Kejuaraan All England 1972 di Birmingham - Inggris, Rudy Hartono bertemu Svend Pri, musuh bebuyutannya, di final. Set pertama, Rudy kalah 11-15, sementara set kedua, dia sudah tertinggal 1-14. Yah...... satu poin lagi Rudy akan habis dan gagal mempertahankan piala All England yang sudah empat kali digenggamnya berturut-turut. Ini adalah final yang paling menegangkan, karena dia mempunyai target merebut piala All England 8 kali berturut-turut. Tetapi kemudian, keadaan berbalik 180 derajat. Dengan perlahan tapi pasti, Rudy merebut poin demi poin, satu per satu dan memaksa Pri untuk deuce, 14-14. Akhirnya Rudy memenangi set kedua 17-15 dan menutup set ketiga dengan gemilang. Piala All England berhasil direbutnya kembali. Menyusul 13 poin pada set kedua, yang lawannya sudah mencapai match point, bukanlah pekerjaan mudah. Belum pernah terjadi, final suatu kejuaraan bulutangkis sedemikan spektakuler dalam perjalanan angka demi angka. Rudy menang setelah sangat terdesak, dalam posisi angka yang begitu kritis, didepan mayoritas suporter lawan. Saya tidak bisa membayangkan dan menduga, dari bahan baja macam apakah gerangan syaraf Rudy terbuat, hingga dia bisa menang di saat kritis itu. Bagi kebanyakan manusia, apa yang dialami Rudy di set kedua disebut sebagai "bagai telor di ujung tanduk".  Peribahasa ini menggambarkan bahwa situasi memang benar-benar kritis dan keadaan hampir tidak dapat dikendalikan lagi. Peluang untuk keluar dari situasi ini nyaris tiada, hampir mustahil, tetapi Rudy mampu memanfaatkan lubang sangat kecil yang masih mengintip di depannya. Rudy berhasil membuktikan bahwa sesempit apapun peluang yang ada, dengan kegigihan, dengan ketabahan, dengan perjuangan, mati-matian, ternyata bisa menjadi suatu kenyataan. Sebetulnya, banyak kisah seperti yang ditunjukkan Rudy Hartono diatas, yaitu tetap menjaga agar telor yang sudah di ujung tanduk, bisa tetap disana, dan tidak harus jatuh. Cerita Rudy mengingatkan saya akan sebuah film fiksi yang saya tonton beberapa waktu lalu. Judul film tadi adalah Forrest Gump (1994), yang menceritakan tentang sesuatu yang sangat mendekati kemustahilan  tetapi bisa menjadi kenyataan. Forrest Gump, yang dimainkan sangat apik oleh Tom Hanks, adalah seorang anak-laki-laki, yang kebetulan mempunyai IQ "hanya" 75, sementara kebanyakan manusia disebut normal, bila ber IQ 90-110. Tidak hanya itu, si anak laki-laki yang hampir masuk kategori idiot ini, semasa kecil menderita polio yang mengharuskan dia memakai sepatu besi sampai lutut, agar bisa tetap berjalan. Jalan cepat, atau melakukan gerakan yang sedikit keras, merupakan kemustahilan bagi Forrest Gump. Tetapi, seperti halnya Rudy Hartono, Forrest Gump bisa membuktikan bahwa semua anggapan orang normal tentang ketidak-mampuannya, dibuyarkan oleh bukti nyata bahwa dia bisa melakukan itu semua. Pertama, adalah suatu kenyataan pahit bahwa dia ditolak masuk sekolah oleh semua sekolah umum yang dicoba dimasukinya. Kepala Sekolah selalu mengatakan bahwa Forest Gump harus belajar di Sekolah Luar Biasa, karena "kelainan" yang dideritanya, sementara ibunya ngotot bahwa anaknya tidak berbeda dengan teman-teman lainnya. "Ibu, putera anda mempunyai perbedaan dengan murid-murid kami. Sebaiknya, ibu mencari sekolah lain yang khusus untuk itu", demikian Kepala Sekolah mentah-mentah menolak pendaftaran Mrs Gump. Tetapi, sang ibu tak bergeming. "No, he is not difference. My son is normal". Karena keteguhan hati ibu-anak tadi, akhirnya sebuah sekolah normal dapat menerima dia. Bahkan kemudian diceritakan Forrest berhasil mendapat beasiswa di Universitas Alabama, karena kepiawaian dia bermain Soccer. Bagaimana mungkin seorang anak dengan IQ dibawah normal, nyaris idiot, bisa masuk sebuah Perguruan Tinggi? Belum cukup dengan itu, Forrest Gump kecil sering diganggu anak-anak nakal, dan kali ini, yang menjadi dewi penyelamat adalah sahabat-wanitanya, Jenny Curran, yang kelak menjadi kekasihnya. Forrest Gump, yang bahkan untuk berjalanpun cukup sulit, akhirnya bisa lari kencang ketika beberapa anak nakal mengganggunya dan akan mencederainya. Dengan dorongan Jenny, Forrest bisa lari, lebih cepat, sangat cepat dan akhirnya sampai mengakibatkan sepatu-besi yang semula harus dikenakannya putus berantakan dan lepas dari kakinya. Tetapi, dia tetap lari kencang. Mukjizat, sesuatu yang mustahil, bisa terjadi karena kegigihannya. Keberhasilan Forrest Gump memasuki sekolah-normal dan lari kencang tanpa sepatu besi belum mengakhiri cerita tentang "anak cacat" yang menggugurkan persepsi manusia normal tentang ketidak-bisaan seseorang untuk melakukan sesuatu karena kemustahilan sudah dicap sebelum semuanya terjadi. Diakhir cerita film ini, Forrest Gump dikisahkan berhasil lari mengelilingi benua Amerika selama 3-1/2 tahun. Banyak orang mengikuti prosesi ini, sebagai simbol bahwa ketidak-mungkinan atau kemustahilan hanyalah sesuatu "cap" yang dilekatkan manusia kepada dirinya atau manusia lain sebelum dibuktikan dengan sungguh-sungguh bahwa itu tidak benar. Meskipun kisah mengenai Forrest Gump adalah fiksi, tetapi alur cerita yang digambarkannya sangat masuk akal. Semua paradigma-paradigma keterbatasan yang menjadi pagar dalam seseorang sering-kali hanya merupakan fatamorgana yang kadung melekat, biasanya sangat ketat, dalam pikirannya dan menjadi penghalang untuk mencapai sesuatu. Padahal, pepatah mengatakan: "Kamu adalah pikiranmu" (You are what you think) Ada kemiripan antara Rudy Hartono dan Forrest. Dibalik keberhasilan keduanya mengatasi kemustahilan, ada orang tersembunyi yang senantiasa mendukung mereka dengan gigih, telaten dan tak kenal lelah. Bagi Rudy Hartono, dia adalah ayahnya, pak Nio Kurniawan. Karena memang berprofesi sebagai pelatih bulutangkis, pak Kurniawan sudah melihat bahwa Rudy kecil adalah bintang masa depan yang harus diasah sejak awal. Pada umur 8 tahun, Rudy sudah harus mengikuti program latihan bapaknya, 8 jam sehari. Sampai 10 tahun kemudian, dia berhasil merebut juara All England termuda dalam sejarah dunia. Sementara pendukung Forrest adalah Mrs Gump, ibunya dan Jennie, sahabatnya. Ibunya terus mendorong dengan menganggap dan menanamkan kepada Forrest bahwa dia adalah anak normal. Diantaranya dengan satu kalimat yang diucapkan berkali-kali oleh Mrs Gump, yang melekat dibenak Forrest. "Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get". Hidup sering tidak bisa memilih. Hidup bukanlah suatu alternatif. Tetapi, kegigihan dalam mengubah ketidak-bisaan atas pilihan alternatif itu menjadi kunci bagi kesuksesan seseorang. Di penutup renungan ini, saya ingin mengutip resep Rudy Hartono bagaimana dia bisa membalikkan keadaan, ketika nasibnya sudah diujung tanduk Svend Pri. Dalam konferensi pers sesudah penyerahan piala All England, sambil tetap rendah hati, Rudy menyatakan bahwa dia hanya mengikuti nasehat seniornya, Ferry Sonneville, untuk keluar dari tekanan Pri. "Bila kamu sedang berada dalam keadaan kritis, jangan memikirkan apa yang dilakukan orang lain. Jangan hiraukan lawan, jangan dengar suara penonton. Jangan berpikir kelemahan dan kekurangan lawanmu. Konsentrasi pada tugas yang harus kamu kerjakan, dan lakukan yang terbaik". Nasehat bung Ferry, ternyata berlaku juga diluar arena badminton. Di rumah, di kampung, di dunia kerja, di lapangan, di jalan-raya, kita sering kurang fokus pada apa yang harus kita lakukan, karena sibuk melihat orang(-orang) lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H