Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arrow

15 Juni 2012   06:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13397415262136805531

Dalam bahasa Indonesia, arrow  berarti "panah".  Tetapi renungan kali ini tidak ada hubungannya dengan panah-memanah.  Tidak berkaitan dengan "panah asmara", atau "panah pusaka", atau "anak panah" atau pun "busur panah".  Saya justru ingin bercerita tentang email, yang saya terima minggu lalu, untuk dikaji lebih dalam.    Dikirim oleh seorang sahabat, teman sesama alumni ketika kuliah di Bandung, sekian puluh tahun lalu.  Dia  senior saya, 4 tahun lebih awal masuk kampus.  Namanya,  Irama.  Kami memanggilnya, Ima. Saya kutip sepenggal email yang saya maksud. "Saya mah sudah ga pernah liat TV.  Cuma baca koran saja. Kalo koran bisa kita loncat2 bacanya, sesuai dengan yg kita ingini. Kalo TV suara sang Garing mbrebeki kuping ... hehe.   Suedih ya liat bangsaku. Tapi we have to do something to improve it". Irama. Bahasa yang digunakan sangat khas email, yang biasa dipakai remaja.  Campuran Bahasa Indonesia, Inggris dan Jawa.  Lengkap dengan plintirannya. Kecuali "mbrebegi", sisanya bisa saya mengerti dengan mudah. Meski pun itu kosakata Bahasa Jawa, sudah lama saya tidak mendengarnya.  Sekali pun saat pulang kampung ke Semarang.  "Mbrebegi",  mempunyai kata dasar "brebeg", kira-kira artinya gaduh, riuh, ribut, memekakkan telinga, karena desibel yang dikeluarkan cukup tinggi. Melampaui ambang batas yang diizinkan.  Jadi, mbrebegi  berarti suara yang membuat gaduh yang tak diinginkan, membuat orang menjadi tak nyaman, bahkan bisa tuli.  Bahasa Sundanya, "gandeng". Agak  lama saya menerka, apa yang dimaksud Ima dengan email tadi.  Di bagian mana dia kebrebegan  (merasa gaduh tak karuan) suara TV?  Acara lawak, musik, berita, iklan, infotainment, talk show hiburan atau talk show politik?  Tiba-tiba saya teringat acara talk show di salah satu stasiun TV, tiap Selasa malam.  Meskipun banyak orang menyukai acara tadi, bisa jadi Ima dan banyak pemirsa lain, merasa dibrebegi olehnya.  Acara diwarnai debat politik gaya "prokol bambu", dengan substansi yang membuat miris mereka yang merindukan keteduhan cara bicara dan  dialog.  Mendambakan substansi yang option for the poor, berpihak  kepada wong cilik.  Lebih-lebih bila mereka "bertempur" berkenaan dengan kasus seperti Hambalang, wisma atlet, cek pelawat, mafia pajak, atau kasus-kasus sejenis lainnya. Mungkin acara seperti ini yang membuat Ima sebel dan lebih suka mematikan TVnya. Tanpa sengaja, saya melihat buku di sebuah pameran yang mungkin bisa meredakan Ima.  Saya berjanji dalam hati, bila usai membaca buku tadi, akan saya kirim ke dia untuk dibaca.  Itung-itung pereda kesal melihat gonjang-ganjing yang terjadi di negaranya tercinta.  Buku itu berjudul "Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno & Kemeja Arrow" (2012), karangan Asvi Warman Adam, doktor sejarah, kelahiran Bukit Tinggi, dan tercatat sebagai Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kejadiannya memang sudah lama, tetapi Asvi menulisnya dengan pas.  Suatu peristiwa yang terjadi di Parapat, sekitar tahun 1948-1949 (hal 4-6).  Kala itu, Bung Karno, Sutan Sjahrir dan Bung Hatta ditahan Belanda.  Ketika mereka pertama kali tiba di rumah tahanan, ditanya penjaga  apa yang dibutuhkan; Hatta menjawab buku;  Sjahrir perlu koran; sedangkan Soekarno minta 1 kemeja, merek Arrow. Bisa dimaklumi bila Bung Karno yang dikenal selalu necis, parlente, klimis dan apik, menginginkan punya satu baju bermerek, untuk salin.  Tapi apa komentar rekannya, Sjahrir, melihat hal itu? "Kamu ini kan Presiden.  Kenapa minta-minta seperti itu?  Jaga martabat Bung".  Bung Sjahrir belum puas.  Dia melanjutkan omelannya kepada Bung Karno, yang notabene - saat itu -adalah seorang Presiden, Kepala Negara, Republik Indonesia.  "Apa yang Bung lakukan tadi namanya suap!  Bagaimana mungkin seorang Presiden malah meminta dirinya disuap musuh!". "Jangan dilebih-lebihkan Bung Sjahrir, saya hanya butuh sehelai baju".  Begitu Bung Karno mencoba membela diri. "Itu yang namanya suap,............(dilanjutkan dengan ucapan yang kasar, tidak saya kutip)".  Rupanya, Sjahrir tak kuasa menjaga kata-katanya, disaat marah.  Saya tidak sepenuhnya percaya bahwa Sutan Sjahrir mengeluarkan kata-kata itu kepada sahabatnya, Presidennya.  Tapi, itulah yang  ditulis di buku tadi. Menurut saya, permintaan Bung Karno untuk diberi sehelai kemeja adalah wajar-wajar saja.  Bung Karno seorang laki-laki gagah, handsome, mementingkan penampilan dan ingin selalu terlihat rapi, meskipun berstatus tahanan.   Kemeja Arrow bukan apa-apa apabila dimilikinya.  Bukankah dia seorang Presiden?  Tapi itupun sudah dicap suap oleh rekan perjuangannya. Lantas, bagaimana perasaan seorang Sjahrir dan apa  yang diucapkannya jika dia menyaksikan peristiwa-peristiwa "suap" yang terjadi saat ini?  Apa yang akan dituduhkan Sjahrir kepada para politisi Senayan yang mengubah budget proyek Hambalang dari 125 milyar rupiah menjadi 1,2 trilyun, tanpa  penelaahan dan proses yang memadai?  Kata-kata apa yang akan dilontarkan Sjahrir melihat para pegawai DirJen Pajak menerima suap untuk meringankan kliennya membayar pajak kepada negara?  Apa yang dilakukan Sjahrir untuk uang siluman yang sekarang begitu banyak bersliweran di atas langit negara kita tercinta ini?  Sungguh, saya tak tahu apa yang akan keluar dari hati dan mulut Sutan Sjahrir, bila melihat itu semua. Kemeja Arrow saat ini memang bukan apa-apa.  Harganya hanya 1/600 jumlah transaksi gelap yang dilakukan di rumah-makan Padang, di bilangan Tebet, minggu lalu.  Suap yang perkaranya sedang disidik KPK bisa membeli limapuluh ribu kemeja Arrow. Bung Karno, saya yakin juga tidak sedang membiarkan dirinya disuap.  Mustahil, Soekarno berubah tekad perjuangannya, hanya karena mendapatkan 1 helai kemeja Arrow dari penjajah.  Tetapi nampaknya, nilai integritas yang dijunjung Sjahrir jauh-jauh lebih tinggi dari itu.  Kemudian Bung Karno menyadari "kekeliruan" ini.  Suatu sikap yang amat naif untuk ukuran masa 65 tahun kemudian. Kegalauan Ima yang tertuang di emailnya, mungkin akan pupus, bila membaca kisah Soekarno vs Sjahrir di atas.  Ima, saya dan kita semua sedang menyesali mengapa nilai-nilai kebajikan makin lama semakin memudar ditelan zaman.  Nilai pekerti suatu bangsa memang tergerus menipis bila tidak dijaga dengan sengaja dan sungguh-sungguh.  Nilai kautaman akan memudar bila  dibiarkan terbuka apa adanya.  Sekalipun "dijaga" dengan agama, oleh siapapun dia.  Tak terkecuali juga terjadi dalam diri saya, Ima dan kita semua.  Sebagai bangsa, kita terlena dengan "kemajuan" ekonomi yang luar biasa dan sering alpa "Memayu hayuning kautaman"*/. Kita tidak sadar, tidak tahu atau kurang peduli, mengapa degradasi nilai-nilai pekerti mulia, seperti ini bisa begitu mudah terjadi.  Hanya dalam kurun waktu lebih sedikit dari setengah abad, concern Sutan Sjahrir terhadap sehelai kemerja Arrow, menjadi fenomena yang berbalik arah tanpa kendali.   Ia berubah amat drastis, karena kita menerapkan politik tanpa prinsip, kemoderenan tanpa nurani, kemakmuran tanpa kerja-keras, pembelajaran dengan kegaduhan, agama tanpa keberanian menggunakan akal-budi, menyembah tanpa kesadaran.  Seperti yang dikatakan Romo Anthony de Mello S.J. (1931-1987), seorang psikoterapis dan psikolog keturunan India, yang besar di Amerika. "These things will destroy the human race: politics without principle, progress without compassion, wealth without work, learning without silence, religion without fearlessness and worship without awareness". Catatan tambahan : */ "Memayu hayuning kautaman",  adalah istilah bahasa Jawa yang berarti "Menjaga nilai keutamaan dengan saksama".  Kalimat ini sering diwejangkan oleh orang-tua kepada anak-anaknya, agar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai budi-pekerti, sopan-santun, unggah-ungguh  dan tata-krama yang diajarkan olehnya.  Saat ini, sangat jarang  didengar nasehat seperti itu, sekali pun di kalangan keluarga Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun