Kala itu, aku sungguh bosan dengan masakan Mamak (panggilan untuk ibuku). Labu siam tumis yang sebagian harus disisihkan untuk ayahku jika beliau belum pulang kerja.
"Jangan sentuh itu. Itu untuk Bapakmu. Meskipun dia pulang telat dan sayur itu basi, biarkan saja itu hak Bapakmu." Begitu Mamak selalu berpesan.Â
Kami, anak-anaknya yang sudah bisa berpikir tidak berani melanggar pesan ibunda.Â
Labu siam adalah sayuran yang lebih banyak dimasak ketimbang sayuran lainnya. Hanya kangkung yang menjadi runner up-nya. Selain Mamak yang belanja, Â untuk memperoleh kangkung kadang aku hanya perlu pergi ke saluran air di pinggir rel kereta. Sayuran hijau yang menyukai air dan merambat itu mudah sekali didapat.
Aku tidak tahu kenapa Mamak begitu sering memasak sayuran yang mesti dibelah dua lalu digesekkan satu sama lain hingga buih putihnya menggumpal di tepi irisan.
"Bosan," kataku dalam hati.Â
Akan tetapi, mengharapkan labu berganti dengan potongan daging seperti pungguk merindukan bulan. Orang tuaku bukan orang kaya. Penghasilan mereka habis untuk membayar ongkos sekolah dan makan sehari-hari anak-anaknya yang masih berjumlah lima dengan menu asal kuahnya terasa gurih saja.
Makan dengan lauk daging, meskipun sepotong kecil daging ayam, di antara olahan hasil petani adalah impianku setiap malam Minggu. Sup wortel dengan kaldu ayam dan sambal terasi ditemani tempe goreng telanjang tanpa tepung adalah hidangan mewah. Â Hidangan yang kami santap sebelum menonton Album Minggu Kita di televisi tetangga.Â
Kenangan berpuluh tahun silam kini berbalik. Ketika aku masih mampu membeli sekadar daging ayam atau sapi dan sejenisnya, hidangan yang pernah aku benci karena terhidang hampir setiap hari, kini tersaji di depan mata. Bukan diberi, melainkan aku sendiri yang meminta.
Pada piring tersaji semangkuk kecil nasi ditemani empat potong rebusan labu siam, dua potong kecil tempe goreng, sejumput sambal terasi, dan goreng ikan sarden.