Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran

9 September 2010   06:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:20 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap Lebaran tiba, “film” itu seolah-olah berputar di kepala saya.  Masa 50-40 tahun lalu, ketika eyang-kakung dan eyang-putri saya masih sugeng (bahasa Indonesia : sehat).  Mereka tinggal di desa Bejalen-Kulon, Ambarawa, kira-kira 60 km sebelah selatan Semarang.  Satu minggu menjelang Lebaran tiba, ketika sekolah sudah mulai libur, kami berempat kakak-beradik, dengan riang-gembira berangkat berlibur dan ngenger di rumah eyang.     Sawah yang hijau, air sungai yang jernih, kebon salak yang mengerumun, gunung-gemunung yang gagah dan Rawa Pening yang meliuk-liuk, menjadi satu, membentuk Ambarawa yang cantik-jelita. Ambarawa adalah kota kecil dikelilingi  gunung-gunung Ungaran, Merbabu, Telomoyo dan Gajah Mungkur, yang menyebabkan kelihatan seperti  wajan dengan latar belakang Rawa Pening yang berwarna kebiru-biruan.  Lengkap sudah untuk menyebut daerah itu sebagai surga-dunia. Kala itu, berlibur di Bejalen seminggu menjelang Lebaran, merupakan saat yang kami nanti-nantikan.  Ketika masih di bulan Ramadhan, kami selalu ikut bangun sahur, karena eyang putri selalu memasak makanan yang lezat untuk disantap di dini hari, sementara siang hari, kami mulai main disawah, di tengah  sungai atau bahkan keceh di pinggir Rawa Pening sampai menjelang buka puasa tiba.  Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba.  Eyang kakung dan eyang putri pergi sholat Ied pagi-pagi, sementara kami masih meringkuk di dalam selimut karena kedinginan.  Sholat Ied  digelar dan pesta sesungguhnya dimulai.  Menu tradisional yang pasti tersaji adalah ketupat, opor ayam, lengkap dengan sambal goreng hati, kerupuk udang dan bubuk-kedele.  Singkat kata, Lebaran  di kala itu benar-benar masa indah yang selalu kami nanti-nantikan.

 

Lebaran di Bejalen, di Jawa dan di Indonesia pada umumnya lebih merupakan pesta rakyat yang sulit dicari rujukannya.  Ia sarat dengan nilai-nilai lokal yang justru memperkaya Lebaran itu sendiri.  Cerita mengenai Lebaran di desa Bejalen, sampai 1 minggu setelah 1 Syawal, adalah pesta rakyat.  Pesta yang memberi kesempatan masyarakat desa melakukan  silaturakhmi.  Semua rumah membuka pintunya dan tetangga saling kunjung-mengunjungi.  Tetangga datang, bersalaman dan saling memaafkan,  mencicipi seteguk minuman dan sejumput makanan kecil, dan berlalu menuju ke tetangga lainnya, begitu seterusnya. Tak lelahnya mereka berputar desa, mengenakan pakaian serba baru berwarna mencolok, berdandan menor sambil berdendang kecil atau sekedar menggumam dalam hati.    Pertunjukan kesenian daerah digelar dibeberapa tempat.  Kuda lumping, orkes keroncong, wayang, tari-tarian, atau sekedar pemuda-pemudi yang bermain gitar dan bernyanyi dipinggir jalan atau diatas jembatan.  Pokoknya mereka bersenang-senang, bergembira ria, merayakan pesta kemenangan setelah berpuasa satu bulan lamanya.  Seluruh penduduk desa, tanpa memandang apa agamanya, kaya atau miskin, petani atau pedagang, tua atau muda, pria atau wanita, menjadi satu padu, merayakan pesta rakyat dan melupakan segala kesalahan dan pertengkaran dimasa lalu.  Pesta berbasis agama Islam, karena didahului oleh ritual puasa Ramadhan dan Sholat Ied, tetap menyertakan kearifan lokal, yaitu budaya Jawa,  dari sebuah desa kecil, bernama Bejalen, Ambarawa.

 

40 tahun kemudian, sudah lama saya tidak berlebaran di Bejalen.  Ketika saya sudah dewasa, dan tingggal disebuah kampung di Tangerang Selatan, pesta Lebaran memang menjadi lebih realistis.  Semakin sesuatu menjadi realistis, maka nilai mistis akan berkurang.  Dunia anak-anak yang polos dan innocent sudah lama memudar.  Yang dihadapi hanyalah kisah nyata yang kental diwarnai oleh lagu perjuangan hidup sehari-hari dari masyarakat marjinal yang selalu berkutat dengan kebutuhan primer.  Contoh cerita, setiap menjelang bulan puasa, seorang tetangga, pak Deddy, yang sehari-hari berprofesi sebagai chef  di sebuah café di Kemang, selalu mengeluh karena bulan puasa berarti penghasilannya jauh menurun atau bahkan hilang.  Tidak hanya itu, bapak 4 anak asal Garut itu,  juga khawatir setiap berangkat kerja di siang hari, karena was-was tempat bekerjanya di sweeping gerombolan pemuda yang tak suka ada kehidupan malam di Jakarta.  Tips yang didapat jauh berkurang, sementara beberapa hari dalam sebulan, dia harus pulang kerumah dini hari, dengan tangan kosong, karena tempat kerjanya tutup sebelum waktunya.  Meskipun dia dan keluarganya berpuasa penuh, saat merayakan pesta Lebaran, perasaan tak nyaman selalu menghantuinya.  Lebaran bukan merupakan pesta penuh kemenangan, karena kekhawatiran menyertainya selama bulan Ramadhan.  Setiap mendengar keluhan pak Deddy dan melihat realita lainnya yang bermain di depan mata dalam mendampingi tetangga-tetangga sesaat menjelang Lebaran, sering hati saya terasa masgul.  Selalu terbayang dan menginginkan agar “film” Lebaran di Bejalen 40 tahun lalu,  bisa berputar kembali menjadi nyata.  Sulit membayangkan bagaimana sebuah keluarga harus merayakan pesta Lebaran, sementara uang sekolah anak-(anak)nya belum terbayar selama 6 bulan, atau anggota keluarga lainnya sakit dan belum sanggup membawanya ke dokter.

 

“Film”       Lebaran di desa Bejalen yang masih melekat di benak saya, menjadi semakin jauh dan jauh.  Ketika week end minggu lalu, di malam hari saya terjebak kemacetan yang luar biasa di sekitar Senayan.  Selidik punya selidik, ternyata kemacetan disebabkan adanya Midnight Sale di sebuah mall di bilangan Jakarta Selatan.  Beratus-ratus  mobil keluar-masuk mall, untuk memborong apapun yang dijual disana.  Meskipun sale, harganya tentu tetap mahal, tetapi orang-orang berbondong-bondong untuk menyerbunya, maklum Lebaran akan tiba.  Saya  terus menuju ke selatan, kearah Bintaro.  Sampai di perumahan elit Pondok Indah, saya melihat pemandangan  di kanan-kiri jalan yang membuat hati saya miris.  Belasan atau puluhan gerobak pemulung parkir di sana.  Dengan latar belakang rumah-rumah mewah, mereka mendemonstrasikan kemiskinannya.   Manusia gerobak yang biasanya terdiri dari ayah, ibu dan beberapa anak, bahkan tak jarang bayi, ikut berada di dalamnya.  Mereka mengharap ada dermawan kaya yang mampir di depan gerobak mereka untuk membagi zakat, sedekah atau apapun namanya.   Mereka tinggal di pinggir jalan berhari-hari sampai Lebaran tiba, berjajar dari Pondok Indah sampai Bintaro, yang berjarak kira-kira 5 km.  Mereka tidak peduli akan konflik Malaysia-Indonesia yang terjadi beberapa waktu yang lalu.  Pun, tak mau tahu akan rencana pembangunan gedung DPR, senilai Rp 1,5 T.  Jangan harap Pesta Kemenangan seperti di Bejalen  akan mampir  dalam kehidupan mereka. 

 

Masih banyak cerita memprihatinkan tentang Lebaran yang sering bermain di depan mata saya.  Semuanya jauh dari kisah manis desa Bejalen.  Antrean para dhuafa yang berdesak-desakan untuk mengambil jatah sembako dari pengusaha kaya, terasa memilukan.  Atau penumpang KA, kapal laut atau bis AKAP kelas ekonomi yang  berhimpitan bak ikan asin, sungguh jauh dari manusiawi.   Sementara  saya masih ikut-ikutan midnight sale di Senayan atau cuek saja menyaksikan manusia gerobak di sekitar Pondok Indah, sambil tak lupa menghitung THR yang masih tersimpan di tabungan.  Tiba-tiba teringat nasehat seorang teman, agar kita senantiasa memuliakan sesama yang miskin, dan berandai-andai jika saja kita  membagikan separuh dari THR yang diterima untuk mereka, mungkin separuh manusia gerobak dan kaum dhuafa akan berkurang.    Dan bukankah kefakiran itu mendekati kekufuran? (Kaadal fakru an yakuuna kufron).  Selamat Lebaran.  Selamat Idul Fitri, 1431H.  Mohon maaf lahir batin.

 

1.       Eyang kakung = kakek

2.       Eyang putri = nenek

3.       Sugeng = sehat

4.       Ngenger = hidup serumah dengan bukan ayah-ibu

5.       Keceh = main air

6.       AKAP = Antar Kota Antar Propinsi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun