Embun pagi masih setia menempel di jendela kelas lima. Arini duduk termenung di mejanya. Pandangannya tertuju pada lembaran kertas rencana program pembelajaran P5 yang ia susun bersama murid-muridnya. Ia telah berjanji kepada mereka, memberi ruang untuk menentukan kegiatan yang sesuai dengan minatnya.Â
Sambil memutar-mutar pensil 2B dengan kedua tangannya, Arini menghela napas panjang. Perintah kepala sekolah masih terngiang di telinganya, jelas, tegas, dan tak terbantahkan.
"Bapak dan Ibu semua, semester genap tahun ini kita pilih pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan membuat proyek ecoprint. Bapak Ibu tahu, di daerah kita sedang viral dan bagus. Apabila kita berhasil membuat dan memamerkannya maka akan sangat baik untuk citra sekolah."
Alih-alih musyawarah penentuan tema proyek, kepala sekolah sebagai koordinator proyek penguatan profil pelajar Pancasila malah memberikan ultimatum untuk membuat proyek berupa ecoprint, sebuah teknik mencetak motif pada kain menggunakan bahan-bahan alami seperti daun dan bunga.Â
Hatinya bergolak. Perasaannya gundah bagai daun yang dihempas angin, terombang-ambing antara idealisme dan kewajiban sebagai anak buah.Â
"Bukankah pembelajaran P5 seharusnya memberi ruang bagi peserta didik untuk bereksplorasi? Lalu, bagaimana dengan suara anak-anak yang ingin membuat proyek berbeda?" desis batin Arini lalu menghempaskan kepalan tangan di atas meja.
"Dak!" Terdengar suara lumayan keras.
"Ada apa, Bu?" tanya Andika, ketua kelas lima.
Arini gelagapan. Ia tidak sadar hempasan kepalan tanggannya mengagetkan murid-murid di hadapannya.
"E ... maafkan Ibu. Tidak apa-apa. Bagaimana, apakah kalian sudah selesai mengerjakan soal yang Ibu berikan tadi?" jawab Arini diikuti pertanyaan untuk menutupi kegugupannya. Senyum manis tersungging dari bibirnya.