Mohon tunggu...
PM Susbandono
PM Susbandono Mohon Tunggu... -

Berpikir kritis, berkata jujur, bertindak praktis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Capres

25 April 2014   22:45 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:11 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, Mandela penuh dengan kenangan pahit saat ditindas pada zaman rezim apartheid.  Tetapi, dia tak pernah menghujat.  Tak terdengar dia menyindir dengan prosa atau puisi, pantun atau syair.  Pantang dia mengungkit kesalahan mereka di masa lalu, atau berorasi dengan nada kebencian yang membakar masa.  Tak terlihat ada dendam dalam hatinya.  "Saya membenci politik apartheid, bukan pribadi pelakunya.  Oleh sebab itu, ketika politik itu hilang, maka kebencian terhadap orangnya juga sirna".

Itulah sebabnya, tak ada Nelson Mandela di pilpres mendatang,   meski teman saya merindukannya.  Saya menasehatkan kepada teman saya, agar dia bebas dari galau dan terhindar dari rasa resah.  Semua capres yang berkompetisi nanti, masing-masing mempunyai virtues and vices.  Mungkin tidak sehebat Mandela.  Atau mungkin bahkan lebih hebat.  Pemilihan Presiden adalah membandingkan.  Jadi, meski Nelson Mandela tidak ada di sana, aktivitas "membandingkan" harus dilakukan.  "Pilihan" harus dibuat.  Karena itu penting untuk menentukan nasib  dia, saya bahkan bangsa Indonesia.  Kualitas capres merupakan cermin masyarakatnya.  Dari masyarakat yang seperti ini, lahir para capres yang seperti itu.  Jadi, dia, saya dan anda menjadi bagian tak terpisahkan dari karut-marut ini.  Jangan seperti ikan yang loncat keluar dari kolam, itu akan membuat anda mati.

Saya pernah dinasehatkan seorang teman yang mahfum tentang ilmu agama, dia saya juluki mas Ustad.  Konon, kalau ada suatu kondisi di mana kebajikan dan keburukan bercampur menjadi satu, pilah yang keburukannya paling kecil, baru cari kebaikannya.  Saya lupa mengejar dari mana mas Ustad merujuk nasehat itu.  Tapi, diam-diam saya mengamininya.   Rumus itu yang akan saya terapkan dalam memilih capres.  Moga-moga saya tidak salah pilih.

Untuk lengkapnya, saya akan kutip bait terakhir dari puisi yang dikarang oleh seorang sastrawan Inggris, W.E. Henley (1849-1903), judulnya : "Invictus" ("Tak Terkalahkan").  "Saya yang menentukan nasib saya sendiri.  Saya yang memimpin jiwa saya".

It matters not how strait the gate,

How charged with punishment the scroll,

I am the master of my fate,

I am the captain of my soul

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun