya.  Apakah  budaya si penjual, mau pun (calon) pembeli.   Sejatinya, malahan tidak hanya budaya, melainkan juga perilaku.   “Menjual” sesuatu yang cocok dengan budaya dan perilaku penjual dan pembeli, jauh lebih mudah, dibanding bila mereka berlawanan.  Pemahaman tentang budaya (calon) pembeli oleh penjual, menjadi kunci sukses terjadinya transaksi jual-beli.

Dulu, masyarakat Jawa menganggap saudagar adalah pekerjaan saru.  Calon mertua lebih suka mendapatkan menantu dokter, insinyur atau Sarjana Hukum, ketimbang pedagang. Untung, pandangan itu sudah semakin pudar, seiring dengan kebiasaan jual-beli, yang mustahil dielakkan.  Ini salah satu handicap, mengapa profesi salesman bukan sesuatu yang menjadi idaman anak Indonesia.

Sang teman, yang diawal artikel ini, dikisahkan marah-marah di telpon, mungkin masih akan sering menggerutu diganggu banyak salesman.  Saya dan banyak teman lain, juga masih ikut terganggu dengan ulah salesman  yang dianggap tak tahu unggah ungguh.  Padahal, “menjual” adalah seluruh peri kehidupan manusia.  Sesuatu yang tak ada batasnya.  Saya, anda, mereka dan kita, semua adalah para “penjual” yang bertransaksi dalam jual-beli, sepanjang hayat dikandung badan.    

 

“Salesmanship is limitless. Our very living is selling. We are all salespeople”.

 (James Cash Penney – pengusaha sukses dari Amerika)

      

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun