"Salam budaya," ucapku sambil menyalami Pak Keling. Mungkin beliau pimpinan orkes keroncong yang bermain di pelataran stasiun Tawang Semarang.
Ucapan selamat itu aku berikan ketika aku selesai menyanyikan sebuah lagu yang aku pesan setelah grup keroncong tersebut membuka pertunjukannya dengan lagu "Jembatan Merah".
Melihat ada grup keroncong di depan mata membuatku tertarik dan tentu saja berhenti untuk merekam beberapa detik penampilan mereka.
Rekaman itu akan aku kirimkan kepada teman-teman satu grup, Orkes Keroncong Senja Agung Tugumulyo Musi Rawas.
Istri dan anak-anak aku suruh masuk duluan ke ruang tunggu, sementara tiket dan kartu tanda penduduk yang sudah aku serahkan kepada Sulung aku minta kembali karena aku harus menikmati musik yang menjadi kegemaranku itu.
"Ayah nyusul, ya!" pintaku kepada anggota rombongan.
Anak-anakku yang sudah menduga ayahnya bakal berhenti memberikan apa yang kuminta. Mimik anggota rombongan kami menunjukkan persetujuannya, kecuali raut muka wanita paruh baya berkerudung coklat yang menggendong bayi berusia sepuluh bulan.
"Bapak, ini sawerannya, ya," kataku sambil menunjukkan uang pecahan lima puluh ribuan dan memasukkannya ke dalam kotak.
Aku segera meminta izin _request_ satu lagu dan dipersilakan dengan ramah untuk duduk di bangku bapak pemain ukulele senar logam yang biasa kami sebut Cak.
...