PK kena batunya, karena pemahaman-pemahaman yang kontradiktif dari agama-(agama) membuat dia semakin bingung. Bagi PK, ternyata semua itu tidak menyelesaikan masalah, mereka malah memperkeruh. Hebatnya, PK menyajikan adegan-adegan lucu, orisinil dan tidak membodohi. Dialognya cerdas, langsung menusuk kalbu. Menuntut penonton berpikir keras. Lucu tapi berkelas, perlu berpikir sebentar, sebelum bisa tertawa lepas. Beberapa malah terkesan satire bagi praktek-praktek agama. PK menjuluki mereka “call the wrong number”. Menyindir para pemuka umat yang sering keluar dengan pernyataan-pernyataan yang tak masuk akal dan menjadi saluran yang keliru. Wajar, PK baru mengenal agama-agama dalam waktu singkat dan seketika.
Tujuan PK hanya satu. Menemukan kalungnya, yang dicuri oleh makhluk jahat dari bumi, agar dia kembali ke rumahnya. PK “terperosok”, karena orang mengenalkan pada “cara menemukan kalung”, melalui “call the wrong number”. Jalan itu banyak, dengan jalur yang berbeda. Beberapa diantaranya malah berlawanan. Simak salah satu kalimatnya yang bernada bingung. “Yang satu dilarang membunuh sapi, yang lain malah menyuruh”. Jelas suatu ekspresi ketak-tahuan yang sah, yang mungkin juga dimiliki banyak (sekali) manusia, karena pemahamannya yang instan.
Masih banyak konflik akal sehat yang ditangkap PK. Mengharukan, ketika dia bingung karena tak menemukan tanda, bagaimana seseorang kok bisa mengaku beragama tertentu, sementara orang lain beragama lain. “Who is Hindu, who is Muslim…..show me where is the stamp….You guys have made this difference and not God….and this is the most dangerous wrong number of this planet”.
Atau, “perintah” membangun kuil (pengertiannya meluas ke rumah-rumah ibadah lainnya) agar tambah kaya, sementara banyak sesame yang hidup menderita. Wanita tak boleh sekolah. Memuja batu dengan bunga dan olesan cairan berwarna agar lulus ujian. Niat baik PK membawakan wine untuk minuman Tuhan, malah membuahkan kecaman. PK dikejar-kejar hendak dibunuh karena dianggap menghujat.
Masih banyak sindiran-sindiran PK yang memaksa “makhluk bumi” untuk introspeksi karena menempatkan kepentingan dirinya, di atas Tuhan dan sesama. PK yang lugu, naif dan lurus-lurus saja, pantas menjadi common enemy, danbeberapa kali nyaris dihakimi masa.
Untung, film yang bernada cynical ini dikemas dengan selimut humor yang tinggi. “The communication system of this planet for talking to God, has become totally useless”. PK melihat usahanya menghubungi Tuhan, selalu gagal. Dengan menggunakan istilah “sistem komunikasi” yang katanya semakin canggih, PK menyindir bahwa “Kehebatanmu tak ada apa-apanya”. PK melihat dengan kacamata lain, karena justru “sistem” ini tidak jalan saat dibutuhkan. Kalungnya tak juga diketemukan.
Sepanjang 156 menit, penonton dibuat tertawa, kadang terharu, sambil sekali-kali tersenyum kecut, karena peluru membalik menghantam diri kita sendiri, langsung menuju tengah-tengah ulu hati. Tak perlu marah dengan sindiran halus ini, karena sebagian besar nyata. Yang harus keluar justru rasa malu dan buru-buru merenung agar timbul insight yang keluar dari dalam sana.
Satu untaian kalimat yang diucapkan PK, melekat dalam hati dan saya ingat sampai sekarang. Rasa penyesalan tiba-tiba muncul, karena itu memang mengenai “saya banget”. Mungkin juga “kita banget”.
“Akhirnya, saya tahu bahwa Tuhan ada dua. Pertama, Tuhan yang menciptakan kita. Kedua, tuhan yang kita ciptakan. Manusia lebih sering berhubungan dengan yang kedua. This is a call the wrong number”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H