Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jenaka

21 Januari 2016   15:02 Diperbarui: 22 Januari 2016   01:56 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Indonesia mempunyai sense of humor yang tinggi, di atas rata-rata bangsa-bangsa lain. Kehidupannya kaya akan jokes atau guyonan.  Memandang masalah sering dengan sudut yang menggelitik syaraf tawa.

Humor tidak hanya keluar sebagai perilaku, tetapi sudah menjadi sikap, bahkan budaya.   Sehari-hari hidup dalam kebersamaan yang guyub dengan canda sebagai interes bersama.

Folklore  dari banyak daerah kental dengan komedi.  Punakawan atau abdi dalem menjadi tokoh sentral untuk mencairkan suasana, sementara sang tokoh utama membawa pembicaraan ke arah yang lebih ringan dan santai. Meski baru hipotesa, data kualitatif bisa membantu memahami pendapat ini.

Khotbah pemimpin agama yang rileks disukai umat.  Pemimpin agama yang humoris ditunggu di mana-mana.  Agendanya padat dan harus dipesan paling tidak 1 tahun sebelumnya, untuk bicara di suatu perhelatan. Guru di kelas menjadi favorit karena suka melucu dan membuat murid tidak mengantuk.  Acara TV dimonopoli lawak yang menggenggam rating tinggi, sementara standup comedy laris manis  di prime time, karena segar dan menghibur.

Di Cirebon ada kesenian Tarling.  Singkatan dari Gitar dan Suling.  Meski berisi nyanyian beralur cerita, yang berwarna humor lebih disukai penonton.  Jawa Timur punya Ludruk.  Calung populer di Tanah Pasundan. Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan Dagelan Mataram, Ketoprak dan Goro-goro di pertunjukan Wayang Orang atau Kulit.  Srimulat pernah menjadi tontonan nasional karena bertahan manggung tiap malam di 4 kota besar, selama beberapa tahun.  Betawi identik dengan Lenong dan Topeng.  Sementara  orang Riau menyukai lawakan  di panggung Makyong  atau Mendu.  Daerah-daerah lain juga mengenal kesenian tradisional dengan pola dan jiwa serupa; cair, rileks, santai, yang melahirkan gerr…

Puncak dari cerita di atas bisa disaksikan di drama teror peledakan bom dan baku tembak di Jalan M.H. Thamrin, minggu lalu.

Sesaat setelah bom meledak di Starbuck, teman-teman di kantor langsung menyimak berita dari media sosial.  Mereka terdiam.  Duduk termenung, masing-masing dengan gadget atau lap-topnya.  Mata terbelalak dengan raut wajah yang tegang.  Kata-kata hanya keluar satu-satu, semuanya berkisah tentang bagaimana teroris sedang beraksi di sana.  Suasana mencekam.  Tapi itu tak lama.

Selang  1-2 jam kemudian, sensasi mulai bermain di arena.  Ketegangan menipis.  Ketakutan memudar.  Diganti sendau-gurau yang lebih segar. 

“Tanah Abang dan Blok M dipenuhi masa.  Jangan pergi ke sana……… Nanti terjebak macet”.  Begitu humor pertama yang terdengar.  Situasi mencair.   Kemudian, suasana diwarnai ajang canda.   Tidak hanya yang jauh. Bahkan di TKP pun, yang bau mesiu masih menyengat, humor muncul di sana-sini.

Foto pertama yang beredar adalah gambar tukang sate yang asyik mengipasi dagangannya, sementara di latar belakang adu pistol macam koboi Janggo terlihat samar-samar.  Asap bom masih terlihat di latar belakang.

Sulit menentukan apakah itu konyol atau komedi.  Tapi banyak pengguna media sosial menganggapnya sebagai adegan jenaka.  “EGP……”, pikir tukang sate dengan nada cu’ek. The show must go on.  Dagangan harus laku dan untung harus diraih.  Satu-satunya pilihan adalah arang harus tetap menyala, untung  tetap diraih.  Biarkan saja mereka tembak-menembak di sana.  Pembeli kudapan terus menunggu di sekitar situ.

Foto kedua juga memaksa orang tersenyum masam. Pemandangan kontras terbayang antara tim polisi dan masyarakat “peninjau”.  Banyak polisi merunduk taktis di balik sebuah mobil, sementara puluhan orang tegak berdiri di belakangnya.  Beberapa malah memegang kamera ponsel untuk berselfi-ria.

Ini jelas bukan pertunjukan circus on the street. Bahaya dan tawa-ria bercampur menjadi satu.  Puluhan penonton “merindukan” adegan tembak-menembak, agar segera mulai di depan mata mereka.  Geli, heran campur deg-degan saat menyaksikan 2 adegan kontras yang diabadikan pada satu bingkai yang sama.

Masih banyak alibi yang disuguhkan masyarakat Jakarta meski drama serupa di negara lain adalah horor yang mengerikan.  Di sana boleh menakutkan, di sini menyenangkan. 

Belum kisah gosip tentang Polisi ganteng yang dipersoalkan memakai minyak rambut merek apa.  Sang Polisi tetap cool, meski maut menghadang di depan mata.  Atau rombongan pekerja di kawasan Thamrin yang malah nimbrung  nonton “drama”, ketika diizinkan pulang lebih dini oleh atasannya.  Semula dimaksud agar aman dan segera berkumpul dengan keluarga.

Melihat dengan kacamata komedi adalah satu sudut pandang.  Namun, senang pada sensasi adalah hal lain yang memikat.  Kebetulan keduanya berbaur menjadi satu, dan saling mendukung.

Snapshot lain menguatkan alasan ini.  Lihat saja kecelakaan lalu-lintas yang malah menjadi sumber tontonan.  Ini jelas semakin menambah kemacetan jalan raya.  Di sana ada sensasi dan menyembul kelucuan mengikuti kekonyolan.  Akibatnya, “penonton” memperlambat kendaraannya, bahkan dari arah yang berlawanan.  Kemacetan menjadi-jadi dan meraja-lela. 

Infotainment  dan sinetron adalah primadona acara TV, karena selain menayangkan kisah lucu, juga berbumbu sensasi yang menyegarkan.  Lucu dan sensasional adalah kombinasi padu yang merangsang syaraf tawa manusia Indonesia.  Asyik sekali.

Saya tak paham apakah dugaan saya bahwa sense of humor tinggi berkaitan langsung dengan kebahagiaan.  Tapi, paling tidak,  Happy Planet Index (HPI) mengatakan demikian.  Ini adalah indeks yang mengukur usia harapan hidup, kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat dari banyak negara di dunia.  Tak disangka, Indonesia termasuk negara berindeks tinggi, terletak di urutan 22 dari 151 negara yang diukur.

Humor tidak hanya mengendurkan ketegangan.  Jenaka tidak hanya  melepaskan cekaman.  Komedi tidak hanya membuang kepedihan.  Humor juga melahirkan kebahagiaan.  Tak hanya itu, humor membangun peradaban.

When humor goes, there goes civilization”. (Erma Bomberg – Jurnalis terkenal asal Amerika)        

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun