Taksi Kuning
Taksi kuning adalah istilah untuk angkutan perdesaan berwarna kuning yang biasa beroperasi seputar Kota Lubuklinggau dan Kabupaten Musi Rawas.
Tiga puluh satu tahun lalu, otak belum bisa menerima istilah taksi untuk jenis kendaraan ini yang di Purwokerto berwarna oranye dan di beberapa tempat berwarna biru atau merah.
Setahuku, pada saat itu (1993) taksi adalah angkutan umum yang pembayarannya berdasarkan hitungan argo. Itu, lo, alat yang dipasang di dalam taksi untuk menentukan tarif perjalanan penumpang. Biasanya dihitung berdasarkan jarak dan waktu tempuh. Argo taksi ada yang menyebut dengan nama taksimeter atau argometer.
Lama-kelamaan, istilah taksi untuk angkutan kota dan angkutan perdesaan berterima dalam benak sebagai sebutan untuk angkutan umum seukuran mobil (maaf) carry.
Tidak hanya berlaku untuk angkutan darat. Angkutan sungai baik perahu bermesin 40PK maupun perahu bermesin disel, asal digunakan untuk angkutan umum pun dinamakan taksi. Aku pernah memakai jasa angkutan umum seperti ini pada kurun waktu 1993-2006 sebab kami tinggal di tepi Sungai Rawas, satu di antara 'anak' Sungai Musi.
Minggu pagi (13/10/2024), setelah menempuh perjalanan 24 jam dari Bandung kami tiba di kampung tempat tinggal, kampung halamannya anak-anak. Karena asyik membaca pesan WA, mobil bus yang kami tumpangi melewati titik tempat kami seharusnya turun. Terpaksa, kami turun sekitar dua ratus meter lebih jauh dan menunggu 'taksi' yang mau diajak ke kampung.
Taksi online berlatar warna kuning sudah ada ada akan tetapi aku belum sempat menginstal aplikasi itu di hape, sedangkan taksi online hijau setahuku belum ada di kota kami. Jadi, pilihan satu-satunya adalah naik taksi kuning seperti yang kuceritakan sebelumnya.
Andai saja turun di tempat yang seharusnya, taksi yang kumaksud tentu tidak sulit ditemukan.
Namun, Allah maha baik. Sedang menunggu kendaraan umum yang masih jarang melintas, teman mengajar satu sekolah pada tahun 1995 lewat. Dengan mudah ia mengenali kami.
"Hai, dari mana kalian?" tanyanya dengan logat Batak yang masih kental.
"Dari Bandung, Om," jawabku. Begitulah aku memanggilnya. Bukan karena dia lebih muda, melainkan ia menganggapku saudara tua lantaran adikku, menikah dengan orang Batak satu marga dengannya.
"Antar aku ke simpang, manggil mobil taksi kuning, Boss!" pintaku kepadanya.
Tanpa menjawab motor berputar dan sekejap sampai di tempat yang aku maksud.
Mamang sopir yang sedang menunggu penumpang kegirangan. Sama girangnya dengan aku yang menemukan mobil untuk kami sewa.
Begitulah, berkat pertolongan Allah melalui temanku, kami pulang dengan mobil yang mestinya sudah istirahat di garasi. Namun, demi sesuap nasi mobil butut ini masih diajak 'naksi'.
D.Tegalrejo, 13 Oktober 2024.
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H