Tadi pagi saya berkunjung ke kantor cabang Bank Mandiri di Slipi. Ada transaksi kecil yang harus dilakukan di sana. Masuk pintu utama, nasabah disambut ornamen yang tak biasa. Ada balon, bendera, pita kertas, dan tak lupa jajan pasar yang ditandai bendera mini merah putih, digelar di sebuah tampah sederhana. Slogan ditulis dengan cat asal-asalan, di selembar kain sederhana. “Merdeka atau Mati”. Seakan menunjukkan kalau spanduk dibuat di masa lalu, kala keadaan perang.
Tak kalah “heroik”, saat mendapatkan semua petugas bank, customer service dan teller, petugas kebersihan dan kurir dokumen, mengenakan baju loreng, atas-bawah, lengkap dengan ikat lengan warna merah-putih. Singkat kata, suasana “tujuh belas agustusan” mewarnai kantor bank itu. Suasana perang, baru merdeka, gawat darurat dan menggalang persatuan melawan “penjajah”, sedang dibangun oleh sang Kepala Cabang. Pak Yunus dan timnya tak mau ketinggalan untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 70. Dengan “Semangat 45”, dia berusaha agar “Agustusan” tak terlewatkan.
Keluar dari ruangan, saya termenung sejenak. Benar, tujuhbelas Agustus adalah tanggal keramat. Saya membayangkan, bila saja momen proklamasi kemerdekaan itu tak ada, apa yang terjadi dengan saya, dengan keluarga saya, dengan tetangga saya, dengan masyarakat Indonesia, dengan bangsa Indonesia.
Apakah kita masih dijajah Belanda, atau “diberi” hadiah kemerdekaan oleh Belanda, dan menikmatinya dengan cara berbeda. Saya tersadar, orang seberuntung saya, yang sedikit-banyak mengecap manisnya Indonesia merdeka, membuat 17 Agustus layak menjadi istimewa. Bila saja tidak ada, kemungkinan besar kecapan manis tak akan saya rasakan.
Ia layak dikenang, direnungkan, dibayangkan, dan disyukuri. Yang lebih penting, harus selalu dipikirkan bagaimana memelihara kemerdekaan dengan cara yang tepat, sesuai dengan kapasitas diri saya. Agar manisnya menjadi bangsa merdeka tidak hanya saya kecap sendirian, tapi dirasakan juga bagi semakin banyak rakyat Indonesia, bahkan seluruh rakyat Indonesia. Pertanyaan yang tak mudah menjawabnya.
Kesulitan yang sama, dialami oleh pak Yunus. Saat dia harus memutuskan, bagaimana merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia, di bank yang dipimpinnya, dengan cara yang pas. Mengkaitkannya dengan cita-cita menjadi negara yang adil-makmur, rakyatnya sejahtera-sentosa, tata-tentrem, kertaraharja.
Nampak, cara itu tak diketemukan, dan pak Yunus, biar mudah, menghias ruangan kerja dengan asesori meriah, merah-putih, seperti yang terlihat dipajang di tempat kerjanya. Slogannya pun tidak direparasi supaya relevan. Menjadi, misalnya, “Merdeka dan Mandiri”. Mungkin lebih cocok dibanding mengutip mentah-mentah yel-yel yang diteriakkan Bung Tomo saat melawan Inggris, di Surabaya, 70 tahun lalu. Bukankah bangsa yang merdeka itu adalah bangsa yang mandiri. Sekaligus identik dengan nama bank, di mana mereka berkarya.
Tidak hanya pak Yunus. Bisa jadi, banyak (sekali) orang Indonesia yang ingin memelihara dan meningkatkan harkat Indonesia merdeka dan menggapai cita-cita mulia. Namun, menentukan cara yang paling tepat, agar upaya itu membuahkan tujuan kemerdekaan, menjadi PR yang sulit. Ia harus spesifik, kasuistis dan berkenaan dengan kebutuhan seluruh bangsa Indonesia.
Nasib serupa dialami banyak orang. Saat sulit memilih cara merayakan HUT kemerdekaan dengan pas, maka “upacara” yang paling mudah, mereka lakukan agar langsung dapat dilihat oleh khalayak. Cara yang dipilih banyak orang. Upacara yang seremonial, basa-basi, tanpa kedalaman, dan menafikkan hasil. Banyak yang melakukan hal serupa, hingga upaya yang dilakukan, sering dengan susah-payah, menjadi kurang berdaya-guna.
Apakah semua ritual itu lantas sia-sia? Tentu tidak. Semua kemeriahan; upacara bendera, panjat pinang, balap karung, menghias gapura, kerja bakti, selametan, atau karnaval alegorik tetap diperlukan selagi cita-cita kemerdekaan belum tercapai. Ia menjadi pengingat dan pendorong bahwa tujuan menjadi bangsa merdeka harus selalu diupayakan. Belum cukup, karena mengisi kemerdekaan harus terus dilakukan dengan sungguh-sungguh, kerja keras dan meletakkan nilai-nilai kebangsaan pada urutan nomer satu.
Selama cita-cita itu masih jauh di angkasa sana, saat masyarakat adil-makmur belum digenggam oleh bangsa yang disebut sudah merdeka, ketika “merdeka” belum menjadi bendera bagi seluruh bangsa, maka kegiatan remeh-temeh yang seakan tak berguna, harus digaungkan. Bentuknya perlu disesuaikan, agar relevan dengan tantangan yang sedang kasat mata ada di depan mata.
Namun, sekali lagi, ritual saja tidak cukup. Setiap warga negara mempunyai kewajiban untuk terus mengisi kemerdekaan ini. Tujuannya sama, meski dengan tugas, peran, skala dan bobot yang berbeda-beda.
Merebut kemerdekaan adalah upaya yang sulit, mungkin sangat sulit. Tetapi mengisi kemerdekaan jauh lebih sulit. Ketika merebut kemerdekaan kepentingan pribadi ditanam dalam-dalam, saat mengisi kemerdekaan, kepentingan ego dan kebutuhan sektoral kadung tumbuh bahkan mengental. Sering atau bahkan selalu bertabrakan. Sering pula lupa bahwa nilai-nilai kebangsaan yang seharusnya dinomer-satukan, menjadi nomer kesekian. Konflik kepentingan ada di mana-mana, susah dipilih dan dipilah mana yang lebih tinggi prioritasnya untuk menjadi pegangan bersama.
Pak Yunus tak bersalah. Dia berada dalam waktu dan tempat yang tak mudah. Sulit merayakan HUT negaranya yang ke 70, dengan pas. Bendera merah putih masih berkibar di sana. Balon warna-warni menarik perhatian pengunjung Bank Mandiri, cabang Slipi. Spanduk masih terpampang di atas pintu masuk. Jajan pasar masih terpajang di samping sofa pengunjung.
Tiba-tiba, saya ingat ucapan Presiden Amerika ke 35, John F Kennedy, saat menantang rakyat Amerika untuk membesarkan negaranya. JFK mengajak mereka commit terhadap dirinya sendiri, melayani dan berkorban demi kebesaran Amerika. Tidak hanya kepada warga negara Amerika, bahkan kepada warga dunia, dia mendorong agar bersama-sama memajukan peradaban bangsa dunia. Kennedy mengucapkannya, ketika berpidato pada saat inagurasi, pelantikannya sebagai Presiden Amerika, 20 Januari 1961.
“And so, my fellow Americans: ask not what What your country can do for you – ask what you can do for your country.” He then continued by addressing his international audience: “My fellow citizens of the world: ask not what America will do for you, but what together we can do for the freedom of man”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H