Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Janji

28 Maret 2014   14:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:21 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Celakanya, dunia semakin materialistis.  Penghargaan terhadap sesama lebih didasarkan pada hal-hal yang wadag.  Bertumpu pada sesuatu yang kelihatan, dan ekstrinsik.  Ia bisa pangkat, harta, kekuasaan atau kepandaian.  Saat seseorang hilang kuasanya, tak aneh bila mereka, yang semula (seolah) menghormatinya, kemudian terbirit-birit menjauh.  Penghargaan yang dulu seolah melekat, bisa hilang begitu saja.   Peristiwa sejarah dalam kehidupan berbangsa dan kitab suci Perjanjian Baru, mencatatnya.

Harmoko, yang baru 1 tahun "diangkat" kembali pak Harto menjadi ketua MPR, (setelah bertahun-tahun sebelumnya menjadi abdi yang setia) demikian mudah berbalik saat melihat kedudukan bosnya goyah.  Sementara Yudas Iskariot, bahkan "menjual" Yesus kepada kaum Parisi dan imam-imam kepala.  Yudas, si mata duitan, 1 dari 11 murid pertama Yesus, lebih senang menggenggam pundi-pundi mata uang katimbang tetap ikut Gurunya.  Dia merasa, Sang Guru tak memberi apa-apa dalam wujud dunia, hingga boleh dikhianati dan ditukar duit.  Dia berbalik saat melihat musuh-musuh semakin ofensif dan akan menang.   Hukum dunia - suka atau tak suka, setuju atau tak setuju -  harus ditelan.  Saya, anda, kita semua, entah sudah, sekarang atau nanti, bisa dengan mudah merasakannya.

Dengan bersenandung, Bob Tutupoly  menasehatkan tentang lidah yang mudah ditekuk.  Kata-kata yang terucap bisa dibolak-balik.  Masuk akal, karena lidah memang tak bertulang.  Sementara Harmoko minta pak Harto mundur dengan arif dan bijaksana.  Atau Yudas yang malah menukar Sang Penyelamat dengan kepingan mata uang dan ciuman khianatnya, yang kemudian terkenal sebagai sifat asli manusia.  Mereka menjadi pengingat bahwa benang merah  antara  menepati janji,  penghargaan terhadap sesama dan memuja kekuasaan duniawi, terjalin kait-mengkait, saling mempengaruhi.   Bila yang satu hilang, yang lain akan sirna.   Manusia masih saja melakukannya,  meski ingkar janji dikecam dalam berbagai cara.  Contoh nyata diriwayatkan Hadis  Al Bukhari (34).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru, berkata : Rasulullah pernah bersabda, "Ada empat hal yang barang siapa menjalaninya, maka dia benar-benar orang munafik dan barang siapa dirinya kosong dari empat hal itu maka dia kosong dari kemunafikan sehingga dia meninggalkannya : 1. Apabila berbicara dusta. 2.  Apabila membuat kesepakatan tidak dia tepati.  3.  Apabila berjanji, dia ingkar.  4.  Apabila berdebat dia tidak jujur".

*/Sugeng (Bahasa Jawa) = sehat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun