Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lifestyle

25 Maret 2011   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:28 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1301016236780357273

Suatu siang, di tengah terik matahari, saya sedang berjalan di trotoar di kawasan SCBD.  Ada kerumunan orang  sedang mengelilingi sebuah sepeda.  Setelah saya dekati, ternyata sepeda itu sedang menjual wedang-kopi.  Ia dilengkapi dengan pelbagai jenis kopi dengan bermacam-macam merek.  Ada kopi-joss, ada kopi-jahe, ada kopi-susu, ada kopi-moka, dan masih banyak lagi.  Semuanya dikemas dalam sachet dan diboncengan sepeda terletak 2 termos besar yang menyimpan air-panas, setengah mendidih.  Abang-kopi dengan sigap mengambil gelas plastik dari kantong kumal, menyobek bungkus dan menuang bubuk kopi ke gelas, yang tentunya sudah dicampur dengan gula, susu atau pengenak- rasa lainnya, sebelum dikucuri air panas dari termos.  Tak lebih dari 3 menit, sang pelanggan sudah meneguk minuman segar plus meletakkan uang hanya Rp 2.000, sebagai imbalan. Tak heran, kalau siang itu, pas jam makan siang, ia dikerumuni tak kurang dari 10 pembeli.  Tertarik melihat kenikmatan para pembeli kopi di pinggir jalan, saya nimbrung minum kopi duaribuan.  Ternyata memang sangat segar, dan luar biasa murahnya.  Apalagi meneguk kopi-susu-panas dibawah pohon rindang di tengah kerumunan para pembeli pinggir-jalan dengan canda-ringan yang menyenangkan. Sore harinya, menjelang malam, seorang teman lama datang ke kantor saya, masih di kawasan SCBD, Jl Jendral Sudirman, Jakarta.  Dia ngajak ngobrol sambil minum kopi, di kedai-kopi, di lantai dasar gedung perkantoran kami.  Kali ini, tentunya tidak di pinggir jalan, sangat tidak murah, ber-AC, ada free wifi, dengan rasa yang nyaris mirip, dengan ukuran gelas yang sekelas, dibayar pakai kartu-plastik dengan discount top-up, dengan jumlah pembeli yang lebih banyak, celakanya dengan harga  15 kali lebih mahal.  Warung kopi itu bermerek Starbuck.  Tiba-tiba, saya ingat akan segelas kopi panas yang saya sruput 6 jam yang lalu,  bersama-sama dengan pekerja rendahan di pinggir jalan di atas trotoar.  Rasanya mirip, gelasnya seukuran, dengan khasiat memelekkan yang sama ampuhnya.  Saya tak habis pikir,  bagaimana barang yang mirip, bisa dijual belasan kali lipat lebih mahal.  Dan itulah kehebatan pengusaha kopi Starbuck,  yang saat ini bukan lagi menjual secangkir kopi, seperti abang penjual kopi-sepeda di pinggir jalan.  Starbuck, hari ini, berhasil menggeser fokus jualannya dari "hanya" memasarkan komoditas segelas kopi, menjadi "jualan" atmosfer yang  emosional dan ia laku sebagai lifestyle (gaya-hidup). Bermula di tahun 1971, Starbuck hanya sebuah kedai-kopi kecil di Seattle's historic Pike Place Market, Amerika Serikat, kini ia mempunyai 15.000 outlet di 50 lebih negara (jangan kaget, di Indonesia, Starbuck sudah mempunyai hampir 100 outlets).  Motonya pun sangat mulia  dibanding hanya menghilangkan rasa haus dan kantuk belaka, tetapi menjadi to inspire and nurture the human spirit - one person, one cup, and one neighborhood at a time. (menginspirasi dan memelihara semangat kemanusiaan - satu orang, satu gelas dan satu persahabatan dalam satu waktu).  Ia berubah dari suatu transaksi jual-beli barang menjadi a place for conversation and a sense of community (tempat untuk bercakap-cakap dengan rasa persahabatan), dan itulah kehebatan Starbuck dalam menciptakan kesempatan menangguk untung dengan memasang tarif 15 kali lebih tinggi dibanding  jumlah yang didapat abang kopi-sepeda.  Apa yang dilakukan Starbuck, yang membuat paradigma bergeser dari menjual barang menjadi menawarkan lifestyle disebut oleh W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dalam buku bestseller-nya, Blue Ocean Strategy (2005), sebagai 'reconstruct market boundaries' (membangun kembali batas-batas arti sebuah pemasaran). Jejak Starbuck ternyata diikuti oleh banyak (sekali) merek kedai-kopi.  Dan masyarakat perkotaan Indonesia menjadi larut untuk ikut "membeli" segelas kopi dengan ongkos produksi hanya sekitar Rp 5.000, dengan harga-jual Rp 30.000 - Rp 40.000.  Kemudian dikenal kedai-kedai kopi seperti Excelso, Bakul Coffee, Sebastian Coffee, Coffee Bean, O La-la, dan masih banyak lagi, yang persis meniru pola Starbuck dalam memasarkan produk kopi dengan melibatkan komunitas yang emosionil.  Sebetulnya, produk minuman lain telah melakukan terobosan serupa, jauh sebelum Starbuck masuk ke Indonesia.  Dua produk layak  disebut disini karena kesuksesannya, bahkan hingga kini, yaitu Teh Botol dan Aqua.  Teh Botol lahir di awal tahun 1970-an, ketika budaya minum teh masih didominasi oleh teh panas dan gitel (legi lan kentel - manis dan kental), diminum sambil duduk-duduk sore atau pagi di serambi belakang rumah.  Minum    teh, kala itu, harus dilakukan dari sebuah cangkir sambil di-sruput (minum perlahan-lahan dengan sedikit berbunyi) dan hampir sulit dibayangkan bila teh harus disajikan dari dalam botol, tidak panas, dan dilakukan tidak sambil duduk-duduk.  Banyak kritik dilontarkan oleh kritikus teori pemasaran, ketika itu,  dengan menyebut Teh Botol bakal gagal karena melawan budaya.  Tetapi Sosro  nekad untuk tetap memasarkan teh dalam botol yang diberi nama-dagang Teh Botol.  Tanpa diduga, Teh Botol meledak bahkan meredam budaya itu sendiri.  Kesuksesan Teh Botol diikuti oleh pemasaran air-mineral Aqua juga dalam botol, yang  lebih mahal dari harga bensin.  Kalau Starbuck melibatkan emosi dan relasi komunitas sebagai pengganti jualan minuman, Teh Botol dan Aqua berhasil menembus pasar dengan memecah budaya karena alasan kepraktisan.  Orang bisa minum teh dan air-bersih sambil jalan, sambil naik motor, sambil nyupir, sambil bekerja bahkan sambil naik tangga.  Minum teh tidak harus panas dan minum air-putih tidak harus dingin.  Slogan Teh Botol terdengar sederhana, tetapi memikat, dengan mengatakan : "Hari-hari panas, hari-hari dingin, hari-hari Teh Botol", atau "Apapun makanannya, minumnya The Botol". Fenomena mengubah lifestyle untuk "berdagang" komoditas, ternyata begitu mudah menembus kebiasaan masyarakat Indonesia.  Kedai Starbuck, dan kemudian kedai-kedai kopi lainnya yang sejenis, dipenuhi oleh konsumen kopi, yang semula hanya minum kopi dalam kondisi yang sangat tertentu.  Bahkan kopi, yang dulu, dilarang diminum oleh anak-anak, karena katanya dapat menyebabkan bodoh, sekarang disruput oleh remaja bahkan anak-kecil.  Teman saya, seorang ahli Fisika di suatu Lembaga Riset terkenal di Amerika, yang tidak mempunyai hand-phone, terheran-heran ketika menyaksikan bahwa  mayoritas PRT di Indonesia dengan gaji hanya 1/200 kalinya, rata-rata bergunjing dengan teman-temannya melalui gadget-nya.  Bagaimana mungkin seseorang membelanjakan 25-35% penghasilannya untuk membeli pulsa telepon, semata-mata  karena dituntut  lifestyle dan bukan karena kebutuhan.  Orang begitu gampang memenangkan want dan melupakan need,  karena keputusan hidup begitu didominasi oleh emosi dan bukan rasio.  Disisi lain, tingkat konsumsi yang tinggi, yang didominasi oleh pengeluaran karena want dapat ikut memutar roda ekonomi menjadi lebih tinggi dengan cepat.  Suatu balance life yang harus ditimbang-timbang lagi untung-ruginya, baik dari kacamata ekonomi, sosial, budaya, moral dan kelanggengan tingkat ekonomi.  Lifestyle memang menjadi suatu "kebiasaan" bahkan "budaya" baru seperti yang dikatakan seorang Psikolog dari Austria, Alfred Adler (1929), A lifestyle is a characteristics bundle of behaviors that makes sense to both others and oneself in a given time and place, including social relations, consumption, entertainment, and dress. The behaviors and practices within lifestyles are a mixture of habits, conventional ways of doing things and reasoned actions (Gaya-hidup adalah perilaku yang dianggap masuk akal, dilakukan oleh sekelompok orang di suatu waktu dan tempat, termasuk  diantaranya interaksi-sosial, konsumsi, dan pakaian. Perilaku sebagai gaya-hidup adalah campuran antara kebiasaan, cara-cara mengerjakan sesuatu, dan perilaku  yang dianggap beralasan oleh kelompoknya).  Dalam kesempatan lain, secara agak sinis, Thomas Leonard (1955-2003), seorang personal coaching dan pendiri Coach University, mengatakan bahwa : A lifestyle is what you  pay for; a life is what pays you (gaya-hidup adalah sesuatu yang anda harus bayar, sementara hidup adalah sesuatu yang membayar anda).

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun