Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Asosial

5 Februari 2011   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12968983301652631244

Ini terjadi kira-kira 1 bulan lalu.  Pintu gerbang-utama sebuah kompleks perumahan kelas menengah di Tangerang-Selatan, tiba-tiba ditutup-mati  pagar seng.  Kegiatan pembangunan nampak sedang berlangsung.  Papan bercat putih tertulis pengumuman yang menyatakan bahwa pintu gerbang tertutup untuk umum sampai  waktu yang belum ditentukan.  Bisik-bisik dari beberapa teman yang tinggal disana mengabarkan tentang suatu rencana   drastis yang akan dilakukan oleh para penghuni kompleks terhadap mereka yang  melintas di perumahan tersebut.  Karena letaknya yang strategis, tak ayal, kompleks perumahan tadi banyak dilalui kendaraan dari luar kompleks untuk mendapatkan short cut jarak ke tempat-tempat tujuan lainnya, melalui pintu tembus di arah lain.  Alhasil ia sering terkena macet tak kenal waktu.  Bahkan tengah malam atau dini hari, kompleks sering dibikin bising oleh deruan sepeda motor yang membuka knalpot atau raungan mobil yang entah datang darimana dan pergi kemana.  Mereka akan membangun pintu gerbang yang kokoh,  megah dan berwibawa, memasang petugas keamanan untuk menyeleksi semua kendaraan yang akan lewat kompleks tadi.  Kendaraan penghuni akan diberi stiker, dan "orang luar" tidak diperkenankan  memasuki kompleks seenak-udel nya sendiri.  Singkat kata, penghuni akan menutup atau membatasi kendaraan yang lewat, bahkan menyeleksi para tamu, kecuali  mereka yang berstiker.   Nampaknya, apa yang dilakukan para penghuni untuk melindungi kompleks perumahan mereka adalah sah-sah saja.  Sesuatu aksi  normal yang keluar karena ada ancaman yang membuat mereka tidak nyaman. Suatu mekanisme pertahanan diri yang timbul, mungkin secara refleks, dari pengalaman buruk yang membuat diri mereka terusik.  Tetapi, mereka mungkin lupa bahwa apa yang mereka lakukan  dalam rangka melindungi diri tadi, merupakan suatu tindakan yang membuat orang-lain, masyarakat umum,  kesulitan dalam mengakses jalan-umum, milik bersama.  Mereka membuat  liyan (sesama) menempuh jarak lebih jauh berkendara.  Mereka memotong jalur ekonomi bagi para penghuni atau non-penghuni yang mempunyai toko, warung, kedai, restauran atau usaha di dalam atau sekitar kompleks.  Mereka menyusahkan tukang becak dan tukang ojeg yang biasa mangkal disana.  Mereka menyulitkan pedagang asongan yang biasa keluar-masuk kompleks.  Apa yang diyakini oleh penghuni bahwa  mereka terganggu dengan banyaknya kendaraan luar yang melewati kompleks tadi melahirkan mekanisme pertahan diri yang tidak proporsional.  Mereka lupa, bahwa satu jengkal  sebelum mereka memasuki dan setelah mereka melewati  pintu-pintu gerbang kompleks perumahan, dirinya  melakukan hal yang sama-persis, bagi penghuni-penghuni kompleks perumahan lain.  Mereka tak sadar bahwa raungan mesin motor dan mobil mereka juga membuat polusi suara dan udara bagi masyarakat lain secara umum.  Mereka sedang melakukan apa yang disebut sebagai tindakan asocial, atau antisocial atau unsociable.   Gejala asosial kelihatannya memang menjadi tren yang lumrah dalam masyarakat yang semakin moderen dan tinggi tingkat ekonominya.  Ia merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang lahir karena merasa dirinya kuat, apakah secara fisik, sosial, politik atau ekonomi.  Sebuah perumahan mentereng di bilangan Jakarta Selatan, membuat portal-portal di hampir setiap jalan atau gang yang ada di sana.  Bahkan jalan-utama yang banyak dinikmati masyarakat umum karena menghubungkan sebuah pusat perbelanjaan dengan arah lain dari perumahan tadi ditutup setiap pukul 10.00 malam.  Ini menyebabkan kemacetan yang luar biasa di bagian lain, bahkan sampai dini hari.  Mereka seolah-olah lupa bahwa kemacetan dan kebisingan menjadi konsekuensi-logis yang timbul akibat peningkatan kemakmuran.  Ketika peningkatan ekonomi mau mereka terima, akibatnya mereka tolak, dengan membebankannya kepada orang lain.  Suatu demonstrasi perilaku tidak terpuji yang membuat ketimpangan sosial menjadi-jadi di masyarakat kita.   Bentuk perilaku asosial di masyarakat kita masih banyak lagi.  Sering dibawakan secara masif, tanpa basa-basi dan mencolok mata, seperti merokok di kendaraan umum, meludah di pelataran publik, membuang sampah sebarangan, mengerjakan proyek listrik/telepon/air-bersih atau yang lain di teritorial-umum tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, konvoi kendaraan dengan memakan jatah jalan orang lain, tidak mau antri, nyrobot jalan orang, ngetem di perempatan jalan, menebang hutan, KKN, merusak lingkungan-hidup dan masih banyak-banyak lagi.  Bandingkan dengan falsafah bangsa yang pernah kita punyai tentang gotong-royong holobis kuntul baris (melakukan kerja sama, bersama-sama untuk kepentingan bersama).  Nampaknya, falsafah tadi tinggal kenangan belaka.   Asosial, juga sangat bertentangan dengan konsep managemen yang saat ini lagi in, yaitu teamwork, synergy dan engagement.  Ia mengajarkan bahwa tujuan bersama hanya bisa dicapai apabila terjadi kerja-sama tim yang saling menguntungkan dengan keterikatan anggota tim yang erat.  Bertindak asosial ternyata juga mengakibatkan tingkat kematian yang lebih tinggi karena penyakit cardiovascular.  Penelitian yang dilakukan oleh Dr Lloyd Jones, assistant professor of preventive medicine at Northwestern, di tahun 1958, terhadap 1947 laki-laki berusia 40-55 tahun, menyimpulkan bahwa mereka yang mempunyai perilaku asosial, seperti yang disebutkan diatas, mempunyai social avoidance scale yang tinggi dan  resiko lebih tinggi terkena serangan jantung dan stroke.  Lebih lanjut, Prof. Jones menyatakan bahwa tinggi atau rendahnya skala social avoidance  seseorang bisa diperoleh karena kebiasaan yang berubah atau kepribadian yang melekat.   Selain modernitas dan tingkat ekonomi yang tinggi, teknologi-informasi (TI) dituduh sebagai biang-kerok makin menjadi-jadinya perilaku asosial.  Komputer membuat seseorang menjadi makin individualistis dan pesatnya kemajuan TI membuat orang seolah-olah bisa hidup nyaman tanpa orang lain.  Orang terjebak dalam egonya masing-masing dan merasa diri kuat ketika berada dalam pengaruh variabel yang membuat dia kuat.  Ketika itu, kekuatannya dirasa begitu dominan sehingga mengabaikan hak dan kepentingan orang lain.  Budaya tepa-slira (tenggang rasa) hilang ditelan zaman, dan pesan aja-dumeh (jangan mentang-mentang) semakin dilupakan orang.   Bukan hanya orang-perorang, atau suatu kampung atau suatu komunitas saja, yang akhir-akhir ini cenderung asosial, tetapi suatu perusahaan atau bahkan suatu Negara yang "merasa kuat"pun kemudian dengan mudah terjerembab pada perilaku ini.   Saya kurang mahfum, bagaimana resep yang cespleng untuk menghilangkan atau, paling tidak, mengurangi  fenomena asosial ini, tetapi mungkin perlu dicoba agar insight kita tumbuh dan berkembang, apalagi bila kita mulai merasa "kuat", dengan mengingat pepatah ini : "Diatas langit masih ada langit.  Diatas itu, masih banyak  langit lagi, dan diatas itu semua, ada Sang Maha Langit yang menguasai semua langit itu".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun