"Salam budaya," ucapku sambil menyalami Pak Keling. Mungkin beliau pimpinan orkes keroncong yang bermain di pelataran stasiun Tawang Semarang.
Ucapan selamat itu aku berikan ketika aku selesai menyanyikan sebuah lagu yang aku pesan setelah grup keroncong tersebut membuka pertunjukannya dengan lagu "Jembatan Merah".
Melihat ada grup keroncong di depan mata membuatku tertarik dan tentu saja berhenti untuk merekam beberapa detik penampilan mereka.
Rekaman itu akan aku kirimkan kepada teman-teman satu grup, Orkes Keroncong Senja Agung Tugumulyo Musi Rawas.
Istri dan anak-anak aku suruh masuk duluan ke ruang tunggu, sementara tiket dan kartu tanda penduduk yang sudah aku serahkan kepada Sulung aku minta kembali karena aku harus menikmati musik yang menjadi kegemaranku itu.
"Ayah nyusul, ya!" pintaku kepada anggota rombongan.
Anak-anakku yang sudah menduga ayahnya bakal berhenti memberikan apa yang kuminta. Mimik anggota rombongan kami menunjukkan persetujuannya, kecuali raut muka wanita paruh baya berkerudung coklat yang menggendong bayi berusia sepuluh bulan.
"Bapak, ini sawerannya, ya," kataku sambil menunjukkan uang pecahan lima puluh ribuan dan memasukkannya ke dalam kotak.
Aku segera meminta izin _request_ satu lagu dan dipersilakan dengan ramah untuk duduk di bangku bapak pemain ukulele senar logam yang biasa kami sebut Cak.
...
Surya 'lah condong ke barat
Senja kala pun menjelang
....
Meskipun tidak merdu aku mencoba menyanyikan sesuai irama yang dimainkan.
Sebagai pemain musik keroncong di kampung, aku sangat menikmati penampilan Pak Keling dan kawan-kawan.
Rasanya senang sekali ketika aku membawakan lagu itu bersama Pak Keling dan kawan-kawan, beberapa mata memandang ke arah kami. Beberapa di antaranya juga memfoto dan merekam penampilan Pak Keling dan kawan-kawan, bahkan satu orang berseragam TNI ikut memasukkan saweran ke dalam kotak dan menunjukkan gestur penuh penghargaan.
Setelah menyanyikan lagu Keroncong Senja, aku mengucapkan terima kasih kepada rombongan orkes keroncong stasiun Tawang yang cukup mengejutkan dan mengobati rindu pada alat musik yang biasanya kami mainkan setengah bulan sekali.
Aku tidak menyangka ada grup keroncong yang mengamen di pelataran Stasiun Tawang. Di Stasiun Bandung ada juga tetapi mereka memilih jalur pop.
"Ayah, kereta Ciremai sudah siap."
WA dari Sulung membuatku cepat-cepat berlari dan menyusul keluargaku di ruang tunggu.
"Kok, cepat, nggak diterusin sampai siang?"
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi komentar wanita paruh baya yang memangku cucuku. Sejatinya, ketika aku meminta izin untuk berhenti di pelataran stasiun menikmati irama keroncong, mereka cukup repot membawa bawaan dan juga menggendong cucuku yang masih berusia 10 bulan. Pantas saja ibu negara merasa dongkol. Ha ha ha ....
Kereta Ciremai, 10 Oktober 20240
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H