Sikap Yu Tum jelas bertolak belakang dengan petugas bandara. Yang satu mampu membuat Semarang selalu berdetak di malam hari, yang kedua cu’ek dan EGP. Yang satu memuaskan, yang kedua mengecewakan. Yang satu menambah nilai, yang kedua menguras nilai. Yang satu mencetak revolusi mental, yang kedua mengabaikannya. Yang satu berasal dari sektor informal, yang kedua petugas pemerintahan, mudah-mudahan ini hanya kebetulan belaka.
Sabtu siang menjelang sore. Bandung basah, tersiram hujan rintik-rintik. Perjalanan Jakarta-Bandung via Cipularang lancar dan menyenangkan. Jarak 150 km ditempuh hanya dalam waktu 3 jam. Pukul 4.00 sore, saya berada tepat di atas jembatan Pasupati. Penginapan, ada di sekitar jalan Sangkuriang, tak jauh lagi dari kami. Paling lama, 30 menit akan tiba di sana.
Tak disangka, tak dinyana, perjalanan berjarak sekitar hanya 1-2 kilometer memakan waktu hampir 4 jam. Bandung Utara, sekitar Dago, macet total. Antrean mobil berhenti satu setengah jam tak bergerak, tak beringsut, di mulut jalan Taman Sari. Petugas tak berdaya, jumlah kendaraan beraneka pelat nomer bercampur-baur, berdesakan bahkan berhimpitan di kota Bandung.
Akhir pekan, hujan gerimis atau lebat, banyak (sekali) mobil luar kota berdatangan, dan banyak perhelatan, adalah variabel-variabel yang dapat diperkirakan, dapat dikontrol. Dus, manageable. Tetapi pengaturan itu belum dilakukan, bahkan oleh Walikota Bandung yang populis, populer dan kreatif, termasuk gebrakannya membuka baju agar tak ditandai sebagai Bebotoh, di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang, saat Persib berlaga di sana. Walikota Bandung yang mencorong karena prestasinya mengatur kota, belum berdaya mengatasi kemacetan lalu-lintas. Belum terdengar rencana mengatasinya. Belum terlihat usaha menguraikannya. Belum terasa perbaikan menguranginya. Bandung kota macet menjadi julukan pengganti “Kota Kembang” dan “Paris van Java”.
Minggu sore menjelang malam. Saat berada di jalan tol Cipularang menuju Jakarta. Terbayang sosok Yu Tum yang perkasa, sedang mengatur warung gudegnya, dengan sikap dan naluri seorang komandan pasukan yang sedang berhadapan dengan musuhnya. Yu Tum bekerja dengan senyumnya, dengan kata-katanya dengan nada rendah dan tertata apik, dengan gerak tangannya, menjumput nasi, gudeg dan opor ayam. Yu Tum bekerja dalam lingkup kecil dan sederhana, dengan spirit dan aura yang berwibawa, dengan kesungguhan hati dan totalitas sempurna. Itulah mengapa Yu Tum hidup dengan bermakna.
It is impossible to have a great life unless it is a meaningful life. And it is impossible to have a meaningful life without meaningful work. (Jim Collins – dosen, konsultan dan penulis banyak buku tentang “Bekerja”, diantaranya yang paling terkenal adalah : “Good to Great”).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H