Namanya Sumini. Para tetangga memanggilnya dengan akrab, mbak Sumini. Profesinya tukang sayur. Jualannya mangkal di warung kontrakan. Meski “hanya” sebagai tukang sayur, mbak Sumini adalah seorang entrepreneur yang tangguh plus menyimpan nilai kemanusiaan yang tinggi.
Sebaiknya saya mulai kisah heroik mbak Sumini sekitar 10 tahun lalu. Sejak suaminya tak kuat lagi menjadi tukang bangunan, mbak Sumini memutuskan untuk menjadi soko guru keluarga. Dia menjadi bread winner. Menghidupi dirinya sendiri, suaminya dan 2 anak perempuannya. Entah dengan alasan apa, jualan sayur menjadi pilihannya.
Mula-mula, mbak Sumini hanya membuka lapak kecil di depan rumah kontrakannya, yang juga imut-imut. Hanya 1-2 ikat sayur dan beberapa bahan makanan mentah yang dipajang di meja kecil itu. Saya mahfum, mengapa dagangannya hanya secuil. Tentu modal yang membuat warungnya tak bisa tiba-tiba membesar. Satu-dua tetangga mulai menjadi pelanggan mbak Sumini. Belum banyak, karena yang dijual pun juga ala kadarnya saja.
Yang istimewa adalah, mbak Sumini mulai memperlihatkan nalurinya untuk melayani pelanggan dengan prima. Ramah, tersenyum, produk segar, harga bersaing dan perhatian terhadap detil. Kembalian uang kecil, berapa pun, selalu tersedia dan pas bandrol. Dia tak meremehkan pelanggan dengan membulatkan keatas jumlah pembelian, agar tak ada sisa uang pengembalian, yang sering memang merepotkan saat dicari.
Ketangguhan mbak Sumini dimulai pada waktu tengah malam. Ya, setiap malam, saat para tetangga meringkuk hangat dibawah selimut, mbak Sumini berangkat ke pasar Kebayoran Lama, menggunakan angkot. Dia berangkat kulakan. Tak peduli udara dingin atau hujan, mengantuk atau lelah, ritual itu dilakukan setiap malam. Dan baru kembali membawa dagangannya menjelang waktu subuh dini hari. Entah kapan mbak Sumini istirahat menikmati tidurnya.
Makin lama, pelanggannya semakin banyak. Lapak kecilnya tak lagi cukup menampung sayur-mayur, daging, ikan dan bumbu dapur yang dijajakannya. Bahkan, pelanggan semakin berdesakan, meski tetap rela menunggu sampai dilayani. Mbak Sumini harus pindah ke tempat yang lebih luas. Dia mengontrak warung tak jauh dari tempat tinggalnya. Tetap sederhana, tapi membuat sedikit lega pelanggannya.
Mbak Sumini beringsut maju, tapi dia tak berubah. Senyumnya masih tersungging di sudut bibirnya. Keramah-tamahannya masih di sana. Dia tak hanya berjualan sayur, tetapi juga menjalin relasi persaudaraan dengan para pelanggannya. Dia tak hanya berdagang, tetapi juga menciptakan suasana teduh bagai para tetangganya.
Kesuksesan berdagang terlihat dari perubahan gaya hidupnya sehari-hari. Dibelinya rumah sederhana di sudut gang kecil. Mbak Sumini kini punya rumah sendiri. Dua sepeda motor parkir di halaman rumahnya. Perhiasan di leher, telinga dan pergelangan tangannya mulai mencorong. Anak keduanya duduk di bangku kuliah sebuah PT swasta di Jakarta Selatan. “Jer basuki mawa bea”. Kebahagiaan memerlukan kerja keras. Kenikmatan membutuhkan pengorbanan. Kesuksesan mensyaratkan ketangguhan. No pain, no gain. No free lunch. Itu diperagakan mbak Sumini dalam mengarungi hidupnya dengan pas dan jelas. Tak ada keraguan sedikit pun akan kebenaran pepatah itu.
Sampai suatu hari, para pelanggan kehilangan sesuatu dari lapak mbak Sumini. Dia tidak jualan ikan segar lagi. Ketika ditanya mengapa, mbak Sumini menjawab dengan enteng. “Bang Dani buka lapak ikan segar, di ujung jalan sana. Biarkan ikan jadi rezeki dia”.
Sekejab, para tetangga terdiam. Mengorbankan dirinya, untuk memberi kesempatan orang lain ikut menikmati hidup, tak masuk akal sehat kebanyakan orang. Jalan pikiran bisnis yang biasa-biasa saja, tak sampai sedalam atau sejauh itu. Tapi itulah mbak Sumini. Menggaet laba duapuluh atau tigapuluh ribu rupiah sehari dari jualan ikan, tak membuatnya serakah. Mbak Sumini pantas digelari sebagai orang yang sugih tanpo bondo. Dia kaya tanpa harta benda. Dia mempunyai kekayaan lain, kekayaan hati dan budi.
Meski demikian, drama hidup mbak Sumini bukan tanpa gunjingan. Perempuan keluar rumah setiap malam, seorang diri, sampai dini hari, bukan sesuatu hal yang lumrah di masyarakat “baik-baik”. Kesuksesan materi yang diraih dari hasil kerja kerasnya pun bukan bebas dari dengki. Mbak Sumini hidup dalam tabir yang tipis antara kerja keras, tak kenal waktu, dengan sensitivitas masyarakat yang sok moralis. Konotasi negatif mudah dilabelkan ke dirinya. Tapi bukan mbak Sumini, kalau dia gampang menyerah. “The show must go on. Never retreat, never retract... never admit a mistake”.
Film yang memutar kisah mbak Sumini, si tukang sayur tetangga saya, seolah-olah berputar kembali saat mendengar kisah seorang menteri baru, di “Kabinet Kerja”, baru-baru ini. Semangatnya mirip, perjalanannya serupa, dengan skala dan versi yang berbeda. Salah satu menteri perempuan baru, bu Susi, mendapat “serangan” yang luar biasa di social media dan media massa. Bu Susi diusik bukan karena prestasinya, bukan pula karena perilakunya. Dia dihujat karena tak tamat SMA, bertato dan tak mengenakan baju yang agamis. Jarang, seorang pejabat publik diserang, bahkan sebelum dilantik. Yang lebih aneh, dia ditohok pas di ulu hati, untuk hal-hal yang sangat pribadi dan diluar perannya sebagai seorang menteri. Apakah kita sudah mulai tak bisa berpikir rasional dan obyektif lagi?
Saya melihat kemiripan kisah antara mbak Sumini dan bu Susi. Mereka mempunyai kesamaan tarikan benang merah dalam perjalanan hidupnya. Keduanya disebut sebagai orang yang tak berpendidikan formal. Mereka disebut golongan tak intelek. Keduanya “kurang agamis”. Tapi, mereka adalah pejuang-pejuang yang tangguh. Keduanya pengusaha yang tahan banting, untuk masing-masing kelasnya. Keduanya mengajarkan kepada kita, kebenaran akan pepatah kuno yang selalu relevan. “There is a will, there is a way”.
Di mata para penghujat, yang merasa dirinya high culture, mereka dianggap sebagai low culture. Tak sekolahan, kampungan, tak berpendidikan dan uncivilized. Jadi tak pantas kalau dianggap berprestasi. Tak layak kalau menjadi tokoh. Tak normal kalau menjadi panutan.