Tak terasa sudah Desember lagi. Akhir tahun sering membuat orang galau, gloomy, sentimentil atau istilah apa pun yang menggambarkan perasaan tak nyaman. Tak jelas apa pasalnya, tapi itu terjadi di banyak tempat. Pekerjaan slow down, target direvisi, relasi menggumpal tanpa alasan, mendung menggelantung seperti ingin memisahkan matahari dari bumi.
Bulan Desember tahun ini kegalauan menjadi-jadi. Musim hujan datang lebih awal, tanah longsor di Banjarnegara memakan korban ratusan orang, banjir di banyak tempat menambah jumlah pengungsi tak bertempat tinggal, rupiah terpuruk tanpa pesan, konflik politik kusut tak berujung pangkal, teror meledak dari Peshawar, Pakistan hingga Sidney, Australia. Bayangan hitam semakin kelam, perasaan menggelayut, susah dijelaskan. Itulah Desember, nglangut, tak tahu bagaimana mencerahkannya.
Tapi, keinginan bergembira selalu muncul di sana-sini. Biasanya dengan lampu warna-warni, berkelip-kelip. Lagu ceria menghentak-hentak dada. Ornamen indah terlihat di banyak sudut. Itu yang mengisyaratkan bahwa harapan masih ada. Salah satu tanda itu adalah pohon Natal.
Dulu, saya menyebutnya, kerstboom. Kisah tentang pohon cemara cantik tak pernah ada di Kitab Suci, baik Perjanjian Lama atau pun Perjanjian Baru. Kemudian, seolah-olah menjadi simbol Kekristenan yang mendunia. Lahir di Jerman sekitar abad 16. Dibawa ke Amerika saat orang Eropa bereksodus ke tanah Columbus. Dan di situ, negara dengan predikat jago dalam menjual barang dagangan,Christmas treediberi “roh”, seakan-akan simbol agama Nasrani. Aneh, karena dunia seakan-akan meng-endorse komoditi ini menjadi barang suci.
Saya baru akrab dengan pohon Natal, setelah tradisi membuat “kandang Natal” di komunitas Katolik beringsut berkurang. Gereja Katolik lebih familiar memajang gua Natal, sementara Gereja Protestan memasang krestboomtadi. Berangsur-angsur, Christmastreemenjadi lebih populer. Sekali lagi, itu hanya mainan pedagang Pasar Asemka dan sekitarnya dalam menengguk untung sebanyak-banyak. Barang yang laku, lebih banyak dijual. Barang yang murah, lebih banyak dibeli. Persis teori marketing yang diajarkan di bangku sekolah.
Menghias pohon Natal lebih menyenangkan. Gua Natal lebih konservatif, klasik dan jadul, disamping, ya itu tadi, sulit dipasarkan. Tak heran, meski lebih dekat dengan kisah Natal, “miniatur kandang Bethlehem” tak lagi sering dilihat di etalase-etalase toko di pinggir jalan, bahkan ikut menghilang dari beberapa gereja.
Meski tidak sakral-sakral amat, kisah pohon Natal berbau “mukjizat” Kristen. Santo Bonifasius dalam muhibahnya bertemu sekelompok orang yang akan mempersembahkan seorang anak kepada dewa Thor, yang bersemayam di sebuah pohon Ek. Sang Santo menghentikan ritual itu dengan pukulan tangannya, yang merobohkan pohon Ek. Mengejutkan, pohon Ek mati, pohon Cemara tumbuh sebagai gantinya. Cemara menjadi hebat, karena mewakili kebenaran, Ek dituduh simbol setan. Itulah mengapa Cemara menjadi pohon Natal.
Ada lagi “barang dagangan” yang menjadi sakral, hanya karena banyak disukai orang. Ia adalah drama Sinterklas. Pria chubby, berkostum merah-putih plus topi kuncung warna merah, menyihir dunia, seolah-olah simbol Kristianitas. Kisahnya juga tak tertera di Kitab Suci mana pun. Malahan ia terkenal karena Coca-Cola. Kini patungnya banyak dipajang di kedai Starbucks atau McDonald’s.
Agar bisa menjadi tokoh, dikabarkan bahwa Sinterklas adalah seorang santo bernama Nicholas. Ia penyayang anak-anak, meski sang kacung, Zwarte Piet, diberi peran memukul anak nakal dengan sapu lidi dan memasukkan mereka ke karung butut. Cerita Sinterklas berbau rasis, karena good copadalah putih dan bad cophitam.
Seumur hidup, saya tak pernah melihat Sinterklas dan Zwarte Piet di gereja. Yang sering, mereka berperan di mal-mal dan pesta anak-anak bersama badut-badut lain yang lucu-lucu. Mereka menghibur dengan bernyanyi, membagi kado, atraksi sulap atau main boneka. Sinterklas dan Piet Hitam tak pernah berdoa, meski hadir setiap bulan Desember. Lucu kalau mereka dicap sebagai wakil dari fraksi Kristiani di masyarakat yang demikian plural.
Krestboomdan Sinterklas adalah industri hiburan an sich. Lampu warna-warni dan asesoris pohon Natal, serta drama Sinterklas jelas menarik untuk ditonton, terutama oleh anak-anak. Lebih-lebih Sinterklas, yang topi merahnya banyak dipakai oleh pelayan-pelayan toko di kota-kota besar. Mereka rekaan pengusaha agar barang dagangannya semakin laris. Sulit dikaitkan dengan makna Natal yang intinya adalah mengasihi sesama. Lucu, kalau asesoris ini lantas dimusuhi.
Lantas di mana kisah Natal berdiri? Ia bukan bermaksud memboroskan energi dengan lampu warna-warni. Atau ikut terkekeh-kekeh dengan gurauan Sinterklas yang garing. Natal bukan sekedar pesta-pora di akhir tahun, untuk menghilangkan rasa gundah dan galau di bulan Desember. Natal adalah saat Tuhan menyapa manusia untuk peduli dan mengasihi siapa saja yang menderita. Menyapu mendung yang menggantung, menyembuhkan korban Banjarnegara, mendamaikan yang konflik, mendoakan anak-anak surga di Peshawar dan Sidney dan kegalauan-kegalauan Desember lainnya.
Natal adalah pesan kasih. Natal adalah kabar baik. Natal adalah alat peraga bagaimana Tuhan sangat mencintai manusia, seluruh umat manusia, karena Tuhan sendiri sudah menjadi manusia.
“Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”.(Johanes 1 :14)
“Selamat Natal – Damai di hati, damai di bumi”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H