Berjalan ke ruang depan, ke halaman rumah, dan brrr ... hawa pinggiran kota Bandung itu terasa menusuk tulang. Apalagi ketika waktu salat tiba dan harus mengambil air wudu. Air sedingin es teh terasa menusuk tulang. Sungguh bertolak belakang dengan dua hari sebelumnya di Sumatera, tempat sang kakek hidup sehari-hari.
Perubahan cuaca yang ekstrem, kondisi badan yang capek, membuat otot sang kakek terasa pegal, badan pun terasa meriang. Namun ia masih berusaha bertahan. Lama-kelamaan, kepala terasa berat. Tengkuk terasa tebal.
"Nah, mulai tidak beres nih badan. Badan sakit-sakit, dingin menggigil, persis seperti terserang malaria beberapa puluh tahun lalu," gumam lelaki tua itu sambil menarik selimut tebal. Ia mencoba menghalau rasa dingin. Percuma, rasa dingin tidak terlawan dengan selimut tebal sekalipun.Â
Pada malam hari, tenggorokan terasa gatal. Batuk pun tidak bisa ditahan. Batuk beruntun berkali-kali membuat dada sang kakek terasa nyeri.Â
"Antar Ayah ke dokter, Mas," pintanya kepada si sulung. Mereka pun berboncengan sepeda motor ke sebuah apotek tempat sang dokter praktik.
"Bapak harus istirahat. Hindari makanan asin, pedas, dan berminyak. Jangan minum es dulu ya, Pak. Silakan tebus obat ke apotek sebelah. Semoga lekas sembuh." Dokter cantik itu dengan ramah memberi petunjuk setelah memeriksa badan si kakek.
Rencana tinggal rencana. Ketika sang anak beserta keluarganya berangkat ke Sukabumi, ia hanya bisa mengantar dari balik kamar. Rencana ke kampung halaman pun hanya angan karena jika dipaksanakan takut sakit berulang.
Hanya satu rencana yang semoga bisa ia realisasikan, mengikuti Temu Penulis di BBGP Jawa Barat pada hari Minggu (30/6/2024).
Bandung, 29 Juni 2024
PakDSus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H