Mulai belajar menyanyi sejak usia 14 tahun, Gaga lahir di New York dari sebuah keluarga soleh beragama. Pada mulanya dia sulit menapakkan namanya di dunia industri-hiburan, sampai akhirnya dia "nekad" mencopot gaunnya di panggung pertunjukannya di New York. Sejak itu, Gaga tidak pernah gagal dalam shownya. Gaga manjadi maha-bintang hanya dalam waktu setahun lebih. The Fame, album pertamanya, meledak laris, laku 12 juta cakram. Lagu Gaga yang lain, bertitel Born This Way, laku 8 juta dan The Fame Monster terjual 15 juta kopi (Majalah Tempo, 28, 3 Juni 2012, hal 42).
Melihat ulahnya dan Gagaisme yang digaungkan, timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah Gaga pernah bertemu setan? Apakah Gaga sering berhubungan dengan setan? Atau, apakah dia seorang anti-Tuhan dan berpihak kepada setan? Saya hampir yakin, jawabnya adalah : "Tidak". "Mother Monster" yang menjadi julukan Gaga semata-mata hanyalah selling point untuk melariskan "dagangannya". Ia persis seperti Gagap untuk Azis, atau Helem untuk Darto, atau Just Do It untuk Nike.  Ia hanya alat untuk mendongkrak dagangannya agar lebih laris. Mengapa kemudian Lady Gaga didiskreditkan sebagai "biang setan" yang mengasuh "para setan kecil"? Menterjemahkan "monster" dengan "setan", saya duga hanyalah plintiran kampanye-hitam untuk menghancurkan dia yang akan tampil di Jakarta. Terjemahan monster yang lebih pas, adalah "makhluk aneh", atau "binatang ganjil", bukan "setan".
Ontran-ontran Gaga di Indonesia menyentak saya akan esensi sebuah bangsa. Ternyata kita belum mampu menjawab apa itu sebuah dialektika perbedaan pendapat. Ia selalu dianggap permusuhan yang mengharuskan salah satu harus kalah, hancur atau bahkan mati. Ia menjadi jawaban bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan keluar untuk menyelesaikan perbedaan. Ia merupakan pilihan antara saya atau kamu, dan tidak kita. Kita menjadi gagap dalam banyak hal. Tidak hanya gagap berbicara seperti Azis, tetapi juga gagap dalam berpikir, gagap dalam berbeda pendapat, gagap dalam bersikap, gagap dalam bertindak, gagap dalam bertutur kata, bahkan gagap dalam berbangsa.
Setelah gonjang-ganjing Gaga mereda di awal minggu ini, ada baiknya kita mengevaluasi, berapa banyak energi bangsa sia-sia, untuk mengelola seorang Gaga. Mulai dari Presiden, MenKo, Menteri, Polisi, Politisi, Cerdik-cendekia, pemuka agama sampai ormas-ormas. Semuanya menguras tenaga untuk sang Puteri. Jutaan orang terlibat adu-keras untuk mengatakan "ya" atau "tidak" bagi Gaga. Terjadi pertempuran tidak seimbang, antara Lady Gaga versus Bangsa Gagap. Kita telah melakukan kebodohan yang tidak perlu, dengan memeras perhatian, waktu, tenaga, dan dana sehingga lupa akan masalah utama bangsa ini, yaitu kebodohan, ketidak-adilan dan kemiskinan.
Akhir minggu ini, ketika luka di dalam diri kita - peningggalan perseteruan pro-kontra Gaga masih membekas dan sulit dihapus - sang Gaga sudah tersenyum lebar dan menari-nari kegirangan. Dia pulang ke negaranya dengan mengantongi hampir 10 milyar rupiah. Diambil dari cadangan devisa kita yang sudah banyak tergerus karena naiknya harga Dolar.  Dia tidak harus capai menyanyi dan menari dengan pakaian seronok dengan penari latar sensual, di Gelora Bung Karno, Jakarta.
Lantas timbul pertanyaan menyeruak di hati saya. Silakan pilih jawabannya; siapakah yang pintar dan siapakah yang bodoh, siapakah yang beruntung dan siapakah yang merugi, siapakah yang menang dan siapakah yang kalah, siapakah yang senang dan siapakah yang susah : Lady Gaga atau kita?