Seni, budaya, antik, kuno, buku, lebih-lebih yang mengandung nilai sejarah, dipelihara dengan apik oleh negara. Menjadi bukti bahwa manusia berbudaya adalah mereka yang menghargai sejarah. Kehidupan masa lampau menjadi pilar bahwa manusia yang hidup bersamanya adalah manusia beradab. Itu disadari dan dilakukan oleh bangsa Hungaria di Budapest. Tetapi tidak oleh bangsa kita, Indonesia.
Rasa nelangsa, sedih, prihatin, bercampur marah saat membaca Kompas, 6 Oktober 2013 tentang nasib benda-benda masa lampau di museum-museum di Indonesia. Museum Nasional di Jakarta, adalah contohnya. "Museumnya museum ini" dengan enteng memberitakan pencurian koleksi barang-barang bernilai sangat tinggi. Hilangnya 4 benda emas warisan Kerajaan Mataram Kuno abad 10, membuat hati galau, penasaran, tak berkesudahan.
Sangat menyedihkan, karena ini bukan merupakan kejadian yang pertama. Dugaan saya, juga bukan yang terakhir. Baru 3 tahun silam, 87 koleksi emas Museum Sonobudoyo, Yogjakarta raib tak berbekas. Sampai kini, barang-barang bersejarah itu entah ada di mana. Pencurinya pun tak jelas siapa. Masih banyak cerita serupa yang hanya bisa ditangisi belaka. Perhatian negara terhadap benda-benda seperti ini nyaris tak ada. Bahkan museum tertua di Indonesia, Radya Pustaka, Solo, kini lebih dikenal sebagai "museum replika", karena barang-barang asli telah banyak yang hilang diganti tiruan.
Nilai barang yang lenyap, di banyak museum di Indonesia, tak bisa dinilai dengan angka. Ia bernilai seni, bernilai budaya, bernilai sejarah. Ia bahkan merupakan peradaban itu sendiri. Berbeda dengan Hungaria yang sangat atentif terhadap "kehidupan" ini, bangsa Indonesia cuek bebek dalam menyikapinya. Bangunan kuno bersejarah tak terawat, terbengkelai tak terurus.  Banyak diantaranya bahkan dirobohkan diganti mall atau plaza yang menjadi traffic generator, penyebab kemacetan.
"Budapest, ajarilah kami untuk menghargai barang peninggalan masa lampau. Ia akan menjadi tanda keberadaban kami sebagai suatu bangsa. Kami tertinggal jauh darimu". Demikian harapan kalbu yang terucap saat mengingat kota Budapest.   Harus diakui, kita bukan bangsa yang besar. Karena : "Bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai sejarahnya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H