Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetiaan; Balada Dewi Shinta

13 Desember 2010   12:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:46 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah genap 6 minggu, saya tidak membuat Renungan Akhir Minggu (RaM), yang biasanya dikirim setiap Jumat pagi.  Beberapa teman (tidak banyak sih....) menanyakan melalui email, facebook, blog dan bahkan sms, mengapa saya absen sekian lama.  Jawaban klise sudah saya lontarkan kepada mereka, tetapi tetap saja membuat hati saya tidak nyaman.  Alasan yang paling gampang dan sering keluar adalah karena saya (sangat) sibuk, sehingga tidak sempat untuk menulis artikel, yang ternyata ada juga yang merasa kehilangan karena ketiadaannya.  Sejatinya, sebab utama absennya RaM dari komputer anda, karena stamina saya  menulis  sangat rendah.  Mood saya  menulis, akhir-akhir ini memang drop ke titik nadir, sementara kesempatan  merenung agar RaM  bisa lahir juga semakin menipis.  Alhasil, sulit untuk memaksa agar RaM  keluar dalam keadaan diri yang  memang sedang centang-perentang.  Ketika saya curhat kepada  sahabat saya, Ninok Leksono,  yang bergelut diladang tulis-menulis, dia mengatakan bahwa kinerja seorang penulis tidak dilihat semata-mata dari mutu isi tulisan, tetapi lebih kepada "kesetiaan" dia dalam menyajikan hasil karyanya.  Singkat kata, saya termasuk orang yang "kurang-setia" dalam menyisihkan usaha, perhatian dan waktu  untuk urusan menuangkan pemikiran keatas layar komputer.  Saya "tidak-setia" untuk tekun menggali spirit yang ada dalam diri saya untuk diekspresikan menjadi sebuah renungan.  Saya menyerah dan mengaku salah,  1-0 untuk kekalahan saya.   Berbicara tentang "kesetiaan" kepada seseorang, saya ingat akan isi hati Ratna Sari Dewi,  perempuan berdarah Jepang, yang akhirnya bersedia ikut Bung Karno ke Indonesia, meningggalkan semua yang dimiliki di negara leluhurnya dan  menjadi isterinya.   Dalam sebuah buku yang ditulis oleh pengarang biografi legendaris, Cindy Adams, dan berjudul My Friend the Dictator (1967), Dewi dikutip mengatakan  : "I lost my whole family. My widowed mother was bitterly unhappy about my marriage.  Shortly after I converted to Islam and marriage President, she died from broken heart.  The same day my only brother, committed suicide. Within 26 hours I lost everybody.  Nobody but Bung Karno.  Dewi, yang semula bernama Naoko Nemoto, bekas pramuria kelab malam Copacabana, Tokyo, yang dinikahi sang Presiden, Bung Karno, tahun 1962, konon semula diawali dengan penolakan dari dirinya.  Akan tetapi, akhirnya Dewi menyerah dan secara totalitas menyerahkan  seutuh dirinya kepada Bung Karno, sang suami tercinta, seperti yang dilukiskan dalam kalimat romantis-melankolis diatas.  Meskipun ada pelbagai sudut-pandang yang menilai sikap Dewi terhadap Bung Karno yang beragam, harus diakui bahwa meninggalkan kepercayaannya, negaranya, kehidupannya, budayanya, adik laki-lakinya dan  bahkan ibunya yang sangat dicintainya, adalah suatu bentuk kesetiaan.  Perempuan Jepang memang dikenal setia  dan mengabdi sepenuhnya kepada suami, seperti yang banyak didongengkan  cerita-cerita rakyat  Negara Sakura.  Tetapi, kesetiaan yang kental bukan monopoli  perempuan Jepang saja.  Legenda Ramayana, khas Indonesia, mengisahkan kesetiaan totalitas Dewi Shinta kepada Prabu Rama, bahkan bersedia untuk dihukum bakar-diri demi membuktikan kesetiaan itu dari noda Rahwana.  Mahabarata juga menggambarkan bagaimana Dewi Sembadra yang tetap setia sampai mati kepada Raden Arjuna, meskipun sang playboy kemudian menikahi beberapa perempuan lainnya.  Kesetiaan memang terus menjadi misteri yang sulit diungkapkan secara rasional, dan tidak terbatas pada kesetiaan kepada seseorang tetapi juga kesetiaan kepada kepercayaan, tugas, kemanusiaan, negara, atau apapun seperti yang di tunjukkan oleh seorang agen polisi di d Jogja, ketika bencana Merapi baru saja meletus.   Malam itu, Ajun Komisaris Heru Setiawan sedang bertugas tak kenal lelah padahal sudah seharian dia dan 2 anggotanya,  berjaga-jaga  di sekitar daerah Hargobinangun, Pakem, Jogja.  Tiba-tiba, menyeruak seorang laki-laki bernama Sarmin sambil mengiba bahwa 4 anaknya masih tertinggal di rumahnya, desa Kinahrejo, Kaliurang yang luluh-lantak diterjang wedus gembel.  Merapi masih menderu-deru dan abu beterbangan dimana-mana.  Heru dan 2 anak-buahnya bukan tidak tahu bahwa marabahaya sangat dekat dan mengintip mereka sewaku-waktu.  Tetapi, lagi-lagi, kesetiaan mereka kepada tugas, seolah menghapus kengerian terhadap semua bahaya yang mengancam dirinya.  Mereka ditemani  Sarmin, langsung memacu mobil-dinasnya  ditengah bau dan asap belerang yang menyengat hidungnya dan hawa panas yang menyelimuti dirinya.  Sampai didepan rumah Sarmin, mereka berteriak-teriak memanggil nama anak-anak Sarmin, yang akhirnya berhasil keluar rumah sambil berselimut debu tebal disekujur tubuh mereka.  Mobil patroli dipacu kembali ke Jogja dan anak-anak  Sarmin akhirnya selamat sampai di tempat pengungsian. (MajalahTempo, 1-7 Desember 2010, halaman 44).  Sangat tidak bisa dimengerti mengapa seorang Heru Setiawan, agen polisi yang biasa-biasa saja bisa melakukan jibaku demi nyawa-nyawa orang yang tidak dikenalnya.  Loyalty comes from within and can not be imposed, demikian suatu teori mengenai kesetiaan yang dikutip dari sebuah pepatah Yunani.   Tidak banyak ahli ilmu-sosial yang mendalami masalah kesetiaan.  Beberapa nama patut disebut disini, karena perhatiannya yang khusus mengenai hal itu.  Mereka adalah Zdaniuk & Levine (psikolog-sosial), Flap (sosiolog), dan Goman (busines dan marketing).  Pada umumnya, mereka mengatakan bahwa dalam suatu relasi yang spesifik, maka kesetiaan mutlak harus ada.  Apabila ia hilang, maka relasi itu sendiri juga  musnah.  Namun, teori yang cukup kontraversial adalah hasil pemikiran Mark Twain dan Graham Greene, yang disebut sebagai  The Virtue of Disloyalty (Kebaikan dari ketidak-setiaan). Mereka justru mengatakan when an organization wants you to do right, it asks for your integrity; when it wants you to do wrong, it demands your loyalty.  Mereka dengan gamblang membedakan antara loyalty dengan integrity. Dan yang dibutuhkan dunia ini, adalah integrity, bukan sekedar loyalty.  Kesetiaaan  dianggap sebagai sesuatu yang membabi-buta dan sering terjebak dalam situasi yang justru tidak positif.  Masih menurut Twain dan Greene, kesetiaan harus diikuti dengan kekritisan rasional yang secara moral dapat dipertanggung-jawabkan serta sanggup setiap saat untuk selalu memperbaiki relasi menuju kearah yang lebih baik.  Oleh sebab itu, kesetiaan-buta seperti yang ditunjukkan Dewi Shinta kepada Prabu Rama, sampai rela dirinya dibakar  adalah sesuatu yang sia-sia.   Khusus untuk mereka yang berada dan berinteraksi dalam suatu organisasi, layak disimak pendapat dari (Amazing) Grace Murray Hopper (1906-1992), perempuan ilmuwan komputer yang juga seorang Admiral US Naval : Leadership is a two-way street, loyalty up and loyalty down. Respect for one's superiors; care for one's crew. Ya, memang benar, kesetiaan merupakan kombinasi dari respect (hormat) dan care (peduli).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun